Menghirup Dunia by Fabiola Lawalata
My rating: 4 of 5 stars
Aku harus menebak-nebak siapa dari keenam penulis ini yang bercerita tentang berbagai kisah di sini. Mulai dari patah hati di Vietnam hingga pemilik penginapan di Venezuela. Tentang menyusuri Yunani hingga kumis di Kerala. Sebenarnya mudah menebak kalau berdasarkan pada destinasi yang mereka tulis, karena aku sering berkunjung pada blog-blog mereka sebelumnya.
Setiap penulis punya karakter sendiri dan pasti bisa ditebak. Hmm, jawabannya bisa dilihat di mana ya?
View all my reviews
mata buku indri
cerita tentang buku. buku. dan buku. separuh hidupku adalah perjalanan. separuhnya lagi adalah buku.
ulasan. resensi. kesan.
ulasan. resensi. kesan. ini bukuku, apa bukumu?
Senin, 22 Agustus 2016
Review: Trilogi Insiden
Trilogi Insiden by Seno Gumira Ajidarma
My rating: 5 of 5 stars
Timor timur, pernah menjadi provinsi ke 27 dan akhirnya berdiri sebegai negara sendiri, dengan kejadian kelam yang diceritakan di sini, ketika Gubernur Carascalao menjadi pemimpin di sana, tahun 1991.
Membaca Saksi Mata adalah menelan keabsurdan ceritanya, dengan nama-nama tokoh yang berbau Portugis, dan cerita seperti khayalan Marquez. Berbagai kisah mulai dari kehilangan hingga pembantaian dalam bahasa yang tersamarkan, fakta yang difiksikan menjadi karakter pencerita, tokoh, atau korban, tanpa merujuk pada satu tempat atau kejadian yang sengaja ditutup-tutupi, di satu tempat yang dulu masih bagian dari negeri. Tanpa data tentang hal yang sebenarnya terjadi, cerita ini bisa terkesan hanya di angan. Fragmen-fragmen dibangun untuk menggugah emosi, dari saksi mata hingga anak yang kehilangan ayahnya.
Membaca Jazz, Parfum, dan Insiden adalah pembeberan fakta-fakta laporan yang difiksikan di Saksi Mata, ditemani sejumlah perempuan dan parfumnya beraneka sesuai karakter. Perempuan-perempuan yang terlihat kuat namun terbelenggu oleh cinta. Hmm, memangnya benar begitu kesepiannya? Laporan-laporan yang dibaca sendiri dan menimbulkan banyak ide di kepala untuk menuliskannya dengan halus, dan ditulis pula sebagai laporan berita.
Membaca Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara, adalah dapur dari kedua bagian sebelumnya. Flashback dan proses kreatif mengapa data-data ini harus dituliskan supaya orang tidak akan lupa bahwa kejadian di Timor Timur ini tidak boleh dilupakan begitu saja. Meskipun kini negeri itu telah berdiri sendiri, tapi bagaimana kejadian-kejadian itu dipaparkan berulang-ulang dalam setiap bab, membuat hati yang pada awalnya getir, menjadi terbiasa. Rezim masa lalu tak bisa menerima fakta, karenanya sejarah dituliskan oleh yang menang toh?
Berulang-ulang, gereja, kuburan, tembakan, sangkur, truk, lempar, mayat.
Dili 12 Nopember 1991.
"Saya tidak pernah yakin, dan tidak pernah terlalu percaya, bahwa tulisan saya dibaca orang. Saya berasal dari sebuah negeri yang resminya sudah bebas buta huruf, tapi yang bisa dipastikan masyarakatnya sebagian besar belum membaca secara benar--yakni membaca untuk memberi makna dan meningkatkan nilai kehidupannya. Masyarakat kami adalah madyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca untuk mengetahui harga-harga, membaca untuak melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepak bola, membaca karena ingin tahu berapa persen discount obral di pusat perbelanjaan, dan akhirnya membaca sub-title opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekadar hiburan. Sementara itu bagi lingkaran eksklusif kaum intelektual di negeri kami, apa yang disebut puisi, cerita pendek atau novel, barangkali hanya dianggap mainan remaja saja." (h.386)
Menjadi penulis untuk menggerakkan membagikan kata, dalam jurnal atau karya sastra atau hanya canda, sebelum kelak menghilang dalam lupa. (less)
View all my reviews
My rating: 5 of 5 stars
Timor timur, pernah menjadi provinsi ke 27 dan akhirnya berdiri sebegai negara sendiri, dengan kejadian kelam yang diceritakan di sini, ketika Gubernur Carascalao menjadi pemimpin di sana, tahun 1991.
Membaca Saksi Mata adalah menelan keabsurdan ceritanya, dengan nama-nama tokoh yang berbau Portugis, dan cerita seperti khayalan Marquez. Berbagai kisah mulai dari kehilangan hingga pembantaian dalam bahasa yang tersamarkan, fakta yang difiksikan menjadi karakter pencerita, tokoh, atau korban, tanpa merujuk pada satu tempat atau kejadian yang sengaja ditutup-tutupi, di satu tempat yang dulu masih bagian dari negeri. Tanpa data tentang hal yang sebenarnya terjadi, cerita ini bisa terkesan hanya di angan. Fragmen-fragmen dibangun untuk menggugah emosi, dari saksi mata hingga anak yang kehilangan ayahnya.
Membaca Jazz, Parfum, dan Insiden adalah pembeberan fakta-fakta laporan yang difiksikan di Saksi Mata, ditemani sejumlah perempuan dan parfumnya beraneka sesuai karakter. Perempuan-perempuan yang terlihat kuat namun terbelenggu oleh cinta. Hmm, memangnya benar begitu kesepiannya? Laporan-laporan yang dibaca sendiri dan menimbulkan banyak ide di kepala untuk menuliskannya dengan halus, dan ditulis pula sebagai laporan berita.
Membaca Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara, adalah dapur dari kedua bagian sebelumnya. Flashback dan proses kreatif mengapa data-data ini harus dituliskan supaya orang tidak akan lupa bahwa kejadian di Timor Timur ini tidak boleh dilupakan begitu saja. Meskipun kini negeri itu telah berdiri sendiri, tapi bagaimana kejadian-kejadian itu dipaparkan berulang-ulang dalam setiap bab, membuat hati yang pada awalnya getir, menjadi terbiasa. Rezim masa lalu tak bisa menerima fakta, karenanya sejarah dituliskan oleh yang menang toh?
Berulang-ulang, gereja, kuburan, tembakan, sangkur, truk, lempar, mayat.
Dili 12 Nopember 1991.
"Saya tidak pernah yakin, dan tidak pernah terlalu percaya, bahwa tulisan saya dibaca orang. Saya berasal dari sebuah negeri yang resminya sudah bebas buta huruf, tapi yang bisa dipastikan masyarakatnya sebagian besar belum membaca secara benar--yakni membaca untuk memberi makna dan meningkatkan nilai kehidupannya. Masyarakat kami adalah madyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca untuk mengetahui harga-harga, membaca untuak melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepak bola, membaca karena ingin tahu berapa persen discount obral di pusat perbelanjaan, dan akhirnya membaca sub-title opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekadar hiburan. Sementara itu bagi lingkaran eksklusif kaum intelektual di negeri kami, apa yang disebut puisi, cerita pendek atau novel, barangkali hanya dianggap mainan remaja saja." (h.386)
Menjadi penulis untuk menggerakkan membagikan kata, dalam jurnal atau karya sastra atau hanya canda, sebelum kelak menghilang dalam lupa. (less)
View all my reviews
Minggu, 24 Januari 2016
Trilogi Soekram
Trilogi Soekram by Sapardi Djoko Damono
My rating: 4 of 5 stars
Soekram tiga pribadi.
Apalah arti sebuah Soekram.
Hilang Soekram dua terbilang.
Tak putus dirundung Soekram.
Karena Soekram setitik, rusak senegara.
Soekram yang orang biasa.
Setiap orang bisa menjadi Soekram.
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
Soekram tiga pribadi.
Apalah arti sebuah Soekram.
Hilang Soekram dua terbilang.
Tak putus dirundung Soekram.
Karena Soekram setitik, rusak senegara.
Soekram yang orang biasa.
Setiap orang bisa menjadi Soekram.
View all my reviews
Karamazov Bersaudara
Karamazov Bersaudara by Variety Art Works
My rating: 5 of 5 stars
Aku sudah membayangkan tak akan pernah sanggup menghabiskan karya penulis Rusia yang bukunya setebal bantal itu.Tapi karena dituliskan dalam bentuk komik, jadi aku mau membacanya, dan ternyata kisah keluarga Karamazov ini luar biasa kerennya. Pantas saja Dostoevsky dijadikan bahan pamer buku bermutu yang sudah dibaca. Thriller dan saga beserta pesan moralnya begitu mencekam.
Seandainya sanggup, mungkin lebih baik membaca versi aslinya yang hanya melulu tulisan. Benar, deh.
View all my reviews
My rating: 5 of 5 stars
Aku sudah membayangkan tak akan pernah sanggup menghabiskan karya penulis Rusia yang bukunya setebal bantal itu.Tapi karena dituliskan dalam bentuk komik, jadi aku mau membacanya, dan ternyata kisah keluarga Karamazov ini luar biasa kerennya. Pantas saja Dostoevsky dijadikan bahan pamer buku bermutu yang sudah dibaca. Thriller dan saga beserta pesan moralnya begitu mencekam.
Seandainya sanggup, mungkin lebih baik membaca versi aslinya yang hanya melulu tulisan. Benar, deh.
View all my reviews
Selingkuh
Selingkuh by Paulo Coelho
My rating: 4 of 5 stars
“Beware when making a woman cry. God is counting her tears.”
Setiap orang punya masalah, bahkan seseorang yang hidup sangat berkecukupan pun berpendapat hidupnya ada sesuatu yang kurang. Maka ia mulai keluar dari zona nyamannya dan mencobai hal-hal baru. Tapi, apakah krisis umur 30-an itu seperti ini? Ketika perempuan punya kuasa dan laki-laki memohon-mohon untuk mendapatkan cintanya. Dan bahkan sampai pada kata-kata : Aku rela kehilanganmu asal kau bahagia. i don't think that nice.
Buat seseorang yang terlalu banyak punya masalah, sepertinya perempuan ini cukup bodoh.
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
“Beware when making a woman cry. God is counting her tears.”
Setiap orang punya masalah, bahkan seseorang yang hidup sangat berkecukupan pun berpendapat hidupnya ada sesuatu yang kurang. Maka ia mulai keluar dari zona nyamannya dan mencobai hal-hal baru. Tapi, apakah krisis umur 30-an itu seperti ini? Ketika perempuan punya kuasa dan laki-laki memohon-mohon untuk mendapatkan cintanya. Dan bahkan sampai pada kata-kata : Aku rela kehilanganmu asal kau bahagia. i don't think that nice.
Buat seseorang yang terlalu banyak punya masalah, sepertinya perempuan ini cukup bodoh.
View all my reviews
Critical Eleven
Critical Eleven by Ika Natassa
My rating: 4 of 5 stars
Sengaja aku memutuskan membaca buku ini pas di pesawat terbang, dalam perjalanan media trip ke Lombok, bersama 14 orang teman yang aku yakin tidak akan membuatku sedih. Tapi perasaan memang tidak bisa berbohong, karena tetap aku harus menyembunyikan mataku yang berair ketika aku pindah ke bangku belakang sambil memandang jendela dan membaca buku ini. Dan akhirnya aku terpaksa melihat keluar, memandang kenangan, dan berusaha menguasai diri karena semua hal yang berusaha keras dilupa kembali dengan santainya. Bertubi-tubi.
Benar Anya. Thanks I'm still alive now without brainless.
And my camera on my iPad solve it all. Klik.
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
Sengaja aku memutuskan membaca buku ini pas di pesawat terbang, dalam perjalanan media trip ke Lombok, bersama 14 orang teman yang aku yakin tidak akan membuatku sedih. Tapi perasaan memang tidak bisa berbohong, karena tetap aku harus menyembunyikan mataku yang berair ketika aku pindah ke bangku belakang sambil memandang jendela dan membaca buku ini. Dan akhirnya aku terpaksa melihat keluar, memandang kenangan, dan berusaha menguasai diri karena semua hal yang berusaha keras dilupa kembali dengan santainya. Bertubi-tubi.
Benar Anya. Thanks I'm still alive now without brainless.
And my camera on my iPad solve it all. Klik.
View all my reviews
The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of the Window and Disappeared
The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of the Window and Disappeared by Jonas Jonasson
My rating: 5 of 5 stars
Indonesia adalah negeri di mana segalanya mungkin.
Sarkastis banget, tapi memang begitulah yang terjadi di negeri ini.
Cerita luar biasa dari Swedia, Spanyol, Amerika, Cina, Iran, hingga Soviet dan Korea Utara, mengingatkan bahwa peduli amat dengan politik, orang-orang pintar cuma terjebak dimanfaatkan di dalamnya.
Membaca buku ini seperti kembali pada kenangan kelucuan masa kecil ketika membaca buku-buku Astrid Lindgren. Same type, but mature.
Yes, jump the window, face the world!
View all my reviews
My rating: 5 of 5 stars
Indonesia adalah negeri di mana segalanya mungkin.
Sarkastis banget, tapi memang begitulah yang terjadi di negeri ini.
Cerita luar biasa dari Swedia, Spanyol, Amerika, Cina, Iran, hingga Soviet dan Korea Utara, mengingatkan bahwa peduli amat dengan politik, orang-orang pintar cuma terjebak dimanfaatkan di dalamnya.
Membaca buku ini seperti kembali pada kenangan kelucuan masa kecil ketika membaca buku-buku Astrid Lindgren. Same type, but mature.
Yes, jump the window, face the world!
View all my reviews
Selasa, 29 September 2015
Jadilah Warga Dunia
Saya ingat, dulu ketika membaca buku The World is Flat-nya Thomas L. Friedman, saya berpikir, betapa tidak adilnya di negara kami, karena kita bahkan tidak bisa mendelegasikan pekerjaan ke negara lain seperti Amerika Serikat yang pegawainya bisa pulang pada jam enam sore, lalu meminta koleganya di India untuk meneruskan pekerjaannya (dan saat itu di India masuk jam kerja) sehingga menghemat biaya lembur dalam US dolar, dan target pekerjaannya pun selesai. Semua senang, mendapat sesuai kebutuhan. Kalau di negara sini, mana mungkin kita mendelegasikan pekerjaan ke Amerika. Bisa-bisa nombok karena biayanya tinggi.
Jadi dunia itu memang berputar, dengan kebutuhannya masing-masing sesuai waktunya. Jadi yang diperlukan untuk berhasil adalah tim yang bagus dan jejaring yang bersahabat. Buku Menjadi Warga Dunia ini mengetengahkan beberapa ide yang kurang lebih lebih mudah diwujudkan sebagai satu persona untuk mendapatkan kualitasnya terhadap posisinya. Karena buku ini sudah selesai kubaca ketika berbincang-bincang dengan penulisnya di kafe 89, Kemang, jadi yang kulakukan selanjutnya adalah membawa buku ini ke kantor, ke sekretariat, dan meminta orang-orang untuk membacanya. Jadi aku tidak sendiri dalam menelan buku ini, tapi juga berbagi supaya orang-orang mendapatkan ilmu yang kurang lebih sama.
Beberapa tips dan trik ini sudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk untuk mengelola pekerjaan maupun hubungan baik dengan klien. Etos-etos kerja yang dibangun inilah yang harus diterapkan untuk menjadi bagian dari dunia, bukan cuma ternganga dan terbersit iri melihat banyak sekali enterpreneur muda yang berhasil. Bagaimana mereka menerapkan kedisiplinan sehingga bisa menjadi seseorang yang diakui dunia. Satu kunci besar : Kerja Keras.
Salah satu bagian favoritku adalah 'be a passionate contributor', karena aku suka menjadi seseorang di balik layar, berani mengerjakan hal-hal karena passion. Dengan menjadi bagian dari satu tim dan mengerjakan dengan riang gembira sehingga menularkan semangat pada yang lain. Sebenarnya banyak lagi bagian-bagian yang sering kubaca dari tulisan ibu Eileen Rachman di Kompas Minggu. Wanita yang juga merupakan CEO Experd ini juga rutin menulis di situ.
Karena itu semangat ini harus dibagikan, bukan cuma sekadar membaca sendiri. Setiap orang yang menjadi bagian dari satu tim harus memiliki kesadaran yang sama supaya bisa bahu-membahu ketika mengahadapi kesulitan atau konflik. Semuanya berkesadaran untuk maju untuk mencapai keberhasilan bersama.
Jadilah Warga Dunia
Eileen Rachman
Gramedia Pustaka Utama, 154 halaman
Minggu, 12 April 2015
Interpreter of Maladies
Interpreter of Maladies by Jhumpa Lahiri
My rating: 4 of 5 stars
I love each story in this book, although I have to finish this book one month more because of my mood. The first story about a failed relationship between husband and wife really made me drop this book and delayed to read this for a few weeks. The rest of the story is humanity-related, some simple story that might happen also in our strange life. The story about Sanjeev and Twinkle within their new house, the story about the interpreter itself which had accidentally heard a secret story by someone he guide.
She write these story in simple detail, but deeper inside.
And I still have a wish to visit her country..
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
I love each story in this book, although I have to finish this book one month more because of my mood. The first story about a failed relationship between husband and wife really made me drop this book and delayed to read this for a few weeks. The rest of the story is humanity-related, some simple story that might happen also in our strange life. The story about Sanjeev and Twinkle within their new house, the story about the interpreter itself which had accidentally heard a secret story by someone he guide.
She write these story in simple detail, but deeper inside.
And I still have a wish to visit her country..
View all my reviews
The Valkyries
The Valkyries by Paulo Coelho
My rating: 3 of 5 stars
break a pact. accept forgiveness. and make a bet.
We are not alone. The world is changing, and we are part of the transformation. The angels guide us and protect us. Despite all the injustice in the world, and despite the things that happen to us that we don't deserve, and despite the fact that we sometimes feel incapable of changing what is wrong with people and with the world, and despite all of the Grand Inquisitor's arguments - love is even stronger, and it willhelp us to grow. Only then will we be able to understand the stars and miracles.
Aku tidak terlalu suka buku ini. Ceritanya penuh imajinasi mistis yang bisa membawamu sedikit sesat, kecuali bahwa pandanganmu bisa menguatkan akan keberadaan Tuhanmu sendiri. Dibanding Aleph yang terasa natural, pencarian Paulo akan malaikat di sini membuatnya sedikit terlihat gila. Sebenarnya lama kelamaan aku agak curiga, apakah Paulo ingin menjadi Nabi baru dengan agama cinta?
Tapi aku melihat kesetiaan Chris. Kerelaan hatinya untuk mendampingi apa pun yang dilakukan suaminya. Membuatnya pasrah menjadi orang gila kedua yang melintasi gurun demi mencari malaikat. Ketulusannyalah yang membuat terenyuh, sehingga sebenarnya pesan-pesan dari yang di Atas jatuh melalui Chris, namun sayang Paulo tidak tahu. Mungkin demikianlah egois berkata.
View all my reviews
My rating: 3 of 5 stars
break a pact. accept forgiveness. and make a bet.
We are not alone. The world is changing, and we are part of the transformation. The angels guide us and protect us. Despite all the injustice in the world, and despite the things that happen to us that we don't deserve, and despite the fact that we sometimes feel incapable of changing what is wrong with people and with the world, and despite all of the Grand Inquisitor's arguments - love is even stronger, and it willhelp us to grow. Only then will we be able to understand the stars and miracles.
Aku tidak terlalu suka buku ini. Ceritanya penuh imajinasi mistis yang bisa membawamu sedikit sesat, kecuali bahwa pandanganmu bisa menguatkan akan keberadaan Tuhanmu sendiri. Dibanding Aleph yang terasa natural, pencarian Paulo akan malaikat di sini membuatnya sedikit terlihat gila. Sebenarnya lama kelamaan aku agak curiga, apakah Paulo ingin menjadi Nabi baru dengan agama cinta?
Tapi aku melihat kesetiaan Chris. Kerelaan hatinya untuk mendampingi apa pun yang dilakukan suaminya. Membuatnya pasrah menjadi orang gila kedua yang melintasi gurun demi mencari malaikat. Ketulusannyalah yang membuat terenyuh, sehingga sebenarnya pesan-pesan dari yang di Atas jatuh melalui Chris, namun sayang Paulo tidak tahu. Mungkin demikianlah egois berkata.
View all my reviews
Under the Southern Stars
Under the Southern Stars by Anida Dyah
My rating: 4 of 5 stars
aku membaca buku ini lama sekali. hampir satu bulan lamanya.
penuturannya lambat dan pelan, dan karena aku tidak sedang dalam perjalanan, maka aku lebih sering menulis ketimbang membaca. dan satu hari ketika aku sedang stuck dalam menulis, aku membacanya lagi.
aku melihat lagi pribadi anid yang tertutup, yang tersembunyi di balik cerita-cerita serunya. aku salut bahwa ia berani untuk bercerita di dalam bukunya, tentang motivasi, tentang masa lalu, tentang harapan seseorang, tentang hal-hal yang mungkin tidak mudah diungkapkan.
dan seperti seorang teman pernah berpendapat padaku, tulislah dengan jujur, beranilah membuka hati, dengan begitu kamu akan merebut pembacamu. dan aku melihat itu lagi dalam cerita-cerita anid ini. bagaimana konflik tidak terselesaikan, bagaimana rindu yang melanda, bagaimana keberanian ditantang, dan bagaimana tetap menyembunyikan pribadi. anid bercerita tentang dirinya dalam porsi yang cukup, tidak cengeng dan minta perhatian.
pada akhirnya, perjalanan bukan sekadar pernah melangkah di destinasi-destinasi yang dituju, tapi tentang memahami orang lain dan juga diri sendiri. membacanya memang membuat aku bersyukur pada perjalanan yang pernah kulalui, tak hirau lagi akan patah dan kesal yang pernah kulewati.
perjalanan memiliki makna pribadi, dan jalur yang dilintasi amat menantang emosi. dan ketika menutup buku ini, aku diam. tidak ada lagi hal yang diirikan dari sebuah kisah happy ending. life is about how you look at.
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
aku membaca buku ini lama sekali. hampir satu bulan lamanya.
penuturannya lambat dan pelan, dan karena aku tidak sedang dalam perjalanan, maka aku lebih sering menulis ketimbang membaca. dan satu hari ketika aku sedang stuck dalam menulis, aku membacanya lagi.
aku melihat lagi pribadi anid yang tertutup, yang tersembunyi di balik cerita-cerita serunya. aku salut bahwa ia berani untuk bercerita di dalam bukunya, tentang motivasi, tentang masa lalu, tentang harapan seseorang, tentang hal-hal yang mungkin tidak mudah diungkapkan.
dan seperti seorang teman pernah berpendapat padaku, tulislah dengan jujur, beranilah membuka hati, dengan begitu kamu akan merebut pembacamu. dan aku melihat itu lagi dalam cerita-cerita anid ini. bagaimana konflik tidak terselesaikan, bagaimana rindu yang melanda, bagaimana keberanian ditantang, dan bagaimana tetap menyembunyikan pribadi. anid bercerita tentang dirinya dalam porsi yang cukup, tidak cengeng dan minta perhatian.
pada akhirnya, perjalanan bukan sekadar pernah melangkah di destinasi-destinasi yang dituju, tapi tentang memahami orang lain dan juga diri sendiri. membacanya memang membuat aku bersyukur pada perjalanan yang pernah kulalui, tak hirau lagi akan patah dan kesal yang pernah kulewati.
perjalanan memiliki makna pribadi, dan jalur yang dilintasi amat menantang emosi. dan ketika menutup buku ini, aku diam. tidak ada lagi hal yang diirikan dari sebuah kisah happy ending. life is about how you look at.
View all my reviews
The Dusty Sneakers: Kisah Kawan di Ujung Sana
The Dusty Sneakers: Kisah Kawan di Ujung Sana by Teddy W. Kusuma
My rating: 4 of 5 stars
Aku mengenal kedua penulisnya. Bukan mengenal dengan baik, hanya satu kali bertemu dalam satu acara temu traveler. Tapi saat itu, Twosocks meminjam buku favoritku, dan Gypsytoes tersenyum manis sekali. Ketika aku tahu ia menulis buku, it would be a good book. Beberapa kali aku pernah mampir ke blog mereka, dan menemukan rasa yang manis dan hangat. Dan itu yang membuatku, ah, aku harus punya buku mereka, hehe!
Dan aku langsung suka dengan cara bercerita mereka yang kenes dan lincah. Tulisan Gypsytoes sangat rapi seperti deretan gigi-giginya, sementara tulisan Twosocks segar seperti cara ia tertawa. Tanpa ada keterangan siapa yang menulisnya, aku bisa membedakan mana tulisan Twosocks atau Gypsytoes.
Cerita mereka menginspirasiku untuk menuliskan kisah yang, ah, tidak bisa dibilang sama. Tapi ya, tulisannya mengingatkanku untuk menulis pada gaya lama, bercerita pada seseorang. Seperti menulis surat saja. Cerita Twosocks keliling Indonesia, atau cerita Gypsytoes keliling Eropa.
Ya, tujukan saja tulisanmu pada seseorang.
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
Aku mengenal kedua penulisnya. Bukan mengenal dengan baik, hanya satu kali bertemu dalam satu acara temu traveler. Tapi saat itu, Twosocks meminjam buku favoritku, dan Gypsytoes tersenyum manis sekali. Ketika aku tahu ia menulis buku, it would be a good book. Beberapa kali aku pernah mampir ke blog mereka, dan menemukan rasa yang manis dan hangat. Dan itu yang membuatku, ah, aku harus punya buku mereka, hehe!
Dan aku langsung suka dengan cara bercerita mereka yang kenes dan lincah. Tulisan Gypsytoes sangat rapi seperti deretan gigi-giginya, sementara tulisan Twosocks segar seperti cara ia tertawa. Tanpa ada keterangan siapa yang menulisnya, aku bisa membedakan mana tulisan Twosocks atau Gypsytoes.
Cerita mereka menginspirasiku untuk menuliskan kisah yang, ah, tidak bisa dibilang sama. Tapi ya, tulisannya mengingatkanku untuk menulis pada gaya lama, bercerita pada seseorang. Seperti menulis surat saja. Cerita Twosocks keliling Indonesia, atau cerita Gypsytoes keliling Eropa.
Ya, tujukan saja tulisanmu pada seseorang.
View all my reviews
Terre des Hommes: Bumi Manusia
Terre des Hommes: Bumi Manusia by Antoine de Saint-Exupéry
My rating: 4 of 5 stars
Setiap perjalananku bermula, sejak lepas landas aku memasrahkan diriku pada langit. Pada birunya atmosfer dan awan-awan yang berarak. Aku paling suka duduk di tepi jendela, memandang keluar, memperhatikan bangunan di bawah sana yang perlahan mengecil, memandang arus sungai yang berkelok, danau-danau yang tampak seperti pecahan genangan, pepohonan seperti gerumbulan hijau, gunung-gunung yang dikitari awan tipis, tepian garis pantai yang kontras dengan birunya laut, kapal-kapal yang menuju daratan, hingga cuma biru di sekeliling.
Namun aneh sekali pelajaran geografi yang kuterima waktu itu! Guillaumet tidak memberi pelajaran tentang Spanyol kepadaku; ia menjadikan Spanyol sahabatku. Ia tidak membicarakan hidrografi ataupun penduduk, bukan juga binatang ternak. Ia tidak berbicara tentang kota Guadix, tapi tentang tiga pohon jeruk dekat Guadix sepanjang sebuah ladang : "Waspadalah kepada pohon-pohon jeruk itu, tandai pada peta..." Dan sejak itu, pada petaku, pohon jeruk menempati tempat lebih penting daripada Sierra Nevada. Ia tidak berbicara tentang kota Lorca kepadaku, tapi tentang rumah petani dekat kota Lorca. Tentang sebuah rumah petani yang hidup. Dan tentang para petaninya. Dan tentang para petani perempuannya. Dan pasangan itu, yang entah berada di mana, seribu lima ratus kilometer dari kita, memiliki peranan yang luar biasa pentingnya. Mereka tinggal dengan nyamannya di lereng gunung, seperti penjaga mercu suar, dan di bawah naungan bintang-bintang, mereka selalu siap menolong manusia. (h.16)
Satu malam ketika aku mengangkasa membelah gelap, lepas dari bandara Minangkabau, meninggalkan lampu-lampu sepanjang jalur lepas landas, mulai menjauh dari daratan. Tak lama yang terlihat hanya lampu-lampu kota, kemudian kerlip samar di perbukitan, sampai menembus awan dan tak ada cahaya lagi yang nampak. Cuma gelap di luar jendelamu. Lalu tiba-tiba gemuruh terdengar dan pesawat mulai terguncang. Lampu kabin dimatikan dan kami semua harus menggunakan sabuk pengaman. Mengintip keluar jendela hanya lampu-lampu pada sayap dan sesekali terang di ujung sana oleh petasan kilat. Yang bisa dilakukan hanya berdoa.
Jadi perlahan-lahan aku meninggalkan matahari. Aku meninggalkan dataran keemasan yang terbentang luas yang akan menyambutku manakala terjadi kerusakan... Aku meninggalkan patokan-patokan yang mungkin menunjukkan jalan kepadaku. Aku meninggalkan lekukan-lekukan gunung di langit yang memberitahuku kalau ada bahaya. Aku memasuki malam. Aku terbang. Yang tersisa untukku hanyalah bintang-bintang...
Kematian bumi itu terjadi perlahan-lahan. Dan sedikit demi sedikit pula aku kehilangan cahaya. Bumi dan langit menyatu perlahan-lahan. Bumi naik dan seolah-olah seperti asap. Bintang-bintang pertama bergetar seperti dalam air hijau. Masih harus menunggu lama sebelum mereka berubah menjadi intan yang keras. Aku masih harus menunggu lama sebelum dapat menyaksikan permainan bintang jatuh yang sunyi. Di tengah malam-malam tertentu, aku telah melihat begitu banyak percikan beterbangan seolah-olah ada embusan angin besar di antara bintang-bintang. (h.134)
Antoine de Saint-Exupéry adalah seorang pilot berkebangsaan Perancis yang bertugas awal sebagai pilot pesawat pos yang terkenal dengan bukunya Le Petite Prince. Ia lebih bercerita tentang pengalaman batinnya ketika melintasi Sahara, yang banyak memakan korban pesawat di masa itu atau pengalaman sahabatnya menyelamatkan diri di tengah pegunungan salju di Andes. Ia berkisah tentang manusia-manusia yang ditemuinya, tentang karakter, perbedaan, cara pandang. Orang-orang yang terkadang memandangnya musuh, atau teman. Namun sebagai pembawa pesawat pos, dirinya selalu ditunggu, dianggap pembawa kabar dari seberang.
Jadi kami mengajak mereka terbang, dan begitulah tiga orang di antara mereka sempat mengunjungi Prancis yang tidak mereka kenal. Mereka termasuk ras yang sama dengan orang-orang, yang ketika pergi ke Senegal denganku, menangis melihat pepohonan.
Ketika aku mengunjungi mereka kembali di tenda, mereka bercerita mengagumi gedung pertunjukan musik di mana perempuan-perempuan telanjang menari di antara bunga-bungaan. Laki-laki itu, yang tidak pernah melihat pohon, air mancur, atau bunga mawar, hanya tahu melalui Quran adanya taman tempat mengalir sungai-sungai karena begitulah digambarkan surga. Bagi mereka, surga dengan isinya yang cantik-cantik hanya dapat dicapai melalui kematian pahit di atas pasir oleh tembakan seorang pengkhianat, setelah menjalani tiga puluh tahun kesengsaraan. Tetapi Tuhan mengecewakan mereka, karena telah menganugerahkan semua kekayaan itu kepada orang Prancis, tetapi tidak mengharuskan mereka untuk menebusnya dengan kehausan atau kematian. Itulah sebabnya para kepala pasukan yang sudah tua itu kini bermimpi. Itulah sebabnya seraya mengamati Sahara yang terbentang, kosong, di sekeliling tenda mereka dan yang sampai mereka mati hanya memberikan kesenangan sedikit sekali, mereka mencurahkan isi hati :
"Kau tahu... Tuhan orang Prancis... Ia lebih murah hati kepada orang Prancis jika dibandingkan Tuhan orang Moor kepada orang Moor!" (h.100)
Melihat dunia dari atas sebenarnya tak jauh beda dengan kita yang menyusurinya lewat roda. Hanya sesuatu yang datang dari atas terkadang lebih didewakan, dianggap lebih istimewa. Masih ingat film God Must be Crazy ketika adegan terlemparnya botol Coca Cola dari pesawat dan disambut dengan banyak pertanyaan 'apakah ini?' oleh yang menemukannya di bawah? Seandainya botol itu tiba melalui dunia yang lebih horisontal, mungkin akan lebih lambat dan lebih mudah pengertian akan dicapai.
Pertanyaan tentang hidup, ketika batas antara hilang dan kematian begitu tipis, tentang harapan yang terus dipupuk selama berhari-hari terdampar jatuh di gurun pasir, mencari oase-oase yang kadang semu di antara pilihan untuk melanjutkan atau bertahan ditemukan. Bergerak sambil terus meninggalkan jejak atau pasrah ditelan udara panas yang bisa membuat gila. Cerita panjang tentang melintasi pasir yang menyesatkan hanya dengan bantuan kompas, tanpa tahu di mana mereka sebenarnya dalam peta panduan yang mereka bawa.
Setiap tempat adalah satu titik istimewa di peta, yang punya cerita sendiri dari siapa yang pernah membuat jejaknya. Bisa terkenang akan pepohonan yang berbuah ranum, bisa tentang jalan berkelok yang berdebu, bisa tentang guncangan di udara, atau gadis-gadis cantik yang menggetarkan hati, bahkan sekadar perasaan bangga pernah tersesat dalam satu pecahan ombak. Bahkan tidak punya rasa atasnya pun tidak menjadi masalah. Hidup memang bagian dari perjalanan. Safe flight.
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
Setiap perjalananku bermula, sejak lepas landas aku memasrahkan diriku pada langit. Pada birunya atmosfer dan awan-awan yang berarak. Aku paling suka duduk di tepi jendela, memandang keluar, memperhatikan bangunan di bawah sana yang perlahan mengecil, memandang arus sungai yang berkelok, danau-danau yang tampak seperti pecahan genangan, pepohonan seperti gerumbulan hijau, gunung-gunung yang dikitari awan tipis, tepian garis pantai yang kontras dengan birunya laut, kapal-kapal yang menuju daratan, hingga cuma biru di sekeliling.
Namun aneh sekali pelajaran geografi yang kuterima waktu itu! Guillaumet tidak memberi pelajaran tentang Spanyol kepadaku; ia menjadikan Spanyol sahabatku. Ia tidak membicarakan hidrografi ataupun penduduk, bukan juga binatang ternak. Ia tidak berbicara tentang kota Guadix, tapi tentang tiga pohon jeruk dekat Guadix sepanjang sebuah ladang : "Waspadalah kepada pohon-pohon jeruk itu, tandai pada peta..." Dan sejak itu, pada petaku, pohon jeruk menempati tempat lebih penting daripada Sierra Nevada. Ia tidak berbicara tentang kota Lorca kepadaku, tapi tentang rumah petani dekat kota Lorca. Tentang sebuah rumah petani yang hidup. Dan tentang para petaninya. Dan tentang para petani perempuannya. Dan pasangan itu, yang entah berada di mana, seribu lima ratus kilometer dari kita, memiliki peranan yang luar biasa pentingnya. Mereka tinggal dengan nyamannya di lereng gunung, seperti penjaga mercu suar, dan di bawah naungan bintang-bintang, mereka selalu siap menolong manusia. (h.16)
Satu malam ketika aku mengangkasa membelah gelap, lepas dari bandara Minangkabau, meninggalkan lampu-lampu sepanjang jalur lepas landas, mulai menjauh dari daratan. Tak lama yang terlihat hanya lampu-lampu kota, kemudian kerlip samar di perbukitan, sampai menembus awan dan tak ada cahaya lagi yang nampak. Cuma gelap di luar jendelamu. Lalu tiba-tiba gemuruh terdengar dan pesawat mulai terguncang. Lampu kabin dimatikan dan kami semua harus menggunakan sabuk pengaman. Mengintip keluar jendela hanya lampu-lampu pada sayap dan sesekali terang di ujung sana oleh petasan kilat. Yang bisa dilakukan hanya berdoa.
Jadi perlahan-lahan aku meninggalkan matahari. Aku meninggalkan dataran keemasan yang terbentang luas yang akan menyambutku manakala terjadi kerusakan... Aku meninggalkan patokan-patokan yang mungkin menunjukkan jalan kepadaku. Aku meninggalkan lekukan-lekukan gunung di langit yang memberitahuku kalau ada bahaya. Aku memasuki malam. Aku terbang. Yang tersisa untukku hanyalah bintang-bintang...
Kematian bumi itu terjadi perlahan-lahan. Dan sedikit demi sedikit pula aku kehilangan cahaya. Bumi dan langit menyatu perlahan-lahan. Bumi naik dan seolah-olah seperti asap. Bintang-bintang pertama bergetar seperti dalam air hijau. Masih harus menunggu lama sebelum mereka berubah menjadi intan yang keras. Aku masih harus menunggu lama sebelum dapat menyaksikan permainan bintang jatuh yang sunyi. Di tengah malam-malam tertentu, aku telah melihat begitu banyak percikan beterbangan seolah-olah ada embusan angin besar di antara bintang-bintang. (h.134)
Antoine de Saint-Exupéry adalah seorang pilot berkebangsaan Perancis yang bertugas awal sebagai pilot pesawat pos yang terkenal dengan bukunya Le Petite Prince. Ia lebih bercerita tentang pengalaman batinnya ketika melintasi Sahara, yang banyak memakan korban pesawat di masa itu atau pengalaman sahabatnya menyelamatkan diri di tengah pegunungan salju di Andes. Ia berkisah tentang manusia-manusia yang ditemuinya, tentang karakter, perbedaan, cara pandang. Orang-orang yang terkadang memandangnya musuh, atau teman. Namun sebagai pembawa pesawat pos, dirinya selalu ditunggu, dianggap pembawa kabar dari seberang.
Jadi kami mengajak mereka terbang, dan begitulah tiga orang di antara mereka sempat mengunjungi Prancis yang tidak mereka kenal. Mereka termasuk ras yang sama dengan orang-orang, yang ketika pergi ke Senegal denganku, menangis melihat pepohonan.
Ketika aku mengunjungi mereka kembali di tenda, mereka bercerita mengagumi gedung pertunjukan musik di mana perempuan-perempuan telanjang menari di antara bunga-bungaan. Laki-laki itu, yang tidak pernah melihat pohon, air mancur, atau bunga mawar, hanya tahu melalui Quran adanya taman tempat mengalir sungai-sungai karena begitulah digambarkan surga. Bagi mereka, surga dengan isinya yang cantik-cantik hanya dapat dicapai melalui kematian pahit di atas pasir oleh tembakan seorang pengkhianat, setelah menjalani tiga puluh tahun kesengsaraan. Tetapi Tuhan mengecewakan mereka, karena telah menganugerahkan semua kekayaan itu kepada orang Prancis, tetapi tidak mengharuskan mereka untuk menebusnya dengan kehausan atau kematian. Itulah sebabnya para kepala pasukan yang sudah tua itu kini bermimpi. Itulah sebabnya seraya mengamati Sahara yang terbentang, kosong, di sekeliling tenda mereka dan yang sampai mereka mati hanya memberikan kesenangan sedikit sekali, mereka mencurahkan isi hati :
"Kau tahu... Tuhan orang Prancis... Ia lebih murah hati kepada orang Prancis jika dibandingkan Tuhan orang Moor kepada orang Moor!" (h.100)
Melihat dunia dari atas sebenarnya tak jauh beda dengan kita yang menyusurinya lewat roda. Hanya sesuatu yang datang dari atas terkadang lebih didewakan, dianggap lebih istimewa. Masih ingat film God Must be Crazy ketika adegan terlemparnya botol Coca Cola dari pesawat dan disambut dengan banyak pertanyaan 'apakah ini?' oleh yang menemukannya di bawah? Seandainya botol itu tiba melalui dunia yang lebih horisontal, mungkin akan lebih lambat dan lebih mudah pengertian akan dicapai.
Pertanyaan tentang hidup, ketika batas antara hilang dan kematian begitu tipis, tentang harapan yang terus dipupuk selama berhari-hari terdampar jatuh di gurun pasir, mencari oase-oase yang kadang semu di antara pilihan untuk melanjutkan atau bertahan ditemukan. Bergerak sambil terus meninggalkan jejak atau pasrah ditelan udara panas yang bisa membuat gila. Cerita panjang tentang melintasi pasir yang menyesatkan hanya dengan bantuan kompas, tanpa tahu di mana mereka sebenarnya dalam peta panduan yang mereka bawa.
Setiap tempat adalah satu titik istimewa di peta, yang punya cerita sendiri dari siapa yang pernah membuat jejaknya. Bisa terkenang akan pepohonan yang berbuah ranum, bisa tentang jalan berkelok yang berdebu, bisa tentang guncangan di udara, atau gadis-gadis cantik yang menggetarkan hati, bahkan sekadar perasaan bangga pernah tersesat dalam satu pecahan ombak. Bahkan tidak punya rasa atasnya pun tidak menjadi masalah. Hidup memang bagian dari perjalanan. Safe flight.
View all my reviews
Maya
Maya by Ayu Utami
My rating: 4 of 5 stars
Yasmin. Perempuan berarti melati yang dianggap salah menemukan cinta. Jika mencintai yang salah bisa seperti itu besarnya, bagaimana jika mencintai yang benar?
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
Yasmin. Perempuan berarti melati yang dianggap salah menemukan cinta. Jika mencintai yang salah bisa seperti itu besarnya, bagaimana jika mencintai yang benar?
View all my reviews
Wisata Bumi Cekungan Bandung
Wisata Bumi Cekungan Bandung by Budi Brahmantyo
My rating: 5 of 5 stars
buku keren dengan 9 jalur geotrek menyusuri cekungan bandung.
sudah menjalani 4, akan lima bulan depan.
perjalanan yang sip, keren, mengasyikkan deh..
https://www.goodreads.com/topic/show/...
View all my reviews
My rating: 5 of 5 stars
buku keren dengan 9 jalur geotrek menyusuri cekungan bandung.
sudah menjalani 4, akan lima bulan depan.
perjalanan yang sip, keren, mengasyikkan deh..
https://www.goodreads.com/topic/show/...
View all my reviews
Tea For Two
Tea For Two by Clara Ng
My rating: 3 of 5 stars
don't trust someone who said loving you too much.
View all my reviews
My rating: 3 of 5 stars
don't trust someone who said loving you too much.
View all my reviews
7 Divisi
7 Divisi by Ayu Welirang
My rating: 4 of 5 stars
Alam, memang menjadi tempat belajar untuk mengenal pribadi masing-masing. Yang kuat, yang manja, yang tabah, akan diperlihatkan seketika mereka berhadapan dengan alam. Untuk yang sering jalan ke gunung, pasti sifat egois itu makin lama makin terkikis. Ketika di alam, semua adalah satu tim, karena cuma alam dan mungkin kematian yang bisa memisahkan.
Aku bisa merasakan guruh yang menyapu langit Arcawana, berjalan di punggungan-punggungan tipis, menemukan tebing satu-satunya jalan, terpaksa nge-camp di jalur, dari kata-kata yang ditutur Ayu. Bagaimana Gitta menapaki pitch demi pitch di tebing itu, seperti cerita film yang terbayang-bayang di kepalaku. Arcawana dalam bayanganku adalah Argopuro, gunung yang kulihat di latar belakang jauh ketika aku berdiri di menara pandang Taman Nasional Baluran, tak jauh dari Banyuwangi.
Sebenarnya cerita ini bernilai 4* bagiku, jika tidak ada jalur kereta yang salah, atau beberapa penulisan istilah teknis yang salah, jadi agak-agak mengganggu di awal. Demikian juga dengan nama-nama penduduk desa misterius di Arcawana. Namun akhirnya aku bisa menikmati cerita selanjutnya dengan tidak terlalu mengindahkan itu, cuma memberi catatan-catatan khusus.
Ide ceritanya menarik, karena agak jarang buku tentang gunung, yang ditulis oleh pendaki gunung beneran pula. Walaupun perekrutannya agak mirip dengan film 'Now You See Me', tapi cerita keseluruhannya cukup menarik untuk dibaca pembaca remaja yang butuh tema alternatif.
Jadi walaupun turun menjadi 3* tapi akhirnya kukembalikan lagi menjadi 4 karena jika aku kenal penulisnya, pasti aku tambah satu *.
Terus menulis, Ayu.
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
Alam, memang menjadi tempat belajar untuk mengenal pribadi masing-masing. Yang kuat, yang manja, yang tabah, akan diperlihatkan seketika mereka berhadapan dengan alam. Untuk yang sering jalan ke gunung, pasti sifat egois itu makin lama makin terkikis. Ketika di alam, semua adalah satu tim, karena cuma alam dan mungkin kematian yang bisa memisahkan.
Aku bisa merasakan guruh yang menyapu langit Arcawana, berjalan di punggungan-punggungan tipis, menemukan tebing satu-satunya jalan, terpaksa nge-camp di jalur, dari kata-kata yang ditutur Ayu. Bagaimana Gitta menapaki pitch demi pitch di tebing itu, seperti cerita film yang terbayang-bayang di kepalaku. Arcawana dalam bayanganku adalah Argopuro, gunung yang kulihat di latar belakang jauh ketika aku berdiri di menara pandang Taman Nasional Baluran, tak jauh dari Banyuwangi.
Sebenarnya cerita ini bernilai 4* bagiku, jika tidak ada jalur kereta yang salah, atau beberapa penulisan istilah teknis yang salah, jadi agak-agak mengganggu di awal. Demikian juga dengan nama-nama penduduk desa misterius di Arcawana. Namun akhirnya aku bisa menikmati cerita selanjutnya dengan tidak terlalu mengindahkan itu, cuma memberi catatan-catatan khusus.
Ide ceritanya menarik, karena agak jarang buku tentang gunung, yang ditulis oleh pendaki gunung beneran pula. Walaupun perekrutannya agak mirip dengan film 'Now You See Me', tapi cerita keseluruhannya cukup menarik untuk dibaca pembaca remaja yang butuh tema alternatif.
Jadi walaupun turun menjadi 3* tapi akhirnya kukembalikan lagi menjadi 4 karena jika aku kenal penulisnya, pasti aku tambah satu *.
Terus menulis, Ayu.
View all my reviews
Minggu, 09 Maret 2014
Fight Club
Fight Club by Chuck Palahniuk
My rating: 4 of 5 stars
aku nggak tahu kenapa membutuhkan lebih dari 6 bulan untuk menamatkan buku ini. serius, kupikir ketika itu aku memulainya dengan pikiran yang waras dan dunia yang sukacita. tak berhasil menyatukan moodku dengan buku ini.
dan ketika kamu merasa kalah, dan butuh teman, dan ingin menghancurkan apa saja yang ada di dekatmu. yah, itu yang dirasakan Joe, ketika semua miliknya hilang dalam sekejab dan ia memulai kehidupannya yang baru.
setiap orang berhak marah, mencaci, membanting dan memukul apa saja. namun selalu ada batasan-batasan di dalam jaringan manusia. norma boleh dan tidak boleh, batas gila maupun wajar yang bisa diterima, batasan yang diciptakan manusia. ketakutan-ketakutan yang dibatasi oleh pikiran-pikiran sendiri. berusaha melompat untuk tidak mengenali semuanya.
aku belajar untuk berhenti marah, berhenti menyalahkan keadaan. mencoba mencari sesuatu yang memang diriku, atau seseorang yang membuatku jatuh cinta lagi.
kadang entah siapa yang ada di dalam diri, si penceria, si semangat, si motivator, atau si pencemburu, si cengeng, si menyerah pada kondisi yang ia tidak bisa dapatkan. atau bukan siapa-siapa, yang menerima kenyataan yang sudah jujur, dan berharap keadaan sebaliknya. berharap suatu saat jawaban itu akan berubah.
dan kadang pengen bilang ke seseorang yang selalu mencelamu, "eh, kamu tuh biasa aja. nggak usah sombong. cih!"
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
aku nggak tahu kenapa membutuhkan lebih dari 6 bulan untuk menamatkan buku ini. serius, kupikir ketika itu aku memulainya dengan pikiran yang waras dan dunia yang sukacita. tak berhasil menyatukan moodku dengan buku ini.
dan ketika kamu merasa kalah, dan butuh teman, dan ingin menghancurkan apa saja yang ada di dekatmu. yah, itu yang dirasakan Joe, ketika semua miliknya hilang dalam sekejab dan ia memulai kehidupannya yang baru.
setiap orang berhak marah, mencaci, membanting dan memukul apa saja. namun selalu ada batasan-batasan di dalam jaringan manusia. norma boleh dan tidak boleh, batas gila maupun wajar yang bisa diterima, batasan yang diciptakan manusia. ketakutan-ketakutan yang dibatasi oleh pikiran-pikiran sendiri. berusaha melompat untuk tidak mengenali semuanya.
aku belajar untuk berhenti marah, berhenti menyalahkan keadaan. mencoba mencari sesuatu yang memang diriku, atau seseorang yang membuatku jatuh cinta lagi.
kadang entah siapa yang ada di dalam diri, si penceria, si semangat, si motivator, atau si pencemburu, si cengeng, si menyerah pada kondisi yang ia tidak bisa dapatkan. atau bukan siapa-siapa, yang menerima kenyataan yang sudah jujur, dan berharap keadaan sebaliknya. berharap suatu saat jawaban itu akan berubah.
dan kadang pengen bilang ke seseorang yang selalu mencelamu, "eh, kamu tuh biasa aja. nggak usah sombong. cih!"
View all my reviews
Sarongge
Sarongge by Tosca Santoso
My rating: 5 of 5 stars
Satu setengah tahun yang lalu, aku melihat buku ini di lantai basemen Blok M Square. Pertama melihat aku langsung tertarik, berjudul Sarongge, karya Tosca Santoso, dengan sampul sebuah pohon besar yang rindang, dengan pengantar Ayu Utami. Saat itu aku tidak menanyakan harganya, karena takut mahal dan belum tahu harga aslinya. Dan lagi, jumlah buku yang belum kubaca di rumah juga menumpuk banyak, sehingga aku tidak berniat menambah timbunanku itu.
Beberapa bulan kemudian, tiba-tiba aku ingat lagi dengan buku itu, ketika daerah Sarongge mulai diperbincangkan di twitter. Baru aku tahu, bahwa Sarongge itu nama daerah di kawasan Puncak, di mana di sana ada program adopsi pohon dari Green Radio. Aku mulai mencari lewat toko buku online yang ternyata sudah tidak ada stok dan akhirnya menanyakan ke penulisnya langsung @toscasantoso via twitter. Ternyata di toko-toko buku di Jakarta sudah tidak ada, dan masa iya aku keliling seluruh toko buku? Jakarta itu kan propinsi, sehingga agak sulit dicapai ujung satu dengan satunya lagi. Bisa berhari-hari kalau keliling.
Untunglah, dengan pertemananku dengan pencinta-pencinta buku, ada yang memberi tahu kalau buku ini masih ada di Toga Mas Semarang. Aku langsung menitip pada rekan BBI Tezar dibelikan dan kubilang nanti kuambil kalau aku ke Semarang. Tetapi buku dikirimkan lewat seorang teman pada bulan September 2013, ke Jakarta, dan belum ketemu juga denganku sampai aku ke Semarang di Oktober 2013 (Kubilang juga apa, Jakarta itu propinsi, bikin janji temu aja susah!). Akhirnya buku itu sampai di tanganku pada bulan Desember 2013, bersama dengan Tezar ke Jakarta, dan bertemu juga dengan Essy yang dititipi bukunya. Oh iya, pada bulan Nopember ketika aku berjalan-jalan ke Toga Mas Depok, aku menemukan 2-3 eksemplar juga buku Sarongge ini. (laahh, tahu ada di sini ngapain nitip?)
[caption id="attachment_2119" align="aligncenter" width="500"]
sarongge
(sumber : toscasantoso.tumblr.com)[/caption]
Ekspektasiku tidak salah. Aku terharu membaca bab-bab awal buku ini. Bercerita tentang kawasan petani di Sarongge yang terdesak oleh hutan Perhutani yang mengakibatkan mereka tidak bisa berladang lagi. Berebut cahaya matahari antara pepohonan hijau dengan sayuran yang ditanam petani. Disalahkan atas berpindah-pindahnya lahan berladang. Dan petani yang terdesak oleh pemodal besar yang menguasai pertanian komoditas tertentu yang sedang 'in' sehingga berebut pasokan air dari sumber bersama. Dan mereka selalu kalah karena kurangnya pengetahuan sehingga sering dikelabui oleh pasal-pasal buatan penguasa.
Meskipun mengambil bentuk novel, tapi buku ini menjejali kita tentang pengetahuan tentang tanaman-tanaman tropis, kehidupan petani Indonesia yang terkena dampak besar oleh salah guna olah lahan oleh pemerintah, dari sisi pengetahuan Husin, seorang Sarjana Pertanian yang mengabdikan harinya untuk membantu masyarakat desa Sarongge memaksimalkan daerahnya di bidang pertanian. Juga dari sisi Karen, pejuang lingkungan yang mempertahankan hak tanah ulayat yang semena-mena diaku menjadi tanah pemerintah untuk ‘dijual’ kepada perusahaan pemegang HPH atau pemilik izin tambang.
Mengikuti perjalanan Husin, seperti berada di sampingnya saat ia menjelaskan tanaman ki hujan, cecenet, rasamala, saat langkahnya satu per satu mendaki Gunung Gede menyusuri jalur ritual penduduk menuju makam Eyang Suryakencana, sedih melihat gambaran edelweiss yang lama kelamaan berkurang karena ratusan pendaki menghancurkan proses hidupnya. Menghidupkan pertanian organik dengan bahan alam untuk pupuk dan pembasmi hamanya. Memaksimalkan potensi-potensi hutan untuk dinikmati bersama oleh warga di kaki gunungnya. Menikmati alam dengan sederhana.
Bersama Karen yang menyerang pengusaha hutan di Riau yang ingin mengubah hutan gambut menjadi kelapa sawit, dan bertahan dari pengusaha tambang di Sumba, hingga pengejarannya di Papua, membuat gemas. Kenapa orang demikian serakah ingin memperkaya dengan menggali terus menerus dari bumi yang subur ini, yang sudah memberikan secukupnya untuk masyarakat yang ada di sekitarnya dan merawatnya kembali, kemudian jatuh ke tangan orang-orang yang mengaku pintar, namun hanya bisa mengeksploitasi, meraup sebesar-besarnya, tanpa berpikir untuk mengembalikan kondisi itu sehingga bisa bermanfaat untuk sekitarnya? Masyarakat sekitar menjadi miskin, kehilangan tempat mencari bahan makanannya karena sudah berubah menjadi tambang, dan memaksakan penggantinya sesuai caranya seolah-olah itu adalah yang benar untuk penduduk setempat.
Di Papua, ratusan pohon sagu ditebang untuk diubah menjadi kebun kelapa sawit, sementara penduduk yang terbiasa makan sagu diminta mengganti makan beras, yang juga harus diimpor dari luar Papua. Jangan tanya tentang perusahaan tambang tembaga yang menemukan emas ketika mereka mendapat hak untuk 'merusak' gunung suci yang berada dalam wilayah ulayat suku Amungme. Gunung tembaga ini adalah duku-duku sebutan untuk gunung suci yang dianggap sebagai tempat kembalinya arwah setelah mati. Ketika gunung sudah hilang ditambang, ke mana arwah mereka pergi? Kepercayaan ini diingkari begitu saja. Diabaikan.
Aku seperti mencintai negeri ini sekaligus membenci pengelolanya. “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” itu tak lebih dari jargon yang ditanamkan semasa sekolah. TANPA adanya penanaman mental yang cukup bahwa kita HARUS menjaga negeri ini, maka negeri ini akan jatuh pada mental serakah seperti masa penjajah yang dijilat oleh kerajaan yang mau daerahnya aman. Seharusnya tidak begitu. Seharusnya dengan berbagai macam disiplin ilmu yang membuat jumlah intelektual muda meningkat negeri ini dan sadar tingkat kritisnya negeri ini. Seharusnya pengusaha-pengusaha ini sudah waktunya berpindah generasi yang lebih melek lingkungan. Seharusnya belajar dengan musnahnya budaya, pemukiman, akan mengakibatkan berkurangnya kekayaan negeri ini, yang tidak sekadar dijadikan tontonan, tapi membiarkan hidup dengan kebiasaan-kebiasaan budayanya. Berpikir global tidak melupakan yang lokal.
Biarkan zamrud itu berkilau lagi...
minggu panas : 23.02.2014 : 17.02 : menanti hari bumi 22 april
[caption id="attachment_2120" align="aligncenter" width="500"]
program adopsi pohon
(sumber : toscasantoso.tumblr.com)[/caption]
View all my reviews
My rating: 5 of 5 stars
Satu setengah tahun yang lalu, aku melihat buku ini di lantai basemen Blok M Square. Pertama melihat aku langsung tertarik, berjudul Sarongge, karya Tosca Santoso, dengan sampul sebuah pohon besar yang rindang, dengan pengantar Ayu Utami. Saat itu aku tidak menanyakan harganya, karena takut mahal dan belum tahu harga aslinya. Dan lagi, jumlah buku yang belum kubaca di rumah juga menumpuk banyak, sehingga aku tidak berniat menambah timbunanku itu.
Beberapa bulan kemudian, tiba-tiba aku ingat lagi dengan buku itu, ketika daerah Sarongge mulai diperbincangkan di twitter. Baru aku tahu, bahwa Sarongge itu nama daerah di kawasan Puncak, di mana di sana ada program adopsi pohon dari Green Radio. Aku mulai mencari lewat toko buku online yang ternyata sudah tidak ada stok dan akhirnya menanyakan ke penulisnya langsung @toscasantoso via twitter. Ternyata di toko-toko buku di Jakarta sudah tidak ada, dan masa iya aku keliling seluruh toko buku? Jakarta itu kan propinsi, sehingga agak sulit dicapai ujung satu dengan satunya lagi. Bisa berhari-hari kalau keliling.
Untunglah, dengan pertemananku dengan pencinta-pencinta buku, ada yang memberi tahu kalau buku ini masih ada di Toga Mas Semarang. Aku langsung menitip pada rekan BBI Tezar dibelikan dan kubilang nanti kuambil kalau aku ke Semarang. Tetapi buku dikirimkan lewat seorang teman pada bulan September 2013, ke Jakarta, dan belum ketemu juga denganku sampai aku ke Semarang di Oktober 2013 (Kubilang juga apa, Jakarta itu propinsi, bikin janji temu aja susah!). Akhirnya buku itu sampai di tanganku pada bulan Desember 2013, bersama dengan Tezar ke Jakarta, dan bertemu juga dengan Essy yang dititipi bukunya. Oh iya, pada bulan Nopember ketika aku berjalan-jalan ke Toga Mas Depok, aku menemukan 2-3 eksemplar juga buku Sarongge ini. (laahh, tahu ada di sini ngapain nitip?)
[caption id="attachment_2119" align="aligncenter" width="500"]
sarongge
(sumber : toscasantoso.tumblr.com)[/caption]
Ekspektasiku tidak salah. Aku terharu membaca bab-bab awal buku ini. Bercerita tentang kawasan petani di Sarongge yang terdesak oleh hutan Perhutani yang mengakibatkan mereka tidak bisa berladang lagi. Berebut cahaya matahari antara pepohonan hijau dengan sayuran yang ditanam petani. Disalahkan atas berpindah-pindahnya lahan berladang. Dan petani yang terdesak oleh pemodal besar yang menguasai pertanian komoditas tertentu yang sedang 'in' sehingga berebut pasokan air dari sumber bersama. Dan mereka selalu kalah karena kurangnya pengetahuan sehingga sering dikelabui oleh pasal-pasal buatan penguasa.
Meskipun mengambil bentuk novel, tapi buku ini menjejali kita tentang pengetahuan tentang tanaman-tanaman tropis, kehidupan petani Indonesia yang terkena dampak besar oleh salah guna olah lahan oleh pemerintah, dari sisi pengetahuan Husin, seorang Sarjana Pertanian yang mengabdikan harinya untuk membantu masyarakat desa Sarongge memaksimalkan daerahnya di bidang pertanian. Juga dari sisi Karen, pejuang lingkungan yang mempertahankan hak tanah ulayat yang semena-mena diaku menjadi tanah pemerintah untuk ‘dijual’ kepada perusahaan pemegang HPH atau pemilik izin tambang.
Mengikuti perjalanan Husin, seperti berada di sampingnya saat ia menjelaskan tanaman ki hujan, cecenet, rasamala, saat langkahnya satu per satu mendaki Gunung Gede menyusuri jalur ritual penduduk menuju makam Eyang Suryakencana, sedih melihat gambaran edelweiss yang lama kelamaan berkurang karena ratusan pendaki menghancurkan proses hidupnya. Menghidupkan pertanian organik dengan bahan alam untuk pupuk dan pembasmi hamanya. Memaksimalkan potensi-potensi hutan untuk dinikmati bersama oleh warga di kaki gunungnya. Menikmati alam dengan sederhana.
Tiap kali di bawah tenda seperti ini, saya merasa alangkah sedikitnya sebetulnya ruang yang dibutuhkan manusia.
[h.83]
Bersama Karen yang menyerang pengusaha hutan di Riau yang ingin mengubah hutan gambut menjadi kelapa sawit, dan bertahan dari pengusaha tambang di Sumba, hingga pengejarannya di Papua, membuat gemas. Kenapa orang demikian serakah ingin memperkaya dengan menggali terus menerus dari bumi yang subur ini, yang sudah memberikan secukupnya untuk masyarakat yang ada di sekitarnya dan merawatnya kembali, kemudian jatuh ke tangan orang-orang yang mengaku pintar, namun hanya bisa mengeksploitasi, meraup sebesar-besarnya, tanpa berpikir untuk mengembalikan kondisi itu sehingga bisa bermanfaat untuk sekitarnya? Masyarakat sekitar menjadi miskin, kehilangan tempat mencari bahan makanannya karena sudah berubah menjadi tambang, dan memaksakan penggantinya sesuai caranya seolah-olah itu adalah yang benar untuk penduduk setempat.
Di Papua, ratusan pohon sagu ditebang untuk diubah menjadi kebun kelapa sawit, sementara penduduk yang terbiasa makan sagu diminta mengganti makan beras, yang juga harus diimpor dari luar Papua. Jangan tanya tentang perusahaan tambang tembaga yang menemukan emas ketika mereka mendapat hak untuk 'merusak' gunung suci yang berada dalam wilayah ulayat suku Amungme. Gunung tembaga ini adalah duku-duku sebutan untuk gunung suci yang dianggap sebagai tempat kembalinya arwah setelah mati. Ketika gunung sudah hilang ditambang, ke mana arwah mereka pergi? Kepercayaan ini diingkari begitu saja. Diabaikan.
Misalnya tambang tembaga itu ditemukan di bawah Tembok Ratapan Yerusalem, apakah orang Yahudi akan membiarkan tempat suci mereka digusur buldoser penambang? Kalau tanah Emas ada di bawah Ka'bah di Mekah, apa ada yang berani menambang di sana? Atau kalau sumber uranium ada di bawah bait Allah di Yerusalem, siapa yang akan membongkar tempat suci itu tanpa membangkitkan perlawanan orang Kristen? Agama-agama besar punya pembelanya sendiri. Sedangkan kepercayaan Amungme akan lenyap, bersama gunung mereka yang setiap hari dikeruk buldoser.
(h.300)
Aku seperti mencintai negeri ini sekaligus membenci pengelolanya. “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” itu tak lebih dari jargon yang ditanamkan semasa sekolah. TANPA adanya penanaman mental yang cukup bahwa kita HARUS menjaga negeri ini, maka negeri ini akan jatuh pada mental serakah seperti masa penjajah yang dijilat oleh kerajaan yang mau daerahnya aman. Seharusnya tidak begitu. Seharusnya dengan berbagai macam disiplin ilmu yang membuat jumlah intelektual muda meningkat negeri ini dan sadar tingkat kritisnya negeri ini. Seharusnya pengusaha-pengusaha ini sudah waktunya berpindah generasi yang lebih melek lingkungan. Seharusnya belajar dengan musnahnya budaya, pemukiman, akan mengakibatkan berkurangnya kekayaan negeri ini, yang tidak sekadar dijadikan tontonan, tapi membiarkan hidup dengan kebiasaan-kebiasaan budayanya. Berpikir global tidak melupakan yang lokal.
Biarkan zamrud itu berkilau lagi...
Inilah saat kita
menjemput embun dan matahari
Tanpa kata. Tanpa peta
Tak perlu janji hari nanti
[h.125]
minggu panas : 23.02.2014 : 17.02 : menanti hari bumi 22 april
[caption id="attachment_2120" align="aligncenter" width="500"]
program adopsi pohon
(sumber : toscasantoso.tumblr.com)[/caption]
View all my reviews
The Casual Vacancy - Perebutan Kursi Kosong
The Casual Vacancy - Perebutan Kursi Kosong by J.K. Rowling
My rating: 4 of 5 stars
my favorite is Kay!
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
my favorite is Kay!
View all my reviews
Langganan:
Postingan (Atom)