ulasan. resensi. kesan.

ulasan. resensi. kesan. ini bukuku, apa bukumu?

Senin, 23 Februari 2009

Three Cups of a Tea

Three Cups of Tea (Tiga Cangkir Teh) Three Cups of Tea by Greg Mortenson


My review


rating: 5 of 5 stars
Buku yang sangat indah menceritakan soal bagian utara Pakistan, gunung2nya yang indah.. tempat impian semua pendaki, namun tersimpan rahasia dan harta karun dunia..




Greg Mortenson, seorang pendaki gunung asal Amerika, sedang mengadakan penjelajahan di Karakoram, Pakistan, yaitu obsesi menaklukan K2, puncak tertinggi kedua sesudah Everest. Namun, karena rekan satu timnya mengalami HAPE (High Altitude Pumonary Edema), membanjirnya cairan dan darah di paru-paru karena tekanan udara serta tipisnya atmosfer di ketinggian, akhirnya ia merelakan impiannya yang hanya tinggal berjarak 600 m.


Dalam perjalanan turun menuju Askole, Greg terpisah dari rombongannya dan pemandunya, sehingga ia mengambil sisi yang salah. Ia berjalan seminggu tanpa cukup makanan, karena sebagian besar dibawa oleh pemandunya. Ia kelelahan, tertatih-tatih, akhirnya tiba di satu daerah yang tidak dikenalnya.


Korphe, dengan nurmadhar (kepala desa) Haji Ali, yang merawatnya penuh perhatian juga penduduk desa ini yang memperlakukannya dengan istimewa. Ketika kondisinya sudah semakin membaik, ia berjalan2 keliling desa itu dan melihat bahwa anak-anak disitu sekolah di dataran datar perbukitan, tanpa dinding dan atap, dalam udara yang dingin, namun penuh semangat mengerjakan tugas.




‘Aku akan membangun sebuah sekolah untuk desa ini. Aku berjanji.’




Sekembalinya ke Amerika, Greg menabung untuk proyek impiannya ini. Dilayangkannya surat2 ke ratusan alamat yang tidak mendapat sambutan sama sekali. Sampai akhirnya Dr. Jean Hoerni, mantan penjelajah Karakoram juga menemukannya dari sebuah newsletter, dan memberikan sumbangan sebesar 12000 dolar.


Greg membeli semua bahan bangunan di Skardu, dan sempat bersitegang dengan pemuka setampat yang ngin menguasai bahan bangunannya. Ketika akhirnya ia bisa mencapai Korphe lagi, masalah lain menghadangnya. Perlu jembatan untuk membawa bahan bangunan tersebut ke Korphe. Ia kembali lagi ke Amerika untuk mencari dana untuk jembatan yang lagi-lagi didapatnya dari Dr Jean Hoerni, yang akhirnya selesai akhir Agustus 1995.




Dalam perjalanannya kembali ke Korphe, Greg yang sudah menikah dengan Tara Bishop, wanita yang dikenalnya dalam acara amal oleh Hoerni, ia mendapatkan pelajaran dari Haji Ali,


Kali pertama kau minum teh bersama seorang Balti, kau masih orang asing, Kedua kalinya kau minum teh, kau adalah orang yang dihormati. Kali ketiga kau berbagi semangkuk teh, kau sudah menjadi keluarga, dan untuk keluarga kami, kami bersedia untuk melakukan apa saja, bahkan untuk mati sekalipun.”




Haji Ali buta huruf, ia tidak bisa membaca. Ia hanya bisa memandangi indahnya Al Qur’an yang dimilikinya.” Aku tak bisa membaca apapun. Inilah kesedihan terbesar dalam hidupku. Aku akan melakukkan apa saja agar anak-anak di desaku tak perlu mengalami kesedihan yang sama. Akan kubayar berapa pun supaya mereka bisa mendapatkan pendidikan yang menjadi hak mereka.”(hal 285).




Sayangnya, Jean Hoerni menderita sakit parah ketika sekolah itu selesai. Namun di hari kematiannya ia mewariskan satu juta dolar untuk Center Asia Institute (CAI) untuk membangun sekolah2 lain di pedalaman Pakistan.


Perjalanan Greg keliling Pakistan untuk membangun sekolah2 seperti di Hushe, Khaplu, Khane, dan daerah lainnya, bukannya tanpa masalah. Beberapa kali ia diancam oleh fatwa yang melarang dirinya karena mencurigai dirinya akan menyebarkan agama Kristen di wilayah mayoritas muslim yang taat tersebut. Namun dengan ketulusan hatinya dan dukungan penduduk, dan fakta bahwa pemerintah tidak pernah menyentuh pendidikan di daerah tersebut, akhirnya Greg berhasil menyelesaikan proyek-proyeknya.


Bahkan ia sempat diculik ketika berada di wilayah Wazir, daerah selatan Afganistan, karena dikira mata-mata.


Pada masa serangan Taliban terhadap Pakistan, Greg mendirikan pemukiman baru untuk kaum pengungsi, dan tetap mengusahakan sekolah di daerah tersebut.




Setiap ia kembali ke Amerika, Greg selalu melakukan presentasi di banyak tempat, guna mendapatkan dana untuk CAI. Kadang-kadang presentasinya dihadiri puluhan orang, namun pernah sangat kosong sekali.


Pada saat tragedi 11 September, Greg sedang berada di Pakistan dan baru saja ditunjukkan sekolah madrasah Wahabbi, yang mana memasukkan militer dalam kurikulumnya. Pasca tragedi itu, banyak orang Amerika yang diharuskan pulang ke negaranya, namun Greg tidak pulang, dan pada saat peresmian sekolah Kuardu mendapatkan pelajaran,


“Aku meminta Amerika agar menatap jauh ke dalam hati kami,” Syed Abbas melanjutkan, suaranya bergetar karena emosi,”dan melihat bahwa sebagian besar dari kami bukanlah teroris, hanya orang baik dan sederhana. Negara kita dihantam kemiskinan karena kita tak terdidik dengan baik. Akan tetapi hari ini, satu lagi pelita pengetahuan telah dinyalakan. Dengan nama Allah Yang Maha Kuasa, semoga cahaya ini menerangi jalan kita untuk keluar dari kegelapan yang selama ini mengurung kita.”(hal 481).




Dalam pidatonya di Capitol Hill, Greg menyatakan,” Saya melakukan apa yang telah saya lakukan ini untuk memerangi teror, saya melakukan ini karena saya sayang dan peduli pada anak-anak. Memerangi teror barangkali ada di nomor tujuh atau delapan dari daftar prioritas saya. Tetapi dengan bekerja di sana, saya telah mempelajari beberapa hal. Saya belajar bahwa terorisme tidak terjadi lantaran segelintir orang di suatu tempat seperti Pakistan dan Afganistan tahu memutuskan untuk membenci kita. Hal itu terjadi karena anak-anak tak ditawari masa depan yang cukup baik agar mereka memiliki alasan untuk memilih hidup daripada mati.” (hal 546).




Amerika seharusnya memiliki lebih banyak sosok seperti ini sehingga kekayaannya bisa dibagikan melalui pendidikan, bukannya mempersenjatai diri dengan peralatan militer yang serba canggih, namun tidak memahami sisi kemanusiaan di daerah yang didaratinya. Greg Mortenson adalah pahlawan kemanusiaan dekade ini.





View all my reviews.

Jumat, 06 Februari 2009

Paris Pandora

Paris Pandora Paris Pandora by Fira Basuki


My review


rating: 4 of 5 stars
Saya suka karya2 Fira Basuki. Akhir2 ini novelnya membawa genre yang tidak mainstream.

Setiap novelnya selalu menyajikan sesuatu yang baru.

Rojak, menceritakan tentang kawin campur, Alamak dengan tata bahasa dan cara penulisan yang berima.

Astral Astria, bernuansa mistis tetapi ini sebenarnya menerangkan tentang kebudayaan kepercayaan kejawen jawa.



Paris Pandora, juga bernuansa mistis dan kepercayaan, tapi mungkin ini adalah sesuatu yang mulai hilang dari novel2 sekarang ini.

Sementara penulis2 wanita lainnya menuju budaya plural dan modern, Fira berhasil menjelaskan tentang seorang wanita yang sudah mendunia, namun tetap rural, berusaha untuk tahu akar budayanya sesungguhnya. eksplorasinya tentang budaya ini yang membuat novel ini menjadi kuat.



Novel ini bukan tentang wanita di jantung ibukota yang tinggal di apartemen, sibuk dengan pekerjaan, dan bergulat menemukan cinta, seperti layaknya chiklit2 lain indonesia.

Tapi tentang wanita menemukan jati diri, untuk merunduk seperti padi yang mencari akarnya, dan Astria mencari cintanya.



Astria yang melalui perjalanan roh dalam Astral Astria, sekarang bertemu dengan makhluk2 seperti Naga dan Gargoyle, masih dapat membaca kematian orang, dalam pencariannya terhadap jiwa kekasihnya yang hilang dan harta karun yang ditinggalkan oleh leluhurnya Ratu Sima.

Perjalanan ke Paris, Bali, Dieng.



Tidak banyak generasi sekarang yang berusaha ingin tahu budaya di mana darah mereka berasal, lainnya hanya berusaha tampak modern, global, trendy. Dimana kekuatan budaya dikalahkan oleh sains, engineering, agama, psikologi, dll. Fira melalui Astria tidak seperti itu.



Dengan cara penceritaan yang ringan, Fira menjelaskan tradisi2 di Kawasan Dieng, lagu, lelakon yang harus dijalani, maksud dari tradisi di atas.

Sebagian orang2 sekarang menganggap itu menjurus ke syirik, padahal budaya beda dengan agama. Hanya dengan iman yang kuat terhadap agama yang kita peluk dapat memilah-milah mana yang kita ikuti, atau hanya kita ketahui saja tentang lelakon budaya ini.



Fira hanya ingin kita tidak lupa pada budaya lokal kita, disamping kita berpedoman pada agama dan berpandangan modern.


View all my reviews.