ulasan. resensi. kesan.

ulasan. resensi. kesan. ini bukuku, apa bukumu?

Selasa, 20 Maret 2012

Cerita Cinta Enrico

Cerita Cinta EnricoCerita Cinta Enrico by Ayu Utami
My rating: 4 of 5 stars

#2012-04

”Kami, para lelaki, sering melakukan sesuatu demi kegagahan. Tapi kaum perempuan berbuat demi kehidupan. Lelaki sering berbuat untuk egonya sendiri, sedang perempuan berbuat untuk orang lain.” (h.135)

Hai, Enrico, kamu tahu? Kisahmu ini sangat unik. Kamu beruntung sekali punya Ayu yang bisa menuliskan cerita hidupmu. Tidak semua orang beruntung bertemu Ayu dan dituliskan perjalanan hidupnya, lho.

Aku suka ibumu, perempuan kuat yang rela masuk hutan untuk mendampingi ayahmu. Perempuan bersepatu pantovel dengan betis mengkal, siap menanggung beban keluarga dan anak-anaknya. Membesarkan dirimu di tengah bayangan kehilangan kakakmu. Aku tahu, kehilangan terbesar bagi ibu adalah kehilangan anaknya. Saat itu seperti separuh jiwanya hilang. Saat yang ditimang-timang, dicinta, dirawat dengan perhatian yang lebih besar dari pada kepada kekasih. Lalu tiba-tiba hilang, kosong, tak tahu lagi bagaimana menyalurkan energinya. Jadi ketika si Khasiar sang Pengkhabar hadir untuk memberikan jalan pencerahan untuk bertemu kembali dengan kakakmu, ditempuhnya jalan itu.

Seperti juga Enrico yang katanya tidak ingat lagi kematian kakaknya. Kehilangan saudara kandung ketika kecil itu berat. Tiba-tiba belahan jiwa, teman ketika bangun dan sebelum tidur. Dulu aku juga menangisi adikku selama dua minggu, katanya. Dan seperti Enrico, menghilangkan kesedihan adalah dengan perlahan melupakan, mengalihkan pada hal-hal lain.

“Cuma yang sungguh setiakawan adalah dia yang berkorban untuk sesuatu yang tanpa harapan sekalipun!” (h.145)

Tadinya, aku merasa bahwa cerita ini sangat mirip dengan gaya bercerita Salman Rushdie di Midnight Children. Cerita tentang seorang anak dengan waktu kelahiran yang unik, dan kisah hidup yang dihubung-hubungkan dengan sejarah yang terjadi pada masa itu. Aku maklum. Ayu pernah membahas buku ini di Galeri Salihara tempat aku mendengarnya bercakap. Pasti ia suka sekali juga dengan buku ini. Namun, aku berontak dari pikiranku sendiri! Cerita, haruslah dinikmati sendiri, jangan dipikir dengan susah, dikira mirip ini mirip itu, yang membuat kita tidak bisa menikmati ceritanya. Kosongkan pikiran kalau perlu sebelum membaca! Karena yang membuat sebuah cerita itu bagus atau tidak adalah penceritaannya sendiri. Jangan asal membandingkan, karena siapa tahu pembandingnya tidak tepat. Nikmati saja. Baca. Karena Cerita Cinta Enrico ini begitu mengalir, mudah dipahami, seperti mendengar Ayu berkisah bercerita di depan panggung.

”Jika angin itu sedang menerpa lawan mainmu, biarkan dia di atas angin. Sama seperti dengan perempuan, kau harus tahu kapan kau di aatas dan kapan di bawah. Jangan kau paksa dia membuka kartunya. Tinggal pandai-pandai kau membaca angin itu. Aku tak pernah kalah telak, sebab aku tahu kapan berhenti.” (h.140)

Kehidupan masa muda sesudah masa kanak juga dilalui dengan keras. Perjalanan cintamu sendiri rupanya tidak mulus, ya. Tidak tahu, apakah kamu memanfaatkan perempuan untuk kesenanganmu, atau perempuan memanfaatkan untuk kesenangan mereka. Eh, apakah perempuan sama dengan cinta? Mungkin bagi sebagian laki-laki, tidak ya?

Tapi tidak disangkal, laki-laki memang butuh perempuan. Ketika tidak ada, terasa ada yang hilang. Mungkin ini akibat kehilangan tulang rusuk di masa penciptaan. Enrico, ternyata takut juga kamu ditinggal Ayu.

”Betapa menakutkan hidup jika kau tidur dengan mimpi buruk dan terjaga dalam kekosongan. Setiap kali kekosongan itu begitu mencekat, aku menginginkan hadirnya kekasih.” (h.168)


View all my reviews

Jia, Sebuah Kisah Dari Korea Utara

Jia, Sebuah Kisah Dari Korea UtaraJia, Sebuah Kisah Dari Korea Utara by Hyejin Kim
My rating: 4 of 5 stars

#2012-03
Ketika mendengar nama Korea, apa yang kau ingat? Apakah ponsel Samsung, tanaman Ginseng, olimpiade Seoul, atau melodrama mengharu biru dan grup penyanyi beranggotakan banyak orang?
Sadarkah bahwa semua itu hanya terjadi di Korea Selatan? Dan apa yang terjadi di Korea Utara jauh berbeda 180 derajat.

Tahun 80-an, di Korea Utara masih ada gulag, pembuangan tahanan politik, orang-orang yang tidak disukai oleh pemerintahan karena mengungkapkan pikirannya sendiri. Jia mengalami hal ini. Masa kecilnya dihabiskan di daerah pembuangan yang tandus, sampai ia berhasil dilarikan ke Pyongyang. Tahun 1997, ketika di Indonesia iklim politik mulai goyang, di Korea Utara masih saja ada penangkapan-penangkapan kepada warga yang membelot, yang dianggap kaum pembangkang. Silsilah orang diselidiki. Setiap orang bisa menjadi mata-mata atas yang orang lainnya.

Tahun itu, usia Jia 18 tahun, sama denganku di Indonesia. Di sini, aku bisa bersekolah sebagai langkah menuju cita-citaku, di Korea Utara, Jia bekerja sebagai penari tanpa tahu cita-citanya, terjebak dalam cintanya pada seorang tentara yang ia takutkan sikapnya apabila sampai tahu apa yang ia sembunyikan di masa lalu. Dan akhirnya ia melihat tanah seberang sebagai impian. Dan jalan keluarnya harus dibayar mahal...

Yang menciptakan batas itu hanyalah sekelompok penguasa dengan tentara sebagai anteknya, tidak memberi penghidupan yang layak di negaranya, namun tidak mengijinkan rakyatnya untuk bahagia di tempat lain. Orang-orang kecil selalu menjadi korban atas batas.




View all my reviews

Kamis, 08 Maret 2012

The Unknown Errors of Our Lives: Kesalahan-Kesalahan yang Tidak Diketahui dalam Hidup Kita

The Unknown Errors of Our Lives: Kesalahan-Kesalahan yang Tidak Diketahui dalam Hidup KitaThe Unknown Errors of Our Lives: Kesalahan-Kesalahan yang Tidak Diketahui dalam Hidup Kita by Chitra Banerjee Divakaruni
My rating: 4 of 5 stars

#2012-02

"Waktu aku beranjak dewasa di Calcutta, ibuku punya satu ungkapan yang sangat disukainya : Cinta seorang pria baik akan menyelamatkan hidupmu."

Kesembilan kisah dalam cerita ini mengisahkan sepenggal hidup perempuan. Mereka memiliki satu titik, satu hal dalam hidup yang akan mengubah jalan.

Nyonya Dutta yang mencari kebahagiaannya ketika mengikuti anak lelaki dan menantunya ke Amerika, ketika ternyata kehidupan sehari-hari bersama tidaklah sama dengan liburan keluarga. Gelisah. Perempuan yang meninggalkan anaknya untuk menjaga adiknya. Menggantikan tugas ibu yang pernah menjaga mereka berdua. Persaudaraan. Leela dan nyonya Das yang tidak mengenal satu sama lain namun bersama dalam situasi ketidakberuntungan. Rasa bersalah. Mona, yang hidup bersama ibunya sejak kecil, tidak bisa memaafkan ayahnya yang meninggalkannya. Penyesalan. Aparna, yang tergolek di rumah sakit usai melahirkan anak pertamanya, patah semangat untuk hidup, dan dibangkitkan oleh seorang dokter Inggris. Cinta. Seorang kakak, yang hidup berpindah-pindah karena kegagalan keluarganya, seorang ayah yang pemabuk, seorang ibu rapuh yang menyayangi kedua anaknya. Ketakutan. Mira, perempuan Bombay yang melarikan diri ke Amerika sesudah huru hara, mencari kehidupan yang baru dalam cinta perempuan dan laki-laki. Gurun Sacramento yang mengajari pencarian dirinya. Kepercayaan. Ruchira, yang menyadari bahwa setiap orang punya masa lalu, dan tak selamanya itu bisa lewat begitu saja. Selalu bisa kembali tiba-tiba. Apologize. Seorang ibu dan dua anaknya yang berlibur dari California ke Calcutta. Mencoba menelusuri masa lalu di kota ini. Mengenalkan budaya asli pada anak-anaknya yang kelahiran Amerika. Melihat bintang dari dataran India. Kenangan.

Apa yang kau cari, Perempuan? Ketika kau meninggalkan kampung halamanmu untuk mencari pengalaman, tempaan untuk sejenak menguatkan, sebelum berputar dalam lingkaran api itu, dengan sindoor di kepala. Perempuan-perempuan ini punya hak untuk memilih seperti apa hidup yang dijalaninya. Mereka saling menguatkan satu sama lain.
...yang juga percaya bahwa untuk menyelamatkan orang yang kaucintai, kau harus mengorbankan hidupmu sendiri.

Ashwini, Bharani, Kritika, Rohini. Nama-nama bintang dalam bahasa Bengali. Kenangan. Kampung halaman takkan lupa dari ingatan.


View all my reviews

Rabu, 07 Maret 2012

The House of the Spirit (Rumah Arwah)

Rumah ArwahRumah Arwah by Isabel Allende
My rating: 5 of 5 stars

#2012-01
Novel ini indah sekali.
Sebuah novel dengan cerita beberapa generasi, mengenai kehidupan seseorang, kekuasaan, tanah, pergolakan politik di sekitarnya, dan cinta pada keluarga.

Seperti halnya tuan-tuan tanah di Amerika Selatan, Esteban Trueba punya rumah besar yang apik, yang didiami oleh keluarganya, dan tanah perkebunan yang luas, yang didiami bersama petani penggarapnya, yang menghasilkan kekayaan untuk tanah pertanian itu sendiri. Petani-petani tersebut diperkenankan tinggal di lahan itu, dididik sebagai petani handal, anak-anak mereka disekolahkan, sehingga dipikir itulah satu cara yang adil. Trueba punya tanah, petani menggarap dan diperbolehkan tinggal di tanah garapannya. Satu simbiosis mutualisme di masa lampau.

Lalu zona aman itu berubah ketika petani mulai memberontak, menuntut kemerdekaan mereka. Tuan tanah tetap tidak merasa salah, merasa sudah mencukupi kebutuhan orang-orang yang diperkenankan tinggal di tanah. Esteban tidak sadar, bahwa orang-orang di sekitarnya mulai menjauh darinya, berdekatan dengan pihak-pihak yang ia anggap musuh. Di keluarga ini, revolusi memakan anak-anaknya sendiri. Tak diketahuinya anak-anaknya yang menyeberang ke kubu yang menentang tuan tanah. Lalu ia sendiri yang membasmi kubu itu. Dan ia ditinggalkan dalam ketidak tahuannya.

Laki-laki. Kuasa, gagah, dan ego. Tanpa itu mereka tidak bisa hidup. Bahkan dalam sakit pun ia masih mempertahankan kuasa dan egonya. Merasa jumawa atas hidup tiga perempuan : Clara, istrinya, yang dicintainya habis-habisan dan mendampinginya dengan lembut dan keras, Blanca, anak perempuannya yang tidak ia ketahui sisi lainnya, mencintai orang yang dianggapnya salah, Alba, cucunya yang memperjuangkan apa pun demi cinta, bahkan dirinya sendiri, melepaskan diri dari kungkungan keluarganya yang borjuis. Perempuan-perempuan yang masih memiliki sifat lembut di balik kekerasanan hatinya, mempunyai tanggung jawab total dalam ketabahannya, dan keberanian atas keyakinannya sendiri.

Trueba dengan egonya, tidak sadar bahwa perempuan-perempuan ini seharusnya bisa menjadi sumber kekuatannya, namun ia tidak mengalah, karena memang laki-laki tidak mengalah. Zaman yang berubah sejak tuan tanah, revolusi sosialis, penguasaan oleh militer. Ia berdamai dengan dunia dengan caranya sendiri.


View all my reviews