ulasan. resensi. kesan.

ulasan. resensi. kesan. ini bukuku, apa bukumu?

Minggu, 09 Maret 2014

Fight Club

Fight ClubFight Club by Chuck Palahniuk

My rating: 4 of 5 stars


aku nggak tahu kenapa membutuhkan lebih dari 6 bulan untuk menamatkan buku ini. serius, kupikir ketika itu aku memulainya dengan pikiran yang waras dan dunia yang sukacita. tak berhasil menyatukan moodku dengan buku ini.

dan ketika kamu merasa kalah, dan butuh teman, dan ingin menghancurkan apa saja yang ada di dekatmu. yah, itu yang dirasakan Joe, ketika semua miliknya hilang dalam sekejab dan ia memulai kehidupannya yang baru.

setiap orang berhak marah, mencaci, membanting dan memukul apa saja. namun selalu ada batasan-batasan di dalam jaringan manusia. norma boleh dan tidak boleh, batas gila maupun wajar yang bisa diterima, batasan yang diciptakan manusia. ketakutan-ketakutan yang dibatasi oleh pikiran-pikiran sendiri. berusaha melompat untuk tidak mengenali semuanya.

aku belajar untuk berhenti marah, berhenti menyalahkan keadaan. mencoba mencari sesuatu yang memang diriku, atau seseorang yang membuatku jatuh cinta lagi.

kadang entah siapa yang ada di dalam diri, si penceria, si semangat, si motivator, atau si pencemburu, si cengeng, si menyerah pada kondisi yang ia tidak bisa dapatkan. atau bukan siapa-siapa, yang menerima kenyataan yang sudah jujur, dan berharap keadaan sebaliknya. berharap suatu saat jawaban itu akan berubah.

dan kadang pengen bilang ke seseorang yang selalu mencelamu, "eh, kamu tuh biasa aja. nggak usah sombong. cih!"



View all my reviews

Sarongge

SaronggeSarongge by Tosca Santoso

My rating: 5 of 5 stars


Satu setengah tahun yang lalu, aku melihat buku ini di lantai basemen Blok M Square. Pertama melihat aku langsung tertarik, berjudul Sarongge, karya Tosca Santoso, dengan sampul sebuah pohon besar yang rindang, dengan pengantar Ayu Utami. Saat itu aku tidak menanyakan harganya, karena takut mahal dan belum tahu harga aslinya. Dan lagi, jumlah buku yang belum kubaca di rumah juga menumpuk banyak, sehingga aku tidak berniat menambah timbunanku itu.

Beberapa bulan kemudian, tiba-tiba aku ingat lagi dengan buku itu, ketika daerah Sarongge mulai diperbincangkan di twitter. Baru aku tahu, bahwa Sarongge itu nama daerah di kawasan Puncak, di mana di sana ada program adopsi pohon dari Green Radio. Aku mulai mencari lewat toko buku online yang ternyata sudah tidak ada stok dan akhirnya menanyakan ke penulisnya langsung @toscasantoso via twitter. Ternyata di toko-toko buku di Jakarta sudah tidak ada, dan masa iya aku keliling seluruh toko buku? Jakarta itu kan propinsi, sehingga agak sulit dicapai ujung satu dengan satunya lagi. Bisa berhari-hari kalau keliling.

Untunglah, dengan pertemananku dengan pencinta-pencinta buku, ada yang memberi tahu kalau buku ini masih ada di Toga Mas Semarang. Aku langsung menitip pada rekan BBI Tezar dibelikan dan kubilang nanti kuambil kalau aku ke Semarang. Tetapi buku dikirimkan lewat seorang teman pada bulan September 2013, ke Jakarta, dan belum ketemu juga denganku sampai aku ke Semarang di Oktober 2013 (Kubilang juga apa, Jakarta itu propinsi, bikin janji temu aja susah!). Akhirnya buku itu sampai di tanganku pada bulan Desember 2013, bersama dengan Tezar ke Jakarta, dan bertemu juga dengan Essy yang dititipi bukunya. Oh iya, pada bulan Nopember ketika aku berjalan-jalan ke Toga Mas Depok, aku menemukan 2-3 eksemplar juga buku Sarongge ini. (laahh, tahu ada di sini ngapain nitip?)

[caption id="attachment_2119" align="aligncenter" width="500"]
sarongge (sumber : toscasantoso.tumblr.com)
sarongge
(sumber : toscasantoso.tumblr.com)[/caption]

Ekspektasiku tidak salah. Aku terharu membaca bab-bab awal buku ini. Bercerita tentang kawasan petani di Sarongge yang terdesak oleh hutan Perhutani yang mengakibatkan mereka tidak bisa berladang lagi. Berebut cahaya matahari antara pepohonan hijau dengan sayuran yang ditanam petani. Disalahkan atas berpindah-pindahnya lahan berladang. Dan petani yang terdesak oleh pemodal besar yang menguasai pertanian komoditas tertentu yang sedang 'in' sehingga berebut pasokan air dari sumber bersama. Dan mereka selalu kalah karena kurangnya pengetahuan sehingga sering dikelabui oleh pasal-pasal buatan penguasa.

Meskipun mengambil bentuk novel, tapi buku ini menjejali kita tentang pengetahuan tentang tanaman-tanaman tropis, kehidupan petani Indonesia yang terkena dampak besar oleh salah guna olah lahan oleh pemerintah, dari sisi pengetahuan Husin, seorang Sarjana Pertanian yang mengabdikan harinya untuk membantu masyarakat desa Sarongge memaksimalkan daerahnya di bidang pertanian. Juga dari sisi Karen, pejuang lingkungan yang mempertahankan hak tanah ulayat yang semena-mena diaku menjadi tanah pemerintah untuk ‘dijual’ kepada perusahaan pemegang HPH atau pemilik izin tambang.

Mengikuti perjalanan Husin, seperti berada di sampingnya saat ia menjelaskan tanaman ki hujan, cecenet, rasamala, saat langkahnya satu per satu mendaki Gunung Gede menyusuri jalur ritual penduduk menuju makam Eyang Suryakencana, sedih melihat gambaran edelweiss yang lama kelamaan berkurang karena ratusan pendaki menghancurkan proses hidupnya. Menghidupkan pertanian organik dengan bahan alam untuk pupuk dan pembasmi hamanya. Memaksimalkan potensi-potensi hutan untuk dinikmati bersama oleh warga di kaki gunungnya. Menikmati alam dengan sederhana.

Tiap kali di bawah tenda seperti ini, saya merasa alangkah sedikitnya sebetulnya ruang yang dibutuhkan manusia.
[h.83]


Bersama Karen yang menyerang pengusaha hutan di Riau yang ingin mengubah hutan gambut menjadi kelapa sawit, dan bertahan dari pengusaha tambang di Sumba, hingga pengejarannya di Papua, membuat gemas. Kenapa orang demikian serakah ingin memperkaya dengan menggali terus menerus dari bumi yang subur ini, yang sudah memberikan secukupnya untuk masyarakat yang ada di sekitarnya dan merawatnya kembali, kemudian jatuh ke tangan orang-orang yang mengaku pintar, namun hanya bisa mengeksploitasi, meraup sebesar-besarnya, tanpa berpikir untuk mengembalikan kondisi itu sehingga bisa bermanfaat untuk sekitarnya? Masyarakat sekitar menjadi miskin, kehilangan tempat mencari bahan makanannya karena sudah berubah menjadi tambang, dan memaksakan penggantinya sesuai caranya seolah-olah itu adalah yang benar untuk penduduk setempat.

Di Papua, ratusan pohon sagu ditebang untuk diubah menjadi kebun kelapa sawit, sementara penduduk yang terbiasa makan sagu diminta mengganti makan beras, yang juga harus diimpor dari luar Papua. Jangan tanya tentang perusahaan tambang tembaga yang menemukan emas ketika mereka mendapat hak untuk 'merusak' gunung suci yang berada dalam wilayah ulayat suku Amungme. Gunung tembaga ini adalah duku-duku sebutan untuk gunung suci yang dianggap sebagai tempat kembalinya arwah setelah mati. Ketika gunung sudah hilang ditambang, ke mana arwah mereka pergi? Kepercayaan ini diingkari begitu saja. Diabaikan.

Misalnya tambang tembaga itu ditemukan di bawah Tembok Ratapan Yerusalem, apakah orang Yahudi akan membiarkan tempat suci mereka digusur buldoser penambang? Kalau tanah Emas ada di bawah Ka'bah di Mekah, apa ada yang berani menambang di sana? Atau kalau sumber uranium ada di bawah bait Allah di Yerusalem, siapa yang akan membongkar tempat suci itu tanpa membangkitkan perlawanan orang Kristen? Agama-agama besar punya pembelanya sendiri. Sedangkan kepercayaan Amungme akan lenyap, bersama gunung mereka yang setiap hari dikeruk buldoser.
(h.300)


Aku seperti mencintai negeri ini sekaligus membenci pengelolanya. “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” itu tak lebih dari jargon yang ditanamkan semasa sekolah. TANPA adanya penanaman mental yang cukup bahwa kita HARUS menjaga negeri ini, maka negeri ini akan jatuh pada mental serakah seperti masa penjajah yang dijilat oleh kerajaan yang mau daerahnya aman. Seharusnya tidak begitu. Seharusnya dengan berbagai macam disiplin ilmu yang membuat jumlah intelektual muda meningkat negeri ini dan sadar tingkat kritisnya negeri ini. Seharusnya pengusaha-pengusaha ini sudah waktunya berpindah generasi yang lebih melek lingkungan. Seharusnya belajar dengan musnahnya budaya, pemukiman, akan mengakibatkan berkurangnya kekayaan negeri ini, yang tidak sekadar dijadikan tontonan, tapi membiarkan hidup dengan kebiasaan-kebiasaan budayanya. Berpikir global tidak melupakan yang lokal.

Biarkan zamrud itu berkilau lagi...


Inilah saat kita
menjemput embun dan matahari
Tanpa kata. Tanpa peta
Tak perlu janji hari nanti
[h.125]


minggu panas : 23.02.2014 : 17.02 : menanti hari bumi 22 april

[caption id="attachment_2120" align="aligncenter" width="500"]
program adopsi pohon (sumber : toscasantoso.tumblr.com)
program adopsi pohon
(sumber : toscasantoso.tumblr.com)[/caption]

View all my reviews



The Casual Vacancy - Perebutan Kursi Kosong

The Casual Vacancy - Perebutan Kursi KosongThe Casual Vacancy - Perebutan Kursi Kosong by J.K. Rowling

My rating: 4 of 5 stars


my favorite is Kay!



View all my reviews

Fira dan Hafez

Fira dan HafezFira dan Hafez by Fira Basuki

My rating: 4 of 5 stars


"Memiliki seharusnya mengajarkan kita tentang kehilangan dan kehilangan seharusnya mengajarkan kita tentang memiliki.”

Kata-kata itu update-an seorang teman-yang tidak terlalu akrab- di twitter tadi malam. Kedengerannya klise khas kata-kata motivator ya? Tapi buat siapa pun yang pernah memiliki kehilangan, pasti tahu rasanya seperti ini. Tidak seperti orang-orang yang hidupnya begitu normal, yang lempeng aja sok memberi nasihat.

Aku nggak bisa bohong, bahwa air mataku menggenang sambil membaca buku ini, membaca cerita sederhana yang dituturkan Fira tentang Hafez, suami keduanya yang meninggal sebelum umur 30 tahun mendadak karena aneurisma. Aku masih ingat dua tahun lalu, ketika aku membaca kabar kematian Hafez, dan kutuliskan status di google+ ku : "Bagaimana rasanya mencintai seperti itu?"

Cerita kehidupan singkat yang manis, masa-masa yang dilewati berdua, cara berkomunikasi, hal-hal sederhana yang dijalani, sekadar naik motor berdua yang lucu, Hafez, kamu pantas dicintai seperti itu. Bahwa seseorang yang kehilanganmu akan mengenangmu dengan cara yang indah.

Aku mengenal buku-buku Fira sejak masa awal umur 20-anku, dan entah kenapa merasa cocok. Buku-bukunya seperti menjadi teman, karena tidak disesaki dengan banyak petuah dan hidup itu seharusnya bagaimana, tetapi mengalir begitu saja, sesuatu sebab yang mungkin terjadi dan akibat dari hal-hal yang diungkapkan.

Fira menjelaskan bukan bagaimana perempuan menjadi tegar, tapi tentang kesakitan itu sendiri. Tentang hal-hal yang mesti ditanggungkan. Tentang jatuh cinta yang salah, tentang hati yang berbalik arah, tentang raga yang meninggalkan jiwa, tentang mabuk, ketidakbahagiaan, dan kegagalan dalam tangisan. Karena hal-hal itu ada, namun tidak pernah mampir di kehidupan orang normal, yang kehidupan cintanya semulus cerpen masa SMA. Dan ini yang banyak tidak dimengerti orang. Akibatnya orang sibuk men-judge, asik menasehati, tanpa tahu bagaimana rasanya kalah. Orang enak saja bilang, 'sudahlah' ketika sesak di dada ingin teriak, bukannya memberikan belanga untuk menangis.

Haters always everywhere. Ketika banyak orang mengatakan lebay, berlebihan, karena sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa soal kehilangan. Atau mereka terlalu sombong ketika berhasil mengatasinya.

Apakah saya berhenti menangis gara-gara sudah menulis ini? Tidak. Saya masih menangis setiap hari, bangun tidur, sebelum tidur, bahkan ketika saya berjalan sendirian di mal. Pasrah, ikhlas, bukan berarti saya tidak menangis. Ijinkan saya menangis. Bahkan setiap air adalah cerminan hati saya. Bukan karena sedih, tapi karena saya manusia dan saya mencintai Hafez. (h.110)

I feel you, mbak Fira. Ketika gamang dan rapuh memang seseorang rentan menangis. Aku pun masih seperti itu. Terkadang mentertawakan kehidupan, terkadang mengingat sambil menangis. Setelah tiga tahun yang lalu, terlalu banyak perubahan dalam diriku. Karena aku sadar yang berdiri adalah sesuatu yang rapuh, bisa hancur dalam sekali sentuh. Seperti tanah liat yang berdiri karena air, dan lebur ketika airnya menguap. Atau tanah yang berdiri tegak, namun hancur hanyut dibawa arus air..

Ketika Fira bercerita tentang Syaza Galang, anak dari pernikahan pertamanya, pastinya aku juga teringat Bintang. Gadis luar biasa sabar yang setiap hari menantiku pulang, yang seperti Syaza, aku juga tak tahu ketika ia tahu-tahu bisa naik sepeda roda duanya. Yang amat pandai dan tak lupa mengatakan I Love You sebelum tidur. Yang kukecup pipinya setiap pagi. Bintanglah guruku, tempat belajar sabar, yang membuatku lupa akan nada-nada tinggi, mencoba bagaimana memahami orang lain. Mungkin juga saking sabarnya kami sampai selalu 'ya, sudahlah' ketika ada yang jahat dan menyakiti. Bintang sering diganggu teman2nya di sekolah. Tapi ia tidak pernah membalas. Ia menjauhi dan main dengan teman2 yang baik dengannya. Ia sabar kalau meminta sesuatu dan kubilang tunda dulu. Yang jelas apa pun yang kujanjikan padanya akan kutepati. Yang tidak mampu kukatakan tidak. Karena demikianlah aku mengajarkan janji.

Hujan. Air mataku ditarik awan. Dilipatgandakan. Lalu dijatuhkan. Agar kau tahu sedih tak terperikan.
Mereka menyebut aku perempuan hujan. Karena aku perempuan.
Dan aku berteman hujan. Simpel, tapi kamu tak mengerti juga, kan?
Tangan aku kecil. Hati aku besar. Apalagi ruang memaafkan. Semua kutumpahkan. Pada hujan. (h.119)


Terima kasih kak Lisa Febrianti untuk pembicaraan kita dua tahun silam, yang mengajarkan bagaimana menghadapi kehilangan. Semoga kehidupanmu sekarang membahagiakan, dan bayi dalam kandunganmu kini lahir dengan selamat.

Terima kasih untuk seorang ibu dari dua anaknya yang sudah dewasa, yang memberikanku kesempatan berkata jujur tentang hidup, mengajari menghargai kesendirian, dan berpesan,”Nggak ada jodoh yang sempurna, mbak In.”

Seperti banyak orang yang tetap sayang Fira, semoga aku pun punya kesempatan yang sama.









View all my reviews

The Fault In Our Stars - Salahkan Bintang-Bintang

The Fault In Our Stars - Salahkan Bintang-BintangThe Fault In Our Stars - Salahkan Bintang-Bintang by John Green

My rating: 5 of 5 stars


I like this book. I do liiiikeeeee this book...

I like this book because this is not just about cancer between Hazel and Augustus, this also about love, pain, and trust.
Selama ini aku selalu berpikir persepsi. Sakit itu persepsi. Trauma itu persepsi. Tapi dengan kanker, hal-hal ini benar terjadi tanpa dipersepsikan. Sesuatu yang harus dihilangkan dengan pereda sakit. Sakit itu nyata, menggerogoti dari dalam seperti dan sewaktu-waktu meledak seperti granat.

Augustus Walters, the hot cute guy playing basketball menderita kanker yang mengharuskan sebelah kaiknya diamputasi, jatuh cinta pada Hazel Grace, penderita kanker paru di sebuah forum support group.
Sampai akhirnya mereka menjadi dekat, dan Augustus mengajak Hazel ke Belanda untuk menemui penulis favoritnya Peter Van Houten.

Di sana mereka sadar bahwa mereka jatuh cinta.

“I'm in love with you," he said quietly.

"Augustus," I said.

"I am," he said. He was staring at me, and I could see the corners of his eyes crinkling. "I'm in love with you, and I'm not in the business of denying myself the simple pleasure of saying true things. I'm in love with you, and I know that love is just a shout into the void, and that oblivion is inevitable, and that we're all doomed and that there will come a day when all our labor has been returned to dust, and I know the sun will swallow the only earth we'll ever have, and I am in love with you.”


Ketika jatuh cinta, keinginan terbesar adalah bersamanya, memandang matanya, melihat senyumnya, bercerita sehari-hari tentang hal-hal tak penting, tentang buku yang dibaca bersama, permainan bersama, dan impian-impian akan masa depan.....

Tapi ketika masa depan itu tidak ada, dan yang ingin dilakukan adalah menghargai setiap waktu bersama, ketika jarak tidak menjadi masalah, ketika takut bukan lagi ancaman, ketika kematian terasa dekat, ketika air mata sudah tak ada artinya... yang ada hanya cinta yang membangunkan setiap hari, waspada apa yang akan terjadi hari itu, di sisa waktu yang sempit..

There are days, many of them, when I resent the size of my unbounded set. I want more numbers than I’m likely to get, and God, I want more numbers for Augustus Waters than he got. But, Gus, my love, I cannot tell you how thankful I am for our little infinity. I wouldn’t trade it for the world. You gave me a forever within the numbered days, and I’m grateful.”

Dan sakit itu menjadi teman yang harus dijalani bersama dengan hidup. Dimaafkan sebagai kesalahan. Karena cinta dengan sakit bisa dijalani tanpa penyesalan...






View all my reviews

One Amazing Thing

One Amazing ThingOne Amazing Thing by Chitra Banerjee Divakaruni

My rating: 5 of 5 stars






View all my reviews

Seekor Anjing Mati di Bala Murghab

Seekor Anjing Mati di Bala MurghabSeekor Anjing Mati di Bala Murghab by Linda Christanty

My rating: 4 of 5 stars


ini buku terakhir yang aku baca di 2013. sebenarnya tidak diniatkan terakhir, namun ternyata sesudah membacanya di bulan nopember, aku tak sanggup membaca apa-pun lagi. kesibukan menyita waktuku.

buku ini bahkan sempat kubawa berkeliling gunung dan laut di awal nopember, dan kubawa pulang lagi dengan hanya menyelesaikan satu cerpennya. bukti bahwa perjalanan lebih membiusku daripada buku. mungkin bukan perjalanannya, tapi, ah. apa pun itu, sesuatu pengalih perhatian yang amat besar.

tapi usai mendengar debat linda usai penyelenggaraan acara salah satu event tahunan di dunia sastra, aku tergerak untuk meraihnya lagi. rasanya tak patut jika membuka dan tak menyelesaikannya.

dan pagi akhir november itu, sebelum kamu menjemputku di stasiun kotamu, buku ini selesai.





View all my reviews

Like the Flowing River

Like the Flowing RiverLike the Flowing River by Paulo Coelho

My rating: 3 of 5 stars


beli di KL. ditamatkan di kereta, lalu ditinggalkan di jogja.



View all my reviews