ulasan. resensi. kesan.

ulasan. resensi. kesan. ini bukuku, apa bukumu?

Sabtu, 29 Desember 2012

Pulang

PulangPulang by Leila S. Chudori
My rating: 5 of 5 stars

Setiap aku melakukan perjalanan, orang yang baru kukenal selalu bertanya, “Mbak, aslinya mana?”. Lalu aku cuma jawab simpel, “Jawa, Mas.” Kupikir cukup sampai di situ, namun orang itu akan lanjut bertanya,”Jawanya mana?”. Lalu aku bingung mau pilih yang mana, jawaban variatif pun kulontarkan, tergantung yang nanya dan lokasi bertanyanya sih. Kalau berada di daerah timur, aku akan menjawab, dari Jakarta tempat kerjaku, atau dari Bandung rumah orangtuaku sekarang atau Depok tempat tinggalku atau Cirebon kota kelahiranku. Itu Jawa bukan? Iya dong, kan berada di Pulau Jawa. Sementara kalau mengenalku lebih jauh pasti akan tahu bahwa ada beberapa kota lain yang pernah aku tinggali, tempat aku pernah merasa pulang.

Kemudian ditanya lagi,”Jadi pulangnya ke mana nih, mbak?” Jawabannya tentu bervariasi tergantung tujuanku saat itu. Pulang sebenar-benarnya memang ketika kita berada di rumah, tempat tidur sehari-hari. Namun aneh rasanya karena ketika hampir tidur di rumah aku selalu merasa ingin berada di tempat lain, di tempat-tempat impianku. Pernah aku berkata, aku ingin berada di suatu tempat begitu lama sehingga aku merindukan pulang. Ya, di antara perjalananku saat ini, aku belum pernah merindukan pulang. Kadang aku rindu Bintang, namun ketika ia bertualang bersamaku, maka tak ada lagi yang membuatku ingin pulang. Aneh? Ya, karena terlalu seringnya aku tidak berada dekat dengan orang-orang terdekatku, teknologi yang membuat bisa berkomunikasi kapan saja, jadi rasa kangen itu hampir tidak ada. Dan juga karena aku selalu bisa diterima di rumahku yang mana saja, sehingga biasa-biasa saja. Pulang, ya, pulang. Beraktivitas sejenak di rumah, kemudian pergi lagi. Bisa dihitung berapa hari dalam setahun aku berada di rumah yang kutinggali selama sehari penuh.

Tidak demikian dengan Dimas Suryo, yang tidak sengaja berada di pengasingan dan tidak bisa pulang ke rumahnya di Indonesia. Kehidupan sebagai seorang eksil politik di negeri orang, tujuan dari pelarian-pelariannya di luar negeri, bukan karena keinginannya untuk bertualang, namun nasiblah yang mendamparkan hidupnya di Perancis, direndahkan oleh rezim kekuasaan yang menganggap dirinya adalah salah satu dari bahaya laten yang pernah menghantui Indonesia. Pemerintah yang ketakutan akan kembalinya salah satu musuh politik berusaha menghalangi kembalinya tokoh-tokoh yang dianggap bisa menghidupkan kembali faham yang dilarang di Indonesia itu.

Kehidupan Dimas Suryo ini mengundang haru. Kerinduannya pada Indonesia, pada ibu dan adiknya yang dilabeli E.T (eks Tapol) di KTP-nya , lewat surat-surat yang diterimanya, deritanya di negeri orang, hasrat untuk bertahan hidup dengan terus memasak masakan Indonesia, bahkan bersama teman-temannya membangun restoran Indonesia. Kerinduan yang dipendamnya dalam bentuk dua stoples kunyit dan cengkeh sebagai pengobat laranya akan keinginannya untuk pulang.

Di beberapa bagian aku menangis haru membacanya. Sungguh ini cerita yang tak pernah aku dengar selama masa sekolahku. Bagian Indonesia yang terkubur yang ditutupi seolah itu borok negeri. Luka yang tak pernah diobati. Betapa sulitnya menjadi terpinggirkan. Kecintaan pada negeri namun tak pernah diakui. Sementara yang ditebarkan hanyalah bibit-bibit kebencian pada mereka. Orang Indonesia di Paris tak mau sama sekali menengok mereka, hanya mencemooh belaka.

Kerinduan Dimas Suryo, dan teman sepelariannya Nugroho dan Risjaf sedikit terobati ketika mereka tahu bahwa Lintang, anak Dimas harus mengambil data studinya di Indonesia tahun 1998, tepat ketika pecah revolusi baru lagi di Indonesia meruntuhkan orde baru, yang sudah menyiksa mereka selama bertahun-tahun, dengan tidak menghilangkan kewarganegaraan mereka, dan menghilangkan kesempatan mereka untuk pulang berkumpul dengan keluarganya. Lintang yang menjadi saksi runtuhnya rezim yang mencengkeram nama keluarganya itu mendapati betapa mirisnya menjadi dirinya sendiri, juga ayahnya yang tak puya tempat pulang.

Bacaan hebat sebagai penutup akhir tahun. Membacanya seperti membuka sejarah bangsa, memperlihatkan sisi lain yang selama ini ditutupi oleh kurikulum sejarah. Suatu kebenaran yang tidak bisa dibungkus rapat lagi. Dan membuatku menghargai sebuah PULANG.


View all my reviews

Minum Teh bersama Kartini

Minum Teh bersama KartiniMinum Teh bersama Kartini by Suryatini N. Ganie
My rating: 2 of 5 stars

Apa asyiknya ikut goodreads? Untuk aku, jawaban spesialnya adalah : dari goodreads aku punya banyak teman yang bisa kutemui apabila sedang berada di kota-kota lain di Indonesia. Hihi, lucu ya? Sementara orang-orang dapat teman dari forum2 traveling, aku malah dari sebuah klub buku.

Tapi memang senang sekali sih, kalau ketemu teman-teman sehobi, ngobrol tentang buku, hunting di palasari bandung, books semarang, sampai shopping jogja, sembari jalan-jalan dan diskusi soal sejarah kota (dan pasti!) makanan khas. Ketemu sesama penggila buku di berbagai kota itu mengasyikkan, dan dengan adanya internet, kalau ketemu sudah seperti sudah ngobrol berbulan-bulan.. ;)

Nah, mau tahu aku dapat buku ini di mana? Di Bali! Tepatnya di rumah Mia Queen yang sedang disatroni olehku dan Ndari. Ceritanya aku baru sampai Bali sendiri setelah keliling Jawa Timur dengan teman goodreads Jogja dan Bandung (nah, kan! teman jalan juga dapat dari goodreads!). Sesudah sepagian keliling2 dengan seorang teman kuliahku, karena sorenya ia ada acara keluarga, maka aku kontak Mia Queen dan Ndari buat ketemuan.. Asyik kaann..

Sesudah cerita2 tentang segala macam gosip perbukuan, meluncurlah kita ke rumah Mia, yang ternyataaa.. sedang bagi2 bukunya.... hebohlah aku dan Ndari membongkar2 buku yang dikeluarkan dari koleksi Mia. Setelah dapat dua buku lama Ayu Utami, buku bergambar termos ini menarik perhatianku. Kumpulan cerpen selalu bisa menjadi bacaan alternatif di kala mumet.

Seperti banyak komen-komen yang lain, cerpen-cerpen di sini membuatku mempertanyakan kebetulan. It doesn't matter with the book, tapi persahabatan yang menyertai ketemunya buku ini terasa lebih menyenangkan.

Thanks Ndari buat jalan-jalannya keliling Denpasar, thanks Mia buat bukunya.

:)

View all my reviews

Unpopular!

Unpopular!Unpopular! by Niken Anggrek
My rating: 3 of 5 stars

Pernah SMA? Pernah kan? Kecuali yang mengalami masa sekolahnya namanya SMU, masa SMA memang nggak ada duanya. Kata kepala sekolahku dulu sewaktu upacara pembukaan Penataran P4, masa SMA adalah masa paling indah, hanya dialami di SMA, bukan di STM atau SMEA atau SMKK (ada yang masih ingat singkatannya sebelum melebur jadi SMK? :D)

Woah, Penataran P4? Pasti anak SMA sekarang nggak mengalaminya, hanya MOS berkuncir pelangi yang dikenal. Penataran P4 itu untuk mendalami nilai-nilai luhur butir-butir Pancasila yang ada 36 butir itu.. (dengar-dengar, sekarang sudah 45 ya?) Penataran ini ajang yang bagus untuk berkenalan dengan siswa lain di SMA, yang ternyata, hanya berlangsung seminggu, kemudian kelasnya dipisah lagi.

Salah satu butir di P4 sila ke 5 butir 12 kalau nggak salah : Tidak bergaya hidup mewah. Nah, berhubung si Arum, tokoh di unpopular ini nggak belajar P4, cuma MOS doang, jadi pikiran dia penuh dengan mimpi2 tentang gadget keren yang dimiliki teman-temannya, dibandingkan dengan ponsel bergame snake lungsuran dari mamanya. Namanya juga anak remaja, pastilah standar hidupnya mengikuti apa yang ada terkeren di majalah saat itu.

Seperti aku dulu, yang merasa asyik kalau pake baju Osella atau H & R (ya ampun, ini pembongkaran umur), melakukan dosa terbesar yaitu pernah ngefans sama Atalarik (dijewer!), make Docmart biar kelihatan keren (dengan pita kuning yg ngelewer itu), dan bermimpi bisa masuk finalis Gadis Sampul (haiaaahh, belajar sonoo!!)

Dari dulu sampai sekarang, selalu ada geng keren di kelas ya, makanya temannya si Arum ini juga ada yang masuk geng keren dengan fashionistnya, namun diperlihatkan mereka lebih suka gosip artis daripada berita terkini. Kalau dipikir-pikir, dulu aku mirip Arum juga ya. Biasa banget gitu. Rambut ikal gak jelas, potongan bob sampai lulus, kulit muka berminyak (syukurlah gak pernah jerawatan), tinggi biasa-biasa aja, sekolah naik angkot atau sepeda, dan punya orangtua yang agak pelit soal gaul yee..

Bedanya sih aku berkacamata (tambah biasa lagi kan), suka main basket atau sepedaan sampai hitam, dan rajin belajar (nggak ding, ini juga biasa2 aja, buktinya kelas 3 pernah rangking 34.. - prestasi rangking terburuk sepanjang sekolah SD-SMA). Geli membaca pikiran-pikiran Arum, ya, ampuun aku gitu banget ya dulu.. untung sekarang udah sadar walau pun masih ada yang menuduh sok eksis (eh, sumpe lo? ge-er banget sih :)))

Tepatnya sih, memang mengalami apa yang dilewati Arum juga, bahwa hidup itu nggak sekadar kelihatan keren, tapi ada banyak hal yang bisa dilalui sebagai remaja, masa transisi untuk menemukan arah tujuan kita, saat yang tepat untuk menentukan passion kita. Ha, semoga saja passion itu tepat. Untuk memilih jurusan di UMPTN... ;)


View all my reviews

Tintin: The Complete Companion

Tintin: The Complete CompanionTintin: The Complete Companion by Michael Farr
My rating: 5 of 5 stars



View all my reviews

Lebah Cerdas On The Road: Cerita Hati Pengguna Kereta Api

Lebah Cerdas On The Road: Cerita Hati Pengguna Kereta ApiLebah Cerdas On The Road: Cerita Hati Pengguna Kereta Api by Baban Sarbana
My rating: 3 of 5 stars

buku ini lucu, aku menemukan buku ini di salah satu ruang obral Indonesia Book Fair 2012. dan nyeselnya karena cuma beli 1, padahal harusnya beli 2 atau 3 buat diberikan pada teman2 yang juga penggemar kereta, misalnya saja Ria Aprilia :D

cerita tentang suka duka pengguna KRL ekonomi dari Bogor ke Depok dengan segala romantika haru dan miris, ringan buat bacaan di kereta, bahkan aku memulainya di KRL pulang dari IBF dan menamatkannya di KRL perjalanan ke kantor pagi ini. cepat kan?

judul-judul tulisan seperti "diam itu emas, bergerak (mungkin) berlian", untuk menceritakan pergeseran di kereta menjelang turun dari KRL, atau "casing itu apa adanya, sinyal itu karunia Allah", tentang ketulusan memberikan tempat duduk.

ada satu yang mengganggu, yaitu penulisan stasiun Pondok China, yang seharusnya ditulis Pondok Cina. penggambaran suasana stasiun bogor sudah jelas banget, tapi mungkin itu karena aku yang sudah tahu bagaimana suasana (dan copetnya), sedangkan bagi yang belum pernah ke sana, mungkin agak blur gambarannya.

dari penggambaran kesebelasan copet dan berbagai cerita copet dan orang kecopetan, agak ketahuan bahwa di stasiun depok itu ternyata banyak copetnya.. *dekap tas erat2* tapi aneh juga ya, kenapa si penulis suka menaruh ponselnya di depan tas, bukannya di dalam tas?

jadi pengen membukukan tulisan2ku tentang KRL juga, tapi dari target 25 sampai akhir tahun, cuma 5 yang baru dituliskan, hehe :p
ah, transportasi Indonesia...

View all my reviews

The Painted Veil

The Painted VeilThe Painted Veil by W. Somerset Maugham
My rating: 4 of 5 stars

an awesome drama story about forgiven yourself. the character isn't a hero, she betrayal her husband and commited suicide bu follow him to disease area.

i don't like kitty fane but not punish her as a cheerful grown-up girl, who married only for her pride. her mother must be excess her so much that she had this bad flirting attitude.

this is about transformation of a young girl to a woman. someone who should hit a lot and learn a lot to get up again. she could be a kind of bitch, but she learn to survive to save herself.

View all my reviews

"Aku Kesepian, Sayang." "Datanglah, Menjelang Kematian."

"Aku Kesepian, Sayang." "Datanglah, Menjelang Kematian." by Seno Gumira Ajidarma
My rating: 3 of 5 stars



View all my reviews

Water for Elephants: Air untuk Gajah

Water for Elephants: Air untuk GajahWater for Elephants: Air untuk Gajah by Sara Gruen
My rating: 4 of 5 stars



View all my reviews

Danny Si Juara Dunia (Danny the Champion of the World)

Danny Si Juara Dunia (Danny the Champion of the World)Danny Si Juara Dunia by Roald Dahl
My rating: 3 of 5 stars



View all my reviews

Arsitektur Yang Lain: Sebuah Kritik Arsitektur

Arsitektur Yang Lain: Sebuah Kritik ArsitekturArsitektur Yang Lain: Sebuah Kritik Arsitektur by Avianti Armand
My rating: 5 of 5 stars

Arsitektur itu bicara ruang, bukan sekadar bangunan. Ruang yang berfungsi sebagai tempat berkegiatan manusia dan ruang yang (sayangnya) hanya untuk dipamerkan. Pertama ia menyinggung soal rumah, yang tak lagi sebagai ruang bertinggal, namun hanya sebagai tempat singgah di malam hari. Membuatku bertanya-tanya, jadi mana yang bisa kita sebut sebagai tempat bertinggal itu apabila lebih dari 50% hari dihabiskan untuk tidak berada di situ? Penduduk manakah aku bila 15 jam hidupku berada di Jakarta, dan sisanya berada di Depok, itu pun dalam keadaan tidak sadar alias tidur. Tidak ada kontribusi apa pun untuk ruang bertinggalku selain sebagai tempat domisili belaka sebagai syarat administratif seorang warga negara. Mungkin pada akhirnya yang kita tempati adalah ruang waktu, dan alamat pasti di mana kita adalah alamat e-mail.

Arsitektur bercerita tentang ruang-ruang pribadi, cerita tentang dapur, di mana ia mendapat klien seseorang yang ingin membuat dapur yang lega mewah dan nyaman, sementara si empunya tidak suka memasak. Sungguh kontradiktif, dan jamak terjadi di kalangan orang-orang berpunya di jaman sekarang ini. Ingin ruang fitness tak pernah berolah raga. Ingin kolam renang namun tak juga dicemplungi. Semua hanya demi hasrat berpamer belaka demi gengsi.

Kumpulan tulisan ini sangat menarik untuk direnungi sebagai eksplorasi ruang arsitektur. Dari proses berpikir sampai penganalisaan suatu karya. Arsitektur itu hidup sebagai penanda masa di mana manusia pernah berkarya.

View all my reviews