ulasan. resensi. kesan.

ulasan. resensi. kesan. ini bukuku, apa bukumu?

Sabtu, 29 Desember 2012

Pulang

PulangPulang by Leila S. Chudori
My rating: 5 of 5 stars

Setiap aku melakukan perjalanan, orang yang baru kukenal selalu bertanya, “Mbak, aslinya mana?”. Lalu aku cuma jawab simpel, “Jawa, Mas.” Kupikir cukup sampai di situ, namun orang itu akan lanjut bertanya,”Jawanya mana?”. Lalu aku bingung mau pilih yang mana, jawaban variatif pun kulontarkan, tergantung yang nanya dan lokasi bertanyanya sih. Kalau berada di daerah timur, aku akan menjawab, dari Jakarta tempat kerjaku, atau dari Bandung rumah orangtuaku sekarang atau Depok tempat tinggalku atau Cirebon kota kelahiranku. Itu Jawa bukan? Iya dong, kan berada di Pulau Jawa. Sementara kalau mengenalku lebih jauh pasti akan tahu bahwa ada beberapa kota lain yang pernah aku tinggali, tempat aku pernah merasa pulang.

Kemudian ditanya lagi,”Jadi pulangnya ke mana nih, mbak?” Jawabannya tentu bervariasi tergantung tujuanku saat itu. Pulang sebenar-benarnya memang ketika kita berada di rumah, tempat tidur sehari-hari. Namun aneh rasanya karena ketika hampir tidur di rumah aku selalu merasa ingin berada di tempat lain, di tempat-tempat impianku. Pernah aku berkata, aku ingin berada di suatu tempat begitu lama sehingga aku merindukan pulang. Ya, di antara perjalananku saat ini, aku belum pernah merindukan pulang. Kadang aku rindu Bintang, namun ketika ia bertualang bersamaku, maka tak ada lagi yang membuatku ingin pulang. Aneh? Ya, karena terlalu seringnya aku tidak berada dekat dengan orang-orang terdekatku, teknologi yang membuat bisa berkomunikasi kapan saja, jadi rasa kangen itu hampir tidak ada. Dan juga karena aku selalu bisa diterima di rumahku yang mana saja, sehingga biasa-biasa saja. Pulang, ya, pulang. Beraktivitas sejenak di rumah, kemudian pergi lagi. Bisa dihitung berapa hari dalam setahun aku berada di rumah yang kutinggali selama sehari penuh.

Tidak demikian dengan Dimas Suryo, yang tidak sengaja berada di pengasingan dan tidak bisa pulang ke rumahnya di Indonesia. Kehidupan sebagai seorang eksil politik di negeri orang, tujuan dari pelarian-pelariannya di luar negeri, bukan karena keinginannya untuk bertualang, namun nasiblah yang mendamparkan hidupnya di Perancis, direndahkan oleh rezim kekuasaan yang menganggap dirinya adalah salah satu dari bahaya laten yang pernah menghantui Indonesia. Pemerintah yang ketakutan akan kembalinya salah satu musuh politik berusaha menghalangi kembalinya tokoh-tokoh yang dianggap bisa menghidupkan kembali faham yang dilarang di Indonesia itu.

Kehidupan Dimas Suryo ini mengundang haru. Kerinduannya pada Indonesia, pada ibu dan adiknya yang dilabeli E.T (eks Tapol) di KTP-nya , lewat surat-surat yang diterimanya, deritanya di negeri orang, hasrat untuk bertahan hidup dengan terus memasak masakan Indonesia, bahkan bersama teman-temannya membangun restoran Indonesia. Kerinduan yang dipendamnya dalam bentuk dua stoples kunyit dan cengkeh sebagai pengobat laranya akan keinginannya untuk pulang.

Di beberapa bagian aku menangis haru membacanya. Sungguh ini cerita yang tak pernah aku dengar selama masa sekolahku. Bagian Indonesia yang terkubur yang ditutupi seolah itu borok negeri. Luka yang tak pernah diobati. Betapa sulitnya menjadi terpinggirkan. Kecintaan pada negeri namun tak pernah diakui. Sementara yang ditebarkan hanyalah bibit-bibit kebencian pada mereka. Orang Indonesia di Paris tak mau sama sekali menengok mereka, hanya mencemooh belaka.

Kerinduan Dimas Suryo, dan teman sepelariannya Nugroho dan Risjaf sedikit terobati ketika mereka tahu bahwa Lintang, anak Dimas harus mengambil data studinya di Indonesia tahun 1998, tepat ketika pecah revolusi baru lagi di Indonesia meruntuhkan orde baru, yang sudah menyiksa mereka selama bertahun-tahun, dengan tidak menghilangkan kewarganegaraan mereka, dan menghilangkan kesempatan mereka untuk pulang berkumpul dengan keluarganya. Lintang yang menjadi saksi runtuhnya rezim yang mencengkeram nama keluarganya itu mendapati betapa mirisnya menjadi dirinya sendiri, juga ayahnya yang tak puya tempat pulang.

Bacaan hebat sebagai penutup akhir tahun. Membacanya seperti membuka sejarah bangsa, memperlihatkan sisi lain yang selama ini ditutupi oleh kurikulum sejarah. Suatu kebenaran yang tidak bisa dibungkus rapat lagi. Dan membuatku menghargai sebuah PULANG.


View all my reviews

Minum Teh bersama Kartini

Minum Teh bersama KartiniMinum Teh bersama Kartini by Suryatini N. Ganie
My rating: 2 of 5 stars

Apa asyiknya ikut goodreads? Untuk aku, jawaban spesialnya adalah : dari goodreads aku punya banyak teman yang bisa kutemui apabila sedang berada di kota-kota lain di Indonesia. Hihi, lucu ya? Sementara orang-orang dapat teman dari forum2 traveling, aku malah dari sebuah klub buku.

Tapi memang senang sekali sih, kalau ketemu teman-teman sehobi, ngobrol tentang buku, hunting di palasari bandung, books semarang, sampai shopping jogja, sembari jalan-jalan dan diskusi soal sejarah kota (dan pasti!) makanan khas. Ketemu sesama penggila buku di berbagai kota itu mengasyikkan, dan dengan adanya internet, kalau ketemu sudah seperti sudah ngobrol berbulan-bulan.. ;)

Nah, mau tahu aku dapat buku ini di mana? Di Bali! Tepatnya di rumah Mia Queen yang sedang disatroni olehku dan Ndari. Ceritanya aku baru sampai Bali sendiri setelah keliling Jawa Timur dengan teman goodreads Jogja dan Bandung (nah, kan! teman jalan juga dapat dari goodreads!). Sesudah sepagian keliling2 dengan seorang teman kuliahku, karena sorenya ia ada acara keluarga, maka aku kontak Mia Queen dan Ndari buat ketemuan.. Asyik kaann..

Sesudah cerita2 tentang segala macam gosip perbukuan, meluncurlah kita ke rumah Mia, yang ternyataaa.. sedang bagi2 bukunya.... hebohlah aku dan Ndari membongkar2 buku yang dikeluarkan dari koleksi Mia. Setelah dapat dua buku lama Ayu Utami, buku bergambar termos ini menarik perhatianku. Kumpulan cerpen selalu bisa menjadi bacaan alternatif di kala mumet.

Seperti banyak komen-komen yang lain, cerpen-cerpen di sini membuatku mempertanyakan kebetulan. It doesn't matter with the book, tapi persahabatan yang menyertai ketemunya buku ini terasa lebih menyenangkan.

Thanks Ndari buat jalan-jalannya keliling Denpasar, thanks Mia buat bukunya.

:)

View all my reviews

Unpopular!

Unpopular!Unpopular! by Niken Anggrek
My rating: 3 of 5 stars

Pernah SMA? Pernah kan? Kecuali yang mengalami masa sekolahnya namanya SMU, masa SMA memang nggak ada duanya. Kata kepala sekolahku dulu sewaktu upacara pembukaan Penataran P4, masa SMA adalah masa paling indah, hanya dialami di SMA, bukan di STM atau SMEA atau SMKK (ada yang masih ingat singkatannya sebelum melebur jadi SMK? :D)

Woah, Penataran P4? Pasti anak SMA sekarang nggak mengalaminya, hanya MOS berkuncir pelangi yang dikenal. Penataran P4 itu untuk mendalami nilai-nilai luhur butir-butir Pancasila yang ada 36 butir itu.. (dengar-dengar, sekarang sudah 45 ya?) Penataran ini ajang yang bagus untuk berkenalan dengan siswa lain di SMA, yang ternyata, hanya berlangsung seminggu, kemudian kelasnya dipisah lagi.

Salah satu butir di P4 sila ke 5 butir 12 kalau nggak salah : Tidak bergaya hidup mewah. Nah, berhubung si Arum, tokoh di unpopular ini nggak belajar P4, cuma MOS doang, jadi pikiran dia penuh dengan mimpi2 tentang gadget keren yang dimiliki teman-temannya, dibandingkan dengan ponsel bergame snake lungsuran dari mamanya. Namanya juga anak remaja, pastilah standar hidupnya mengikuti apa yang ada terkeren di majalah saat itu.

Seperti aku dulu, yang merasa asyik kalau pake baju Osella atau H & R (ya ampun, ini pembongkaran umur), melakukan dosa terbesar yaitu pernah ngefans sama Atalarik (dijewer!), make Docmart biar kelihatan keren (dengan pita kuning yg ngelewer itu), dan bermimpi bisa masuk finalis Gadis Sampul (haiaaahh, belajar sonoo!!)

Dari dulu sampai sekarang, selalu ada geng keren di kelas ya, makanya temannya si Arum ini juga ada yang masuk geng keren dengan fashionistnya, namun diperlihatkan mereka lebih suka gosip artis daripada berita terkini. Kalau dipikir-pikir, dulu aku mirip Arum juga ya. Biasa banget gitu. Rambut ikal gak jelas, potongan bob sampai lulus, kulit muka berminyak (syukurlah gak pernah jerawatan), tinggi biasa-biasa aja, sekolah naik angkot atau sepeda, dan punya orangtua yang agak pelit soal gaul yee..

Bedanya sih aku berkacamata (tambah biasa lagi kan), suka main basket atau sepedaan sampai hitam, dan rajin belajar (nggak ding, ini juga biasa2 aja, buktinya kelas 3 pernah rangking 34.. - prestasi rangking terburuk sepanjang sekolah SD-SMA). Geli membaca pikiran-pikiran Arum, ya, ampuun aku gitu banget ya dulu.. untung sekarang udah sadar walau pun masih ada yang menuduh sok eksis (eh, sumpe lo? ge-er banget sih :)))

Tepatnya sih, memang mengalami apa yang dilewati Arum juga, bahwa hidup itu nggak sekadar kelihatan keren, tapi ada banyak hal yang bisa dilalui sebagai remaja, masa transisi untuk menemukan arah tujuan kita, saat yang tepat untuk menentukan passion kita. Ha, semoga saja passion itu tepat. Untuk memilih jurusan di UMPTN... ;)


View all my reviews

Tintin: The Complete Companion

Tintin: The Complete CompanionTintin: The Complete Companion by Michael Farr
My rating: 5 of 5 stars



View all my reviews

Lebah Cerdas On The Road: Cerita Hati Pengguna Kereta Api

Lebah Cerdas On The Road: Cerita Hati Pengguna Kereta ApiLebah Cerdas On The Road: Cerita Hati Pengguna Kereta Api by Baban Sarbana
My rating: 3 of 5 stars

buku ini lucu, aku menemukan buku ini di salah satu ruang obral Indonesia Book Fair 2012. dan nyeselnya karena cuma beli 1, padahal harusnya beli 2 atau 3 buat diberikan pada teman2 yang juga penggemar kereta, misalnya saja Ria Aprilia :D

cerita tentang suka duka pengguna KRL ekonomi dari Bogor ke Depok dengan segala romantika haru dan miris, ringan buat bacaan di kereta, bahkan aku memulainya di KRL pulang dari IBF dan menamatkannya di KRL perjalanan ke kantor pagi ini. cepat kan?

judul-judul tulisan seperti "diam itu emas, bergerak (mungkin) berlian", untuk menceritakan pergeseran di kereta menjelang turun dari KRL, atau "casing itu apa adanya, sinyal itu karunia Allah", tentang ketulusan memberikan tempat duduk.

ada satu yang mengganggu, yaitu penulisan stasiun Pondok China, yang seharusnya ditulis Pondok Cina. penggambaran suasana stasiun bogor sudah jelas banget, tapi mungkin itu karena aku yang sudah tahu bagaimana suasana (dan copetnya), sedangkan bagi yang belum pernah ke sana, mungkin agak blur gambarannya.

dari penggambaran kesebelasan copet dan berbagai cerita copet dan orang kecopetan, agak ketahuan bahwa di stasiun depok itu ternyata banyak copetnya.. *dekap tas erat2* tapi aneh juga ya, kenapa si penulis suka menaruh ponselnya di depan tas, bukannya di dalam tas?

jadi pengen membukukan tulisan2ku tentang KRL juga, tapi dari target 25 sampai akhir tahun, cuma 5 yang baru dituliskan, hehe :p
ah, transportasi Indonesia...

View all my reviews

The Painted Veil

The Painted VeilThe Painted Veil by W. Somerset Maugham
My rating: 4 of 5 stars

an awesome drama story about forgiven yourself. the character isn't a hero, she betrayal her husband and commited suicide bu follow him to disease area.

i don't like kitty fane but not punish her as a cheerful grown-up girl, who married only for her pride. her mother must be excess her so much that she had this bad flirting attitude.

this is about transformation of a young girl to a woman. someone who should hit a lot and learn a lot to get up again. she could be a kind of bitch, but she learn to survive to save herself.

View all my reviews

"Aku Kesepian, Sayang." "Datanglah, Menjelang Kematian."

"Aku Kesepian, Sayang." "Datanglah, Menjelang Kematian." by Seno Gumira Ajidarma
My rating: 3 of 5 stars



View all my reviews

Water for Elephants: Air untuk Gajah

Water for Elephants: Air untuk GajahWater for Elephants: Air untuk Gajah by Sara Gruen
My rating: 4 of 5 stars



View all my reviews

Danny Si Juara Dunia (Danny the Champion of the World)

Danny Si Juara Dunia (Danny the Champion of the World)Danny Si Juara Dunia by Roald Dahl
My rating: 3 of 5 stars



View all my reviews

Arsitektur Yang Lain: Sebuah Kritik Arsitektur

Arsitektur Yang Lain: Sebuah Kritik ArsitekturArsitektur Yang Lain: Sebuah Kritik Arsitektur by Avianti Armand
My rating: 5 of 5 stars

Arsitektur itu bicara ruang, bukan sekadar bangunan. Ruang yang berfungsi sebagai tempat berkegiatan manusia dan ruang yang (sayangnya) hanya untuk dipamerkan. Pertama ia menyinggung soal rumah, yang tak lagi sebagai ruang bertinggal, namun hanya sebagai tempat singgah di malam hari. Membuatku bertanya-tanya, jadi mana yang bisa kita sebut sebagai tempat bertinggal itu apabila lebih dari 50% hari dihabiskan untuk tidak berada di situ? Penduduk manakah aku bila 15 jam hidupku berada di Jakarta, dan sisanya berada di Depok, itu pun dalam keadaan tidak sadar alias tidur. Tidak ada kontribusi apa pun untuk ruang bertinggalku selain sebagai tempat domisili belaka sebagai syarat administratif seorang warga negara. Mungkin pada akhirnya yang kita tempati adalah ruang waktu, dan alamat pasti di mana kita adalah alamat e-mail.

Arsitektur bercerita tentang ruang-ruang pribadi, cerita tentang dapur, di mana ia mendapat klien seseorang yang ingin membuat dapur yang lega mewah dan nyaman, sementara si empunya tidak suka memasak. Sungguh kontradiktif, dan jamak terjadi di kalangan orang-orang berpunya di jaman sekarang ini. Ingin ruang fitness tak pernah berolah raga. Ingin kolam renang namun tak juga dicemplungi. Semua hanya demi hasrat berpamer belaka demi gengsi.

Kumpulan tulisan ini sangat menarik untuk direnungi sebagai eksplorasi ruang arsitektur. Dari proses berpikir sampai penganalisaan suatu karya. Arsitektur itu hidup sebagai penanda masa di mana manusia pernah berkarya.

View all my reviews

Rabu, 31 Oktober 2012

The New Life (Kehidupan Baru)

The New Life (Kehidupan Baru)The New Life by Orhan Pamuk
My rating: 5 of 5 stars

Terjemahan bahasa Indonesia - Penerbit Serambi - 472 halaman

Pernahkah kamu membaca sebuah buku dan hidupmu berubah?
Aku pernah. Mungkin sudah tidak perlu kusebutkan lagi judulnya karena siapa pun yang mengenalku dengan baik tahu buku itu. Dan untunglah aku tidak perlu menderita seperti Osman, si mahasiswa arsitektur dalam buku ini, yang mencari 'Kehidupan Baru' keliling negerinya, sesudah membaca buku yang ia lihat tanpa sengaja.

Pernahkah kamu merasa ingin melompat ke dalam bis-bis yang lewat di depanmu yang kau tak pasti tujuannya ke mana, lalu memulai petualangan dengan naik turun bis ke mana pun berganti-ganti, sampai sesuatu hal menuntunmu pada tujuan tertentu, seperti Osman dan Janan?
Aku tidak pernah. Rasanya sulit untuk memulai sesuatu tanpa perencanaan panjang. Mungkin karena aku lebih banyak memikirkan perasaan orang-orang yang akan kutinggalkan apabila nekat kabur begitu saja. Tapi bukan berarti aku tidak ingin. Ingin sekali. Terkadang kalau sedang tidak punya pikiran apa-apa terbit keinginan untuk berjalan ke mana-mana ke mana kaki ingin melangkah. Belum senekad itu sih.

Pernahkah kamu muak terhadap sesuatu yang terlalu mudah ditemukan di dunia ini? Seperti Coca Cola, burger, berita-berita di televisi, sesuatu yang tersebar begitu cepat ke seluruh penjuru dunia?
Aku pernah. Sering sekali malah. Sering sekali rindu pada cara lokal dan unik untuk menikmati sesuatu. Seperti makan nasi liwet di pincuknya, minum legen dari batang bambu, atau banyak makanan lain yang tak bisa diawetkan dan harus dinikmati di tempatnya langsung. Atau mendengarkan berita-berita lokal alih-alih politik luar negeri yang nggak ada hubungannya sama kita. Mungkin itu yang ada di benak Doktor Fine, yang menampung Osman dan Janan, tanpa barang-barang multiglobal itu, negeri kita akan baik-baik saja. Nggak akan hancur suatu negeri karena tidak minum Coca Cola. Lihatlah Amerika yang menghancurkan suku Indian dengan memberi mereka minuman keras sehingga perlahan-lahan mati sendiri. .

Pernahkah kamu berpikir bahwa kereta api, seperti yang diceritakan Paman Rifki, adalah pembawa hal-hal biasa menjadi umum ke seluruh negeri, daerah-daerah tidak menjadi unik lagi, seperti ketika ia menuliskan petualangan Peter dan Pertev di Amerika, saat jalan untuk besi beroda itu dibangun menghubungkan Amerika Timur dan Barat, ketika kota-kota yang dilaluinya menggeliat berubah?
Ya, aku pernah. Kereta api, atau jalur transportasi lain, senantiasa memberi dua sisi pedang. Semakin bagus akses transportasi ke suatu daerah, semakin mudah perekonomian akan membaik, semakin umum daerah itu, dan semakin hilanglah nilai-nilai lokalnya. Ini terjadi di seluruh dunia. Akses yang bagus memberi dampak positif pada daerah tujuannya, namun tidak selalu pada daerah yang dilaluinya.

Ini cerita tentang seseorang yang kehilangan dirinya sendiri setelah membaca sebuah buku. Buku ini tidak eksklusif, beberapa orang memilikinya, Ia melihat dalam dunia yang global ini ketika kaki bisa melangkahkan diri ke mana pun, ia menjadi warga dunia. Ia kehilangan lokalitasnya. Ia bisa siapa pun. Tidak hanya Osman si mahasiswa arsitektur itu, namun juga siapapun yang menceburkan dirinya sendiri ke dunia global. Untuk menyelamatkan diri, hanya satu cara. Selalu ingat siapa dirimu, identitas, asal dan lokalitasmu.

*****

Picture dated 04 July 2005 shows Turkish novelist Orhan Pamuk laughing during an interview in Istanbul, Turkey. Orhan Pamuk, who won the Nobel Prize for Literature on Thursday 12 October 2006, is today Turkey\'s leading novelist, by far its most famous both within Turkey and in the wider world.  EPA/TOLGA BOZOGLU

Orhan Pamuk, novelis yang memenangkan penghargaan nobel Sastra pada hari Kamis, 12 Oktober 2006 ini, menjadi penulis terpopuler di Turki dan dikenal negara-negara lain juga. Penulis ganteng yang lahir di Istambul tanggal 7 Juni 1952 ini, tidak pernah jauh dari kontroversi di Turki yang dikritiknya baik dari sisi religius atau pun sekular. Diberitakan juga bahwa Pamuk menjalin hubungan dengan Kiran Desai seorang novelis cantik berkebangsaan India.
Buku-buku lainnya yang populer adalah Snow, My Name is Red, Istanbul: Memories and the City, The Museum of Innocence, The White Castle.
Separuh novel perjalanan, separuh dongeng thriller, The New Life adalah buku yang paling cepat terjual habis dalam sejarah Turki. Menampilkan seluruh kecerdasan dan keluwesan khas Pamuk, novel indah ini mengingatkan kita akan sebuah bangsa yang terombang-ambing antara Timur dan Barat.

#PostingBareng #NobelSastra @BBI_2011

View all my reviews

Rp 3 Jutaan Keliling India dalam 8 Hari

Rp 3 Jutaan Keliling India dalam 8 HariRp 3 Jutaan Keliling India dalam 8 Hari by Rini Raharjanti
My rating: 2 of 5 stars

Aku paling nggak suka baca buku perjalanan yang di judulnya ada nominal rupiahnya. Kenapa? Ya, nggak bakal up to date aja gitu. Buku dengan judul 'sekian juta keliling dimana' itu nggak lebih dari taktik dagang supaya orang merasa murah dan beli buku itu. Padahal bisa saja buku itu baru dibaca beberapa tahun kemudian, dengan kondisi perekonomian yang terbaru. Jadi sebenarnya yang penting dari buku catatan perjalanan itu adalah menceritakan tentang tempat yang dilalui dan apa yang dirasakan dalam perjalanannya.

Kenapa aku mengambil buku ini? Pertama alasannya adalah India gitu lho! My number one wish list sejak SMA untuk dikunjungi. Karena aku menganggap India itu eksotis, masih kuat mempertahankan kebudayaannya, nggak hilang ditempa gerusan zaman pop. Bangunan, kuil, Gangga, Taj mahal, jalanan yang ramai, rumah bertumpuk di daerah perbukitan, dan muka-muka India yang khas banget. Ingat uniknya muka Preethi Sethi VJ MTV itu yang nggak kehilangan ke-India-annya walau sudah masuk ranah global.

Alasan kedua, karena buku ini murah, harganya hanya 10 ribu saja di obralan. Jadi lumayan lah bisa diintip itinerarinya, ke mana aja sih si penulis berjalan-jalan. Syukur-syukur bisa diikuti. Walaupun banyak catatan perjalanan bertebaran di blog-blog orang, memegang buku itu emang enak karena bisa ditenteng-tenteng ke mana pun, jadi bisa kebayang-bayang kalau suatu kali aku ke India itu ngapain aja.

Si penulis memaparkan perjalanannya di India mulai dari Kolkata, Varanasi, Pushkar, Jaipur, sampai kembali lagi. Banyak juga sih diceritakan tips-tips menarik bagaimana berjalan-jalan di India, cara menghalau anak-anak kecil yang selalu membuntuti, bagaimana menghindar dari calo hostel atau taksi, yang banyak diperlu-perlukan di India. Kalau bagaimana temple atau yang dituju diceritakan agak sekilas kalau menurutku, mungkin saking banyaknya temple yang ia kunjungi jadi nggak terlalu khas lagi. Untuk informasi hostel, touris centernya lumayan lengkap. Menarik ketika ia melihat upacara-upacara keagamaan di India yang tak terjadwal, juga tak sengaja berada di Pushkar ketika Holy Day yang penuh warna-warni coreng-moreng di jalanan. Aku sendiri sudah lama tahu Holy Day ketika baca Balada Si Roy 10: Epilog beberapa tahun silam. Sejak baca buku itu memang ingin sekali ke India sebagai traveler, namun waktu tak mengijinkan. Sepertinya seandainya aku ke India kini pun hanya akan sebagai turis saja. Makanya aku tertarik dengan buku ini bukan 3 jutanya, tapi 8 harinya. Kira-kira 8 hari bisa sampai Ladakh atau Darjeeling, atau Kalimpong di utara nggak ya? Nah, kebetulan di buku ini si penulis nggak sampai sana, sih. Jadi sepertinya aku akan memodifikasi itinerarinya kalau benar-benar jalan ke sana.

Nah, karena si penulis mungkin menulis di era buku perjalanan belum terlalu beken, maka yang paling mengganggu adalah fotonya. Bagaimana bisa sih kita dapat informasi dari foto yang bertebaran ukuran 3x4 cm begitu? Yang difoto bangunan, pemandangan, sama sekali nggak menarik fotonya. Jadi terpaksa aku mencari tahu di tempat lain tentang informasi gambarnya. Sementara penggambaran lewat tulisan juga tidak terlalu deskriptif. Mungkin memang sesuai judulnya, ia menitikberatkan pada biaya, yang memang dituliskan dengan cukup rinci.

Aku ingat di satu diskusi buku dengan salah seorang penulis cerita perjalanan, ia ditanya oleh pengunjung, ”Alangkah baiknya kalau di bukumu lebih banyak fotonya. Jadi kita bisa melihat apa yang dilihat olehmu.”
Jawab si penulis,”Mas, ketika anda membaca satu halaman itu, apakah anda terbayang akan suasananya, akan apa yang mas lihat?”. Si penanya mengiyakan. Si penulis berkata,”Nah, kalau begitu memang saya tidak usah menampilkan foto. Anda terbayang dengan membacanya. Saya ini bukan fotografer, daripada ditampilkan tidak bagus, lebih baik saya mencoba menulis dengan bagus.”

Jadi kalau melihat judulnya dengan nominal, sebenarnya buku ini benar adanya, semacam panduan jalan-jalan saja. Tapi, lebih baik selalu pastikan lagi dengan informasi terbaru sehingga bila berjalan-jalan benaran, tidak terpaku pada harga-harga yang dituliskannya. Lebih baik lagi siapkan dua kali lipat. Oh, iya, tiga juta ini nggak termasuk tiket pesawat Jakarta-Kuala Lumpur-Kolkata dan sebaliknya lho.





View all my reviews

Aleph

AlephAleph by Paulo Coelho
My rating: 5 of 5 stars

Aku pernah bertanya, pada Tuhan, pada kehidupan, pada angin, pada alam, pada buku-buku yang kubaca, kenapa aku harus bertemu dengan beberapa orang dalam hidupku? Kemudian timbul pertanyaan lain untukku, untuk alasan apa kamu ada di dunia, In? Dan kusambung dengan pertanyaan lain yang lebih menohok, mengapa semesta mengirimkan kamu untuk bertemu denganku?

Ada dua pilihan menghadapi hidup, bahwa hidup ini semua kebetulan, siapa yang akan bertemu kita tak terprediksi sebelumnya atau bahwa tidak ada kebetulan di dunia ini, semua adalah rahasia besar yang pasti ada maksudnya kenapa terjadi. Mungkin aku setuju pada keduanya, karena hal-hal yang semula kuanggap kebetulan itu ternyata bukan kebetulan bahkan menjadi salah satu titik di mana aku berproses.

Pertama aku tertarik membaca buku ini karena reviewnya Farah, beberapa bulan silam. Saat itu aku memilih untuk menunggu terjemahannya saja mengingat karya-karya Paulo Coelho banyak yang sudah diterjemahkan. Review Farah sangat sedih menurutku, dan menurutnya ketika ia membaca buku ini ia menjadi bisa memaafkan dan meringankan apa yang bergejolak dalam hatinya.

Lalu bulan lalu, kebetulan itu ketika sedang duduk-duduk di tepi laut, aku melihat temanku membaca buku ini, dan ternyata sepulang dari perjalanan aku melihat buku ini di sebuah toko buku di bandara. Bukan terjemahan. Mungkin ini momennya, pikirku. Bisa jadi kalau aku tak melihat temanku membacanya, aku tak akan membeli di toko itu. Mungkin ini momennya, kataku sekali lagi. Jadi kuputuskan untuk membelinya, dan langsung membacanya di pesawat.

Travel is never a matter of money, but of courage. (p.10)

Courage can attract fear and adulation, but willpower requires patience and commitments. (p.24)

My roots are ready, but I'll only manage to grow with the help of others. Not just you or J or my wife, but the people I've never met. (p.29)

De ja vu is more than just that fleeting moment of surprise, instantly forgotten because we never bother with things that make no sense. It shows that time doesn't pass. It is a leap into something that we have already experienced and that is being repeated. (p.40)


Kenapa aku harus bertemu? Itu mungkin yang harus dicari jawabannya. Mungkin juga tidak perlu, karena cepat atau lambat jawabannya itu mungkin akan dilupakan juga. Seberapa pun waktu bersamamu, ada yang berubah pada diriku sesudahnya. Mungkin itu adalah ujian yang harus dilalui. Pasti ada rahasia besar di depan yang tidak kita tahu kenapa kita harus bertemu, begitu katamu.

No one can learn to love by following a manual and no one can learn to write by following a course (p.89)

We learn in the past, but we are not the result of that. We suffered in the past, loved in the past, cried and laughed in the past, but that's of no use to the present. The present has its challenges, its good and bad side. We can neither blame nor be grateful to the past for what is happening now. Each new experience of love has nothing whatsoever to do with past experiences, it's always new. (p.124)

Life is one long training session, in preparation of what will come. Life and death lose their meaning, there are only challenges to be met with joy and overcome with tranquillity. (p.147)

Not everything in life is a long train with tickets available for all. (p.212)


Tidak semuanya yang kita rencanakan dengan baik akan berjalan dengan baik juga. Ada hal-hal yang di luar kuasa kita untuk mengubahnya, sesuatu yang akhirnya terpaksa dilepaskan. Mungkin ini satu tahapan untuk kerelaan hati.

Kadang-kadang seperti nggak percaya bahwa sesuatu yang kukenal dua puluh tahun silam kembali dengan wujud lain. Ketika serangkaian kebetulan mengikutinya kembali kau baca ulang di masa sekarang. Mungkin dulu dalam bentuk persahabatan, kemudian cinta, lalu berubah menjadi seperti seseorang dalam keluarga. Mungkin wujud yang sekarang bisa lebih direlakan karena memang tidak ada lagi yang bisa dipertahankan. Setiap kisah punya penyelesaiannya masing-masing. Dan setiap cerita selalu happy ending. Cari saja sudut pandang seperti itu, tidak selalu dari tokoh utamanya.

Is it possible to deviate from the path God has made? Yes, but it's always a mistake. Is it possible to avoid pain? Yes but you'll never learn anything. Is it possible to know something without ever having experienced it? Yes, but it will never truly be part of you. (p.263)


View all my reviews

The Adventures of Tintin, Vol. 7: The Castafiore Emerald / Flight 714 / Tintin and the Picaros

The Adventures of Tintin, Vol. 7: The Castafiore Emerald / Flight 714 / Tintin and the PicarosThe Adventures of Tintin, Vol. 7: The Castafiore Emerald / Flight 714 / Tintin and the Picaros by Hergé
My rating: 5 of 5 stars

Di bundel ini, Flight 714 penerbangan ke Sydney, adalah salah satu favoritku di serial Tintin. Sewaktu kecil aku belum pernah membaca judul yang ini dan alangkah senangnya ketika melihat latar di halaman pertama adalah Djakarta! Wow! Bangga juga punya negara yang masuk ke buku Tintin.
Dan untunglah aku membaca dalam bahasa Inggrisnya sehingga ketika sampai pada dialek berbahasa Indonesia, lha kok.. Rupanya Mr. Herge memasukkan bebarapa percakapan lokal di sini ketika pesawat ini dibajak dan mendarat darurat di suatu wilayah yang kukira adalah Flores. Soalnya, di gambarnya ada binatang Komodo yang Indonesia punya itu lho.. (eh, mungkin juga di pulau Komodo) Pertemuan Tintin dan musuh bebuyutannya Rastapopulous yang dengan liciknya berebutan harta karun dan trik-trik pintu rahasia, banyak mengundang tawa. Seperti biasa Tintin selamat dengan cara yang ajaib dan beruntung. Petualangan Tintin selalu membuatku ingin berkelana melihat negeri-negeri yang ia jelajahi.

View all my reviews

The Namesake

The NamesakeThe Namesake by Jhumpa Lahiri
My rating: 4 of 5 stars

Menghembuskan nafas ketika selesai membaca buku ini, “ What a life.”

Kehidupan memang tak bisa disangka-sangka bagaimana awal dan bagaimana akhirnya. Semua ending adalah happy ending. Entah buat yang hidup bahagia selamanya, entah buat yang patah hati dan membebaskan jiwanya. Yang jelas, kebahagiaan itu pilihan. Kamu bisa memilih untuk bahagia di tengah keterpurukan atau menderita di tengah kegemilangan. Pikiranmu yang berjalan. Hatimu yang berbicara.

View all my reviews

Lalita

LalitaLalita by Ayu Utami
My rating: 3 of 5 stars

Sejujurnya, buku Lalita ini adalah buku Ayu Utami yang paling ruwet buat aku. Sepertinya aku harus baca ulang kalau punya waktu. Sejak pertama baca Ayu Utami aku sudah suka dengan cara menulisnya. Walau banyak yang bilang tulisannya agak vulgar, yah. Tapi menurutku sih biasa-biasa saja. Nggak sampai menimbulkan getar-getar yang gimana gitu. Ada sih, penulis perempuan yang juga menulis lebih vulgar dari Ayu Utami.

Yang aku suka dari seri Bilangan Fu ini adalah bahasan heritagenya. Sejak aku baca Bilangan Fu dan jatuh cinta dengan Parang Jati, aku senang karena Ayu selalu memasukkan sejarah, sedikit ilmu kejawaan, yang aku sendiri sebagai orang Jawa belum pernah tahu. Walaupun bukan untuk diamalkan, tapi simbol-simbol dan analisisnya menarik untuk diikuti. Mengingatkan bahwa bangsa ini punya sejarah yang demikian kaya untuk dieksplorasi dan ditelaah sebenarnya bukan hanya di tangan seorang penulis sastra. Di buku kedua seri ini, Manjali Cakrabirawa, juga menceritakan tentang kisah Ratna Manjali anak Calon Arang dan lambang Bhairawa Cakra, juga tentang candi-candi di kawasan Jawa.

Kisah Lalita ini membungkus kisah lainnya yang membungkus kisah intinya juga. Cara penceritaan ini menarik. Dari luar ke dalam. Dari Arupadhatu, Rupadhatu, sampai Kamadhatu. Ini memang kisah tentang Borobudur, di negeri pada masa penduduknya tidak terlalu menghargai kebudayaan. Tentang bagan mandala yang menjadi pusat dunia. Tentang Buddha Gautama.

Bagian yang membuat aku ruwet adalah bahasan Drakula, Sigmund Freud, Ansel, dan Carl Gustav Jung. Entah bagaimana, aku yang memang nggak ngerti filsafat ini (selain dijelaskan oleh Jostein Gaarder), nggak kunjung mengerti mengenai bahasan psikoanalisa ini. Apabila ada banyak yang memuji buku ini karena bahasan Freudnya, nah, itu hak mereka. Kecakapan dan ilmu yang dipelajari tentang ini memang mempengaruhi penilaian seseorang. Baru bisa paham lagi ketika kakek Ansel tiba di Borobudur dan membahas lagi tentang mandala.

Pada bagian-bagian akhir ketika ada bahasan tentang culture dan heritagenya lagi tentang Borobudur yang bisa membuatku melanjut oleh Marja Manjali dan kecerdasannya untuk menganalisis. Perempuan yang belajar interior ini menjelaskan budaya dengan bahasa sederhana dan mudah dimengerti. Ah, iya Marja. Di dalam desain selalu diajarkan sejarah.sebelum melangkah selanjutnya. Kalau cuma minimalis saja atau gaya sekarang saja, desainnya tidak akan kaya, cuma kosong korban ikut-ikutan. Baru juga aku mengerti bahwa ceritanya memang sengaja dituliskan seperti buah bawang, berlapis-lapis dari luar ke dalam.

Yang paling aku suka, sampulnya yang dilukis sendiri oleh Ayu Utami. Di Cerita Cinta Enrico aku baru tahu bahwa selain menulis, Ayu juga suka melukis. Suka juga karena aku mendapat mouse pad cantik sebagai hadiah pre order.

View all my reviews

Selasa, 02 Oktober 2012

Hujan dan Teduh

Hujan dan TeduhHujan dan Teduh by Wulan Dewatra
My rating: 2 of 5 stars

Betul. Ada dua cerita di sini. Cerita tentang Bintang masa SMA dan Bintang masa kuliah, yang dibaurkan dalam cerita yang dituliskan berangkai, seolah bolak balik, atau cerita yang susul menyusul. Seperti rel yang sejajar yang dikira bersama, tapi ternyata yg satu berada jauh di belakang. Agak mengagetkan karena Bintang ini namanya sama dengan si kecilku dan Kaila ini sama dengan nama sepupunya yang setiap weekend main bersama. Kebetulan, ya?

Nama tokohnya Bintang dan Kaila. Mereka teman sebangku SMA, bermain bersama, kemudian menyadari menyukai satu sama lain, dan akhirnya hubungan mereka terhenti karena ketahuan teman-teman sekelas.
***
Nama tokohnya Bintang dan Noval. Mereka saling jatuh cinta ketika masa kuliah, kemudian menjalani hari-hari bersama yang penuh gairah, sampai akhirnya mereka berpisah karena Noval yang terlalu mengekang Bintang.


Bukan, bukan alurnya yang akan aku komentari. Cara penceritaan kan bermacam-macam, bisa maju mundur, bisa mundur terus, bisa maju terus, bisa ala sms, bisa via email, bahkan curhatan twitterpun bisa dijadikan buku. Mestinya sih nggak bermasalah.

Cuma kalau alurnya udah unik begitu, sayang paragraf-paragrafnya dalam scene yg sama banyak yang 'kentang', seperti gak dapat eksekusi yang lebih mulus lagi. Kesannya jadi FTV banget, atau film Indonesia yang banyak beredar kini tentang anak muda, banyak scene yg 'kentang'.
*ditulis gak ya contohnyaa..*

Tokoh Bintang ini emang datar banget, pasrah banget mau diapain juga sama pacarnya. Satu-satunya kelebihannya adalah dia sebenarnya soliter, yang bisa saja melakukan apa-apa sendiri tanpa pacarnya, dan bisa cuek dan move on sesudahnya, tapi dia tetap penyendiri. Tapi dibandingkan soliternya Zarah Amala, ya bisa dibilang si Bintang ini biasa-biasa aja. Dan tokoh-tokoh lain juga nggak diceritakan dengan serius, siapa itu Noval juga nggak tahu selain kakak kelas Bintang, terus pacaran sama Bintang. Adegan lempar tanahnya juga kentang banget. Dilempar, trus udah. Apalagi tentang Dewa yang muncul satu dua bak figuran. (deuu, padahal biasanya yang namanya Dewa itu ganteng loh, dan pantes dicemburuin). Memang sempat diceritakan sedikit soal Daniel (banyak banget orang namanya ini, yah), aku pikir bakal dapat lebih banyak ketika diceritakan soal mengangkat jamur dari truk, tapi ternyata segitu aja. Adegan Daniel ciuman sama Bintang juga nggak ada ujung pangkalnya juga, gak jelas time waktunya juga di sebelah mananya pestanya si Bintang (tapi aku sih ngerti kenapa Daniel nyium Bintang >ada alasannya ^_^)

Mungkin si penulis terikat dengan aturan lomba harus berapa halaman dan harus happy ending (info ini aku dapat dari seorang peserta yang nggak menang tetapi tetap diterbitkan jadi buku ~ setelah diedit-edit jadi cukup bagus) sehingga kesulitan untuk menjelajah, eh, mengeksplor tokoh-tokohnya lebih jauh. Peran ibunya Bintang yang single parent juga digambarkan cukup pas munculnya, gak kebanyakan, dan gak kekurangan. Kait-kaitan cerita masa lalu dan masa kini juga beberapa cocok, seperti tentang alasan Bintang bisa bermain gitar, atau saat perpisahannya dengan Kaila.

Aku nggak tahu ini buku ke berapanya Wulan, jadi nggak bisa membandingkan dengan karya-karyanya yang lain sih. Apalagi buku segenre yang aku baca cuma karya Winna Efendi, juri lomba ini (ohiya, sama karya Windry Ramadhina). Kalau aku sih suka banget sama karyanya Winna, yang juga suka menulis dengan alur yang berbeda-beda (favoritku masih Ai). Kalau pun ini karya pertama Wulan, as a start, oke laah.

catatan akhir, 'kentang' itu istilah akronim untuk 'kena tanggung' untuk menunjukkan sesuatu yang 'eh, lha, kok udah?' kemungkinan muncul sebelum istilah 'unyu' apalagi 'kowawa.. \\(^_^)//'
sebagai makanan sih, aku suka banget sama kentang mau diapa-apain juga.

View all my reviews

Winter Dreams

Winter DreamsWinter Dreams by Maggie Tiojakin
My rating: 5 of 5 stars

129. Most truth are not worthy of the lies we create to conceal them; for it is in the absence of lies that the truth almost always become irrelevant, unimportant.

Siapa punya impian Amerika? Setiap orang yang pergi ke Amerika selalu punya angan-angan untuk meraih keberhasilan di negeri ini. Tak sedikit di antara mereka juga yang merupakan pelarian dari negerinya yang kebetulan sedang kacau, atau juga pergi dari masalah-masalahnya sendiri. Karena itu kedutaan Amerika menjadi sensitif, mengingat negerinya adalah impian seluruh dunia untuk bertinggal di situ, yang mau tidak tahu bahwa negara ini juga yang menjungkirbalikkan perekonomian dunia. Untuk mendapatkan visa Amerika saja seseorang harus melalui serangkaian wawancara (yang belum tentu berhasil) dan akan lebih mudah apabila paspormu sudah bercap berbagai negara. Wow, Amerika sebagai negara saja seperti tahapan tertinggi untuk pencapaian kunjungan. Glam-nya Vegas, calm-nya New York, pride-nya Washington, georgeous-nya Chicago, naughty-nya Los Angeles, seolah menjadi daya pikat untuk mendatangkan uang untuk penduduk negara dunia ketiga, juga menjadi warga dunia yang 'gaul' ketika berkata mereka bertinggal di negara adidaya itu.

141. Life has a strange sense of humour, and sometimes God makes up for it by working in mysterious ways.

Sahabatku di kantor yang lama mendapat kesempatan untuk tinggal di Seattle, Amerika untuk mengikuti istrinya yang mendapat tugas di sana. Awalnya terasa berat untuknya namun setelah ia mendapatkan pekerjaan, ditambah dengan kecakapannya berbahasa, ia memutuskan untuk tinggal di Amerika. Kedua anaknya lahir di sana, di foto-foto mereka terlihat begitu bahagia. Beberapa kali atasanku yang sering ke Kanada bertemu dengan pasangan ini. Pernah dalam satu kesempatannya pulang ke Indonesia, ia berkata, "Kayaknya lebih enak tinggal di sana, In. Lebih teratur, lebih rapi, mau membesarkan anak-anak juga enak, pendidikan bagus." Wha, berarti ada kemungkinan ia nggak pindah lagi ke Indonesia. Sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, mengingat ia dan istrinya memiliki saudara kandung yang tinggal di negara-negara lain juga. Jadi terpisah dengan keluarga besar ribuan kilometer sudah biasa baginya.

172. Sebagai warga ilegal, aku termasuk dalam kategori buronan. Aku sedang berlari bahkan saat aku duduk. Aku sedang berlari saat aku tidur. Aku lelah berlari terus. Aku tidak tahu hendak ke mana.

Tidak semua orang berhasil di Amerika. Salah satu mantan atasanku, senior arsitek berkewarganegaraan Filipina (the handsome one), yang sudah menjelajah berbagai negara untuk bekerja, memilih Amerika sebagai salah satu goal sesudah Singapura, Jepang, Hongkong, mendapati bahwa Amerika tak semudah bayangannya semula sebagai seorang profesional. Mula-mula ia bekerja pada sebuah konsultan kenamaan yang memukulnya mundur pada krisis ekonomi tahun 2008 lalu (dan hoi, sampai sekarang Amerika masih krisis dengan utang membengkak gara-gara membiayai perang).
“When America crisis, I got fired from the company I worked, then I listed 100 consultant or contractor company, and I applied all of them, but no vacancies, no project, no job. They are bankrupt.” Kemudian akhirnya ia beralih ke kenalan-kenalannya di Asia, yang ternyata membawanya ke Indonesia kembali. “One thing that I don't like America is during winter. It was very cold. I had to walk from my house to bus station within hard wind everyday to my office.” Sekian lama tidak mendapatkan pekerjaan, akhirnya ia menyerah dengan Amerika, lewat koneksinya sewaktu tinggal di Indonesia, ia dipercaya untuk menangani sebuah proyek mal di Jakarta. Ia berangkat ke Asia.
Apakah ia menyesal? Sepertinya tidak. Sebelum ia kembali ke Filipina untuk mengelola perkebunannya (ya, ia memutuskan untuk pensiun jadi arsitek dan menjadi tuan tanah saja), ia bercerita bahwa anak pertamanya (yang juga bercita-cita menjadi arsitek) akan kuliah di Amerika dan mencari pekerjaan di sana. He is encourage his kid to challenge America.

187. Entahlah, aku tak tahu jawabnya. Menurutku tidak ada yang murni dari diri manusia. Saat orang membicarakan jiwa yang murni, aku tidak tahu apa maksudnya. Apa itu mengacu pada seseorang yang tidak berdosa atau seseorang yang berniat baik? Semua orang berdosa. Niat baik itu relatif. Aku tidak tahu. Di mana satu batas berakhir dan batas lain dimulai. Tidak ada yang murni.

Nicky F. Rompa, tokoh di buku ini, melarikan diri dari Indonesia, tanpa satu pun impiannya tentang Amerika. Ia tinggal dengan sepupunya, pacarnya, kemudian tinggal sendiri menjaga toko, lalu mendapatkan tantangan menjadi supir limosin, kemudian hidupnya terus bergulir..

Jika dilihat dari fragmen hidup Nicky, tak ada yang istimewa dengan yang dijalaninya. Namun hebatnya Maggie dengan buku ini, ia menceritakan hal-hal yang dialami Nicky dengan detail. Tempat-tempat, suasana yang dilalui, gelisahnya mengisap kokain, gerahnya mengenakan seragam supir, kendaraan-kendaraan yang dinaiki, seolah aku berada di sebelah Nicky untuk melihat apa yang ia lakukan, apa yang ia rasa, mendengarkan gelisahnya, ketakutannya, keriaannya, gairah dan debarannya.

Nicky yang mengawali kehidupan Amerika-nya dengan hura-hura ala anak muda, sebelum satu kejadian membuatnya harus bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Nicky yang terperangkap pada cinta yang tidak bisa ia miliki (tapi ia harus saksikan).Ia tidak memiliki impian apa pun ketika tiba di Amerika, sampai pada satu titik ia menulis. Di situlah ada orang yang membesarkan hatinya untuk terus menulis apa yang ada di pikirannya, dan berbesar hati akan tanggapan orang. Ia belajar berani untuk mengambil langkah yang ditempuhnya, apakah melanjutkan hidup yang biasa-biasa aja, atau mencoba mencari impian di negeri yang ia tak berhak juga berada di situ.

128. Penulis fiksi tidak bisa menyimpan rahasia. Untuk menyampaikan pesan kepada orang lain, seorang penulis harus bisa membuka dirinya - seluas dan sedalam mungkin - untuk dicela, dicemooh dan dilihat orang. Ini resiko profesi. Fiksi adalah bentuk tulisan paling jujur yang akan pernah kau temui. Imajinasi adalah manifestasi pikiran, iman, serta ketakutan. Tiga hal yang membentuk pribadi manusia. Tanpa imajinasi, kita - penulis - tidak punya apa-apa.

Hidup kita, hidup Nicky. Di sini, di sana. Sama saja. Cuma keberanian dan impian kita yang akan menentukan ke mana hidup akan berjalan. Sedikit keberuntungan, selain itu ada kerja keras.

"Now follow your gut and try to keep up with the game!"





View all my reviews

One Day

One DayOne Day by David Nicholls
My rating: 3 of 5 stars

Dexter Mayhew is a totally jerk.

Because he's a playboy. Because he's a drunker. Because he forget to responsible to every love he spread in the air. Because he's a loser. Dan dia dengan teganya membuat Emma Morley menunggu bertahun-tahun, mengharapkan cinta mereka kembali, bahkan membuat janji, “Kalau kamu belum menikah di umur 40 tahun, maka aku akan menikahimu.”

And what happen? Dexter menikah lebih dulu. Heh! Lelaki! * pengen banting bukunya *
Mentang-mentang beken, ganteng, presenter televisi, lalu memainkan perasaan perempuan dengan gaya lembut lelakinya. Berusaha menjadi pahlawan untuk perempuan yang sedang butuh menumpahkan rasa.

Emma jatuh cinta pada Dexter sejak pertama mereka berkencan. Menurutku, Dexter tahu itu. But he didn't love her back. And he played something you've called 'managing fans'. Dexter tetap berkencan dengan perempuan-perempuan lain, namun dia harus make sure bahwa Emma still around. Kalau dia sedang mabuk, sedang galau, dia tetap mencari Emma, berharap bahwa Emma yang akan dengar keluh kesahnya. Yeah, Dexter memanfaatkan cinta platonis Emma padanya sebagai tempat mencurahkan unek-unek. Nyebelin, kan? Ketika satu melakukan itu dengan tulus, sementara yang lain melakukannya dengan permainan. Play, come, and go. * unyel-unyel Dexter *

Dex : “The problem is, I pretty much fancy everyone. I've just got out of prison all the time.”
Em : “Whatever happen tomorrow, we've had today. And if we should bump into each other sometime in the future, we'll that's fine too, we'll be friends.”


15 Juli. 20 years. One day. One fancy, one platonic. Love, they said.

I think i'll gonna see the movie. Maybe it will give more romantic feeling than this book should be.





View all my reviews

To Kill A Mockingbird

To Kill A Mockingbird To Kill A Mockingbird by Harper Lee
My rating: 5 of 5 stars

Mungkin ini buku yang tahun ini menjadi buku-yang-tak-bisa-kuletakkan-hingga-usai. Tema, alur, dan penceritaannya yang luar biasa membuat aku selalu memegang buku ini di setiap kesempatan membacaku yang sempit ini. Dan akhirnya tamat dalam beberapa hari, diuntungkan dengan perjalanan yang cukup menyenangkan untuk membaca.

Buku seterkenal ini? Kenapa baru membacanya sekarang? Tidak ada alasan khusus, selain bahwa memang baru dapat waktu dan mood yang cocok. Dan dengan mood yang sebagus ini membuat buku ini sangat luar biasa.

"Keberanian adalah saat kau tahu kau akan kalah sebelum memulai, tetapi kau tetap memulai dan merampungkannya, apa pun yang terjadi."

Aku sangat suka Jean Louise Finch, pencerita dalam buku ini, yang berani, kritis, dan sangat lugas sifatnya sebagai seorang anak perempuan 8 tahun yang punya kakak laki-laki dan ayah pengacara Atticus Finch. Kepingin rasanya punya anak secerdas Jean Louise. Tapi, kalau mau punya anak seperti itu, kita harus sebijak Atticus Finch bukan?

Atticus mengajari anak-anaknya untuk menghargai perbedaan manusia sebagai hal yang tak perlu dibedakan. Ia juga mengajari rasa hormat, berani mengakui kesalahan, dan tanggung jawab atas apa yang dikerjakan. Ia menyuruh Jem meminta maaf pada Boo Radley, menjaga adiknya baik-baik, dan bersikap sewajarnya pada bibi mereka Alexandra, walau pun ia sendiri tak terlalu cocok juga.

Buku ini memberikan pelajaran atas banyak hal. Banyak sekali. Tentang kesabaran, tentang persahabatan, tentang dunia sederhana dalam satu kota, tentang cara menjaga sikap. Terjemahan yang indah dari mbak Femmy, membuat aku ingin membaca karyanya yang lain juga. :)



View all my reviews

Twivortiare

TwivortiareTwivortiare by Ika Natassa
My rating: 4 of 5 stars

if other person read this book in some short time, I'm not.

i read this with a very long time, maybe such a week, because i enjoyed every word on it, and never expecting how this story will end..

it costs a lot of tears on me, because realized how they live their life, it so romantic though, to understand each other, in the middle of their egoistic thing.

i just find this quote : Sometimes, people choose to leave not because of selfish reasons. But they just know that things will get worse if they stay.

they are selfish. so they have to live in such a bad relationship before they find another else again in love. i like the story. even it doesn't make me stronger at all, but it is encouraging to something i have to get it back again. it named happiness.

View all my reviews

The Celestine Prophecy

The Celestine Prophecy (Manuskrip Celestine)The Celestine Prophecy by James Redfield
My rating: 2 of 5 stars

i read a lot of coelho and gaarder, i enjoyed every word on it.
but i don't like this book. the idea is okey, but the prophecy is yeah.. well..
it can't made me imagine the beautiful Peru, which is a place i want to be there. it just an ordinary 'running adventure' novel. plus philosophy.

i think i'd better back to Mocondo.

View all my reviews

I've Got Your Number

I've Got Your NumberI've Got Your Number by Sophie Kinsella
My rating: 5 of 5 stars

Kalau kamu berpikir bahwa perempuan baik hati seperti Poppy Wyatt itu nggak ada, kamu salah banget. Nggak semua orang melakukan kebaikan itu karena ada alasannya. Ada orang-orang tertentu yang menolong orang tanpa ekspektasi apa-apa, cuma karena ia merasa perlu melakukannya. Mau repot-repot ngurusin sesuatu, yang ia sendiri tak ada kepentingan apa pun di dalamnya. Tidak tahu bahwa semua yang dilakukannya akan membuahkan apa. Melepaskan semua keegoisannya untuk ditukar dengan apa yang ia rasa itu bahagia.

Seperti Poppy ini. Kok ia mau ya, di tengah persiapan pernikahannya (yang seharusnya ribet) masih saja membantu Sam Roxton yang terjebak permainan politik kantor, hanya karena kebetulan ia membawa ponsel Sam yang ia temukan di tempat sampah. Ia membacai emailnya, meneruskan, menyortir, bahkan membalas (!) dan sok-sokan tahu dengan kehidupan Sam gara2 menganalisa email dan SMS yang diterima di ponsel itu.

Sementara apa yang ia terima? Apa Sam membantunya menyelesaikan masalahnya? (iya sih, sedikit, masalah cincin, dan scrabble tapi begitu deh..o_o) Mestinya sih nggak cukup untuk membalas sebesar yang sudah Poppy lakukan untuknya. Poppy itu sudah mirip seperti asisten-tak-berbayar Sam.

Ketika Sam berkata,”Kamu terlalu banyak melakukan untuk orang lain. Kamu nggak memikirkan kebahagiaanmu sendiri.”

sigh.
#kemudianhening.





Iya, terkadang kita (baca: perempuan) lebih merasa bahagia ketika melihat orang lain senang, sementara ketika hati susah sendiri justru kita menyembunyikan dan berusaha supaya orang lain nggak tahu. Wish to be mature. Karena terkadang membahagiakan orang lain itu bisa menjadi distraksi positif terhadap masalah-masalah yang sedang dialami.Walaupun hanya menjadi oase sejenak, tapi ketika ada tempat untuk melepaskan beban itu jadi sangat berarti. Sejenak pikiran ruwet jadi hilang. Sampai-sampai melihat kebetulan-kebetulan seperti sebuah destiny (eh? nggak juga sih..).

Kalau dibilang hidup ini penuh dengan kebetulan, ada benarnya juga. Kebetulan lagi sedih, kebetulan ada yang menemani. Banyak hal-hal itu benar-benar bisa diselesaikan dengan kebetulan yang terjadi. Jadi kalau dibilang penyelesaian untuk masalah itu mengandalkan keberuntungan, itu ada benarnya juga. Dan nggak ada yang pasti di dunia ini. Bisa saja sesudah kita melakukan segala sesuatu untuk orang lain itu, maka akan terjadi hal-hal yang menyenangkan kita, atau bisa juga terjadi hal-hal yang tidak kita harapkan.

Karena itu, kalau berbuat baik, mendingan yang tulus. Nggak usah mengharapkan apa-apa. Sehingga apa pun yang terjadi sesudahnya, hatimu akan tetap tenang, dan menjadi pemenang. Nothing to lose.
(lho kok malah curhat?)

Benar kok, kalau jalan yang terbaik akan ditunjukkan. Kebetulan-kebetulan baru akan muncul. Selalu ada orang-orang yang menghargai apa yang kamu lakukan. Dan senyummu akan mengembang lagi.
Kebetulan adalah istilah bagi rahasia hidup yang digerakkan semesta untuk sebuah alasan. Percayalah pada kebetulan, maka hidupmu akan lebih bahagia.


View all my reviews

33 Pesan Nabi Vol. 2: Jaga Hati, Buka Pikiran

33 Pesan Nabi Vol. 2: Jaga Hati, Buka Pikiran33 Pesan Nabi Vol. 2: Jaga Hati, Buka Pikiran by Vbi Djenggotten
My rating: 4 of 5 stars

Pernah pada suatu perjalanan pulang sembari melihat kota yang dipenuhi baliho wajah calon kepala daerah, aku bertanya pada seorang sahabat (yang kebetulan agak beken), “Kamu nggak pernah ditawari jadi caleg?”
Lalu jawabnya sambil tertawa,”Emang nggak ada pekerjaan lain yang lebih halal, In?”
Hahaha, rupanya jadi caleg sudah sedemikian parahnya sampai membuat orang malu untuk menjabatnya. Seandainya semua orang menyadari bahwa menjadi wakil rakyat adalah tanggung jawab, bukannya sesuatu hal yang diperebutkan (fasilitasnya), tentu orang berpikir tentang tanggung jawab yang akan ia terima bukan hanya di dunia, namun di akhirat kelak, kesanggupan menjalankannya dengan adil untuk kepentingan rakyat.

Salah satu cerita di buku ini adalah tentang Mas Tessy, induk semang kos Vbi yang ternyata di masa mudanya pernah menjadi caleg. Mas Tessy adalah seorang kaya dengan usaha berhasil kemudian atas kesadarannya sendiri (karena tak mau kalah dari teman) mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Tak dinyana, di partai dimintai sumbangan ini itu pembangunan ini itu dengan dalih supaya dirinya populer dan terpilih. Ternyata oh ternyata, mas Tessy nggak terpilih padahal sudah menghabiskan kekayaannya.

Yang mengharukan adalah istri mas Tessy yang ikhlas dengan semua itu dan mengembalikan semua ke jalan Allah.. so sweet.. Dituliskan dengan gaya komikal ala vbi, membuat kita menyadari untuk memperbesar ikhlas itu karena semua kepunyaan-Nya.

Ini karya vbi keempat yang aku baca, masih dengan tokoh mas-mas kriwil yang lucu, kini ia bercerita islami yang mendidik namun tidak terasa menggurui, lebih ke perenungan2nya sebagai seorang manusia.
Beberapa waktu yang lalu aku mendengar vbi, dan istrinya Mira sahabatku dan anak mereka Imandaru yang lucu memutuskan untuk pindah ke Malang dan memulai hidup baru di sana. Ternyata kenapa ia sampai pindah, ada di bagian akhir komik ini. Mengharukan sekali dan semoga mereka mendapat kebahagiaan lebih dengan jalan hidup mereka...

View all my reviews

Minggu, 29 Juli 2012

Partikel

 Supernova: PartikelSupernova: Partikel by Dee
My rating: 5 of 5 stars

Ada momen tatkala kita perlu menunjukkan dominasi. Ada momen tatkala kita harus diam membatu. Ada pula momen tatkala yang terbijak adalah lari. Dan dibutuhkan insting jitu untuk menentukan momen manakah yang tengah kita hadapi. (h.246)

Hidup itu pilihan, katanya. Dan memang ada satu titik di mana kita harus menentukan langkah apa yang harus diambil. Seperti ketika membaca buku ini. Setelah sekian lama kunanti, ketika akhirnya datang juga aku tidak buru-buru membacanya. Karena aku ingin mendapat saat yang tepat untuk meraih buku ini. Menunggu momen yang tepat. Tidak dalam antusias berlebihan, tidak sedang gembira, tidak sedang sedih, supaya membaca buku ini bisa mengembalikan emosi sempat hilang kemana. Kemudian tiba saat buku ini memanggil-manggil untuk dibaca.

“Hai, ada Zarah di sini.”
Aku jatuh cinta pada cewek unik ini. Ia tipe soliter kelas satu yang sanggup memutuskan segalanya sendiri, berani menjalani hidup yang ia pilih sendiri. Berani, itu kuncinya. Dan komitmen atas apa yang diyakininya benar. Dan intuisi yang bagus untuk bertahan hidup. Dan membuatku bertanya lagi, pergi itu untuk mencari atau berlari?

Akhirnya kumengerti betapa rumitnya konstruksi batin manusia. Betapa sukarnya manusia meninggalkan bias, menarik batas antara masa lalu dan sekarang. Aku kini percaya, manusia dirancang untuk terluka. (h.264)

Melihat kehidupan Zarah tepat di awal masa aku memutuskan untuk kembali ke alam untuk mengembalikan hidupku. Melongok kenekadannya ke alam terbuka, kegigihannya sebagai fotografer, memandang diriku sendiri yang di umur segini masih penakut. Kalimantan, London, Afrika, menjelajah, menunggu, menangkap momen-momen kehidupan makhluk-makhluk yang terjajah manusia. Menunggu dalam diam untuk pergerakan panjang. Ia pergi atas kebetulan-kebetulan yang terjadi, sesuatu yang memungkinkan perjalanannya. Yang ia pun tak tahu penyebabnya. Ketika orang melihat bahwa ia berlari, mungkin sebenarnya ia sedang mencari. Tapi, benarkah kebetulan itu ada? Atau ia cuma sesuatu yang diatur semesta?

Pengkhianatan ada dalam batin setiap manusia, hanya menunggu momen tepat untuk menyeruak, dirayakan, dan diamini sebagai titik lemah dari kemanusiaan. (h.370)

Kenapa cinta perlu ada? Untuk berhenti. Jeda. Merasa lengkap dan sempurna. Tetapi mencintai menjadi alasan untuk dikhianati. Selalu butuh alasan untuk kembali berlari. Tidak semua teman selalu setia menjadi teman. Tidak semua teman bersedia menjadi teman. Maka ketika ia tidak mendapat yang dicari, ia akan kembali berlari. Melakukan perjalanan lagi. Lalu apa sebenarnya arti perjalanan itu sendiri?

Menjadi kuat bukan berarti kamu tahu segalanya. Bukan berarti kamu tidak bisa hancur. Kekuatanmu ada pada kemampuanmu bangkit lagi setelah berkali-kali jatuh. Jangan pikirkan kamu akan sampai di mana dan kapan. Tidak ada yang tahu. Your strength is simply your will go on. (h.462)

Jangan pernah berhenti Zarah. Energi yang diberikan kepadamu sangat besar. Kekuatan pencarianmu itu yang membuat semesta membukakan jalannya. Selalu ada orang-orang yang menyayangi dan rela melakukan apa pun untukmu. Rasanya aku ingin memelukmu, sebesar aku ingin memeluk diriku sendiri. Meyakinkan kalau kamu istimewa. Kamu lebih dari orang-orang biasa dengan peristiwa biasa. You deserve better, though. Kamu harus tahu untuk apa kamu ada di semesta ini.

“Saya tidak lagi berlari. Cuma mencari.”(h.473)

Tahukah kamu, untuk apa kamu ada di dunia?

on my way to bandung | 21.07.12| 17:12


View all my reviews

Antologi Rasa

Antologi RasaAntologi Rasa by Ika Natassa
My rating: 4 of 5 stars

"Kalau ada apa-apa, ngomong ke gue ya, Key," kata gue malam itu. "Kalau lo pusing karena ada nasabah lo yang ngemplang dan perlu gue datangin untuk gue gebukin supaya bayar tunggakannya ke lo, gue juga mau." (h.328)

Menurut kamu bagaimana kalau ada seorang sahabat laki-laki mengatakan demikian? Apakah kamu merasa tersanjung dan berbunga-bunga? *oh, so sweet....* Atau merasa kata-kata itu gombal saja dan hanya salah satu upaya rayuan pria? *lebay deh lo....*

Sah-sah aja sih mengatakan demikian. Memang harus hati-hati menghadapi laki-laki macam Harris Risjad. Lelaki sejuta pesona ganteng keren yang (seharusnya) sanggup menundukkan hatimu. Bikin melongo sekaligus misuh-misuh tanpa ampun. Jatuh cinta setengah mati sama Keara, yang jelas-jelas menendangnya jauh-jauh.

Keara yang agak muna' karena ia nggak mau mengakui kalau ia naksir berat sama Ruly. Loh, memangnya kalau cinta harus bilang? Kalau enggak gimana? Ada sih yang bilang walaupun cewek, berani bilang aja kalau cinta, ngapain gengsi, muna' banget, sih. Weeww.. Asal tahu aja kalau minta duit ke ortu itu seribu kali lebih mudah daripada bilang cinta ke gebetan yang dikenal baik. Dipikir gampang apa menumbuhkan keberanian gitu? Kalau mengungkapkan itu semudah jatuh cintanya, pasti nggak bakal banyak film atau novel bertemakan cinta dan segala liku-likunya. Untuk itulah Tuhan menciptakan kesulitan dalam cinta. Haha!

Dan Ruly, protagonis yang digambarkan hampir mirip dengan Fahri AAC (pas miripnya karena sama-sama pengen gue lempar) baik hati, santun, taat, dan bodohnya nggak lihat kalau di depan matanya ada sahabat perempuan yang jatuh cinta sama dia. Noraknya karena suka sama ST 12 (apaaa coba maksudnya si cowok 'idaman' ini mesti suka ST 12? kenapa? kenapaa? HAH!!!)

Dan aku suka sekali buku ini. Kata-katanya lugas, lucu, tas tes, jleb, menohok, bikin jungkir balik, jujur, dan bikin mengkampret-kampretkan cinta. Cocok banget dijuduli Antologi Rasa. Dari rasa indah terbang ke bulan sampai rasa bego pengen ditabrak truk juga ada.

Ada diantara lo yang sekeren gue dan sudah pernah naik Formula Rossa? Ini roller coaster tercepat di dunia, hanya ada di amusement park untuk pencinta balapan yang ada di Ferrarri World di Abu Dhabi, akselerasi 0-240 km/jam dalam hanya 4,9 detik! Belokan paling tajamnya sampai 70 derajat dan G-Force-nya – tekanan kecepatan- sampai 1,7 Gs.
Kecepatan roller coaster itu sukses mengacak-acak detak jantung gue ketika gue ke sana tahun lalu. Sinting. Tapi mendengar cerita dari mulut si Ruly ini tentang dia dan Keara tadi malam efeknya kira-kira begini : gue naik roller coaster tujuh kali berturut-turut, pas turun gue udah ketawa-ketawa gila saking pusingnya, sempoyongan mau nyebrang jalan terus ditabrak truk dan mati terkapar. (h.323)


Yeaahh, kutipan dari Harris lagi. Apa perlu jatuh cinta sama lelaki semacam dia? Atau lebih baik kita mendendangkan lagu John Mayer ini sama-sama??

Friends, lovers, or nothing...
There'll never be an in-between...



View all my reviews

My Name is Red

Namaku Merah Kirmizi - My Name is RedNamaku Merah Kirmizi - My Name is Red by Orhan Pamuk
My rating: 5 of 5 stars

Ketika ditanya, kenapa sih baca Orhan Pamuk, aku hanya mengangkat bahu. Katanya bagus, sih. Dapat Nobel Sastra juga, wow! Pasti bagus, nih. (dan penulisnya ganteng ;))Jadi ketika menemukan beberapa buku Orhan Pamuk di Shopping Yogya, langsung kubeli saja. Benar saja, dari kalimat pertama sudah membiusku untuk tetap kekeuh membacanya.



Bahkan godaan dari Partikel-nya Dee yang sedang hip nggak membuatku berganti arah. Walau ada beberapa teman baca bareng seperti kak Leila S Chudori, juga Venkanteswari malah berhenti di tengah2 dan membaca Partikel (haha!). Sempat ngajak Lisa dan Desiree juga, namun sampai tamat dua bulan berikutnya, mereka belum juga dapat bukunya. Jadinya cuma Lita (yang ternyata baca dr tahun kemarin) yang tetap rajin membacanya.

Sebenarnya ini bisa saja menjadi sebuah cerita pembunuhan biasa jika dituangkan dalam bentuk novel seperti karya pop lainnya. Namun penceritaan dari berbagai sudut pandang pelakunya membebaskan kita untuk mengenali masing-masing karakternya lebih dalam, lebih detail, bahkan sampai titik kematiannya sekali pun. Kita bisa paham apa yang terjadi pada dirinya berdetik-detik sesudah satu hantaman terkena kepala sampai terpisah raga dari jasadnya. Pengkarakteran sendiri-sendiri ini membuat kita masuk seolah-olah ke dalam kepala masing-masing tokohnya, memaksa untuk memahami jiwa masing-masing. Seperti bermain drama dengan berbagai peran yang diciptakan oleh Pamuk.

Pamuk menyihir dengan lika liku tokohnya, membuat kita saling menebak saling menyalahkan siapa itu si pembunuh yang kerap bicara sendiri. Semua pikiran menjadi nyata yang menari-nari. Semua bisa memiliki alasan yang kuat untuk menghabisi. Semua dengan sejarah dunia ilustrasi yang melatari cerita menjadi kaya. Pertentangan antara cara pandang lukisan 'dari mata Tuhan' dan 'dari mata manusia'. Mengingatkanku kenapa Masjidil Haram selalu digambarkan dari 'atas'. Dibumbui dengan cinta terpendam 12 tahun yang masih mencari-cari. Tokoh perempuan plin-plan, dan tokoh perempuan banyak akal.

This is not a love story. This is no longer a history. This is about what happen in the place called world. The place that've been built by God, and people who discovered it.

: Sesungguhnya, nikmat Dia manakah yang kau dustakan?



View all my reviews

Memori

MemoriMemori by Windry Ramadhina
My rating: 4 of 5 stars

Harus kuakui, ekspektasiku cukup tinggi ketika tahu bahwa tokoh utamanya adalah seorang arsitek, profesi yang kugeluti selama 10 tahun ini. Dan pengen tahu aja, apakah Windry menggambarkan arsitek sebagai seseorang yang hidupnya menyenangkan, hanya menggambar-gambar, berkhayal, dapat duit, seperti yang sering dideskripsikan selintas lalu dalam novel-novel lain (atau sempat main piano sambil Arisan!), atau arsitek yang menderita bahagia sepertiku (haha.. pengakuan suffer in happiness) yang sering kepontang panting, sebel sama bos, kadang-kadang ditolak, kadang-kadang dibilang hebat, berkelung asa mewujudkan mimpi orang lain, tergila-gila pada Frank Gehry.. (kalau aku masih mimpi bekerja pada Ken Yeang di Malaysia).

Yeaa.. sebagai seorang arsitek betulan, Windry memilih yang kedua. Dikelotoknya bagaimana bekerja di sebuah biro arsitek itu, dari sejak mulai menarik garis, mengutak-atik AutoCAD (sekarang sih Sketch Up ya?) tertidur sambil menggambar, hidup antara kopi dan kebul semen, presentasi satu ke presentasi lainnya. Nggak ada tuh acara sering nongkrong-nongkrong di cafe (mana sempat??) apalagi nongkrong di club sambil gila-gilaan. Kalaupun ada sempat, tentu sambil ngobrol hal-hal menarik, bukan gosip mondar mandir kiri kanan selebriti haha hihi nggak jelas (sama ibu-ibu Arisan!).

Yang jelas jadi arsitek itu membahagiakan kok. Truly definitely. Namanya juga cita-cita. Dijalani dengan passion dan tanggung jawab.

(Hah? Siapa itu yang ngomong? Siapa itu yang suka galau sendiri kalau tengah malam masih di kantor berkutat dengan CADnya dan memaki-maki komputernya? Siapa itu yang teriak-teriak dengan jargon dewa 'Kerja adalah cinta yang mengejawantah'? Dan dijawabnya sendiri 'Makan itu cinta!!!')

:))))
Semangat, In!!

Di luar ke-arsitek-annya, konflik Mahoni dan keluarganya sangat menarik. Ia sangat tabah menghadapi apa yang menimpa dirinya. (ya, iyalaah.. kan arsitek! *plak* apa coba hubungannya?) Kehidupannya di Virginia yang mendadak harus ditukar dengan kehidupan di Indonesia dengan keluarga ayahnya yang nggak pernah dikenalnya. Dan menjalani hari-hari barunya di tengah kesibukannya sebagai arsitek. Wajar buat aku, karena aku pun pernah mengalami kerja gila-gilaan di tengah konflik luar biasa, dan terima kasih semesta, satu dengan yang lain ternyata saling mendistraksi dengan caranya sendiri. Dan sesudah itu lewat, cuma bisa bersyukur bahwa kita tidak menjadi gila karenanya. Setiap tempaan akan membuat kita lebih kuat. Life must go on..

Yang membuat aku tersenyum tertawa dalam buku ini adalah nama tokoh-tokohnya. Sebagai seseorang yang berguru pada padepokan gambar bangunan yang sama dengan Windry (gosh, apa kata pak GT kalau baca kalimatku di atas :)) Simon Marganda adalah teman satu studioku di tahun terakhir, dari survey site hingga nginep bareng, tentunya aku nggak akan lupa tawa dan candaan Simon yang baik hati in, hmm.. 10 tahun yang lalu?? Sudah lama juga ya. Masih inget tampang si Simon.
MOSS Studio, iya pernah dengar lah, isinya teman-teman sepadepokan yang kreatif berani bikin sendiri. Neri, is it the same girl i knew work in hadiprana, eh?

Ceritanya bisa ditandai sebagai penceritaan yang berhasil tentang profesi arsitek (Kelihatan menderita dan galaunya gitu, hahaa!!) Aku bahkan tak mengenal Windry di masa perkuliahan, cuma kebetulan kenal di goodreads, dan ternyata kami satu suhu. ;))

Dan kalau kata kak Ardianto Rusly : Menggambar adalah membangun dalam pikiran.. Pikirkan apa yang kamu gambar ini bisa dibangun. Selesaikan logisnya. (demi apa aku mengutip kata-kata beliau), maka cerita ini ibarat desain, Windry menyelesaikan buku ini dengan finishing yang rapi dan logis. Cinta pada yang dicinta, atau cinta pada mimpi-mimpinya? Hidup ini pilihan. Termasuk apakan kamu memutuskan untuk jadi arsitek atau tidak. Apapun yang kau lakukan, kerjakan dengan hati. Sehingga kamu bisa senantiasa bahagia.

\\(^_^)//
*back to my desktop and pray 'langit tak akan runtuh di atas kepala kita'*





View all my reviews

Para Pemuja Matahari

Para Pemuja MatahariPara Pemuja Matahari by Lutfi Retno Wahyudyanti
My rating: 4 of 5 stars

Naia mungkin refleksi mimpi-mimpi masa remajaku. Keberanian, kenekatan yang ia miliki, untuk menjelajahi alam ini dengan kedua kakinya, sendiri pula, membuatku teringat pada pahlawan petualangku masa itu, Roy Boy Harris, tokoh rekaan Gol A Gong dalam serial Balada Si Roy yang menemani masa remajaku. Beda Naia dengan Roy sangat jelas, Naia perempuan dan berasal dari keluarga berkecukupan, sehingga bisa liburan dengan uang saku yang cukup, sementara Roy seorang anak yatim di Banten, harus menulis untuk membiayai perjalanannya. Yang sama dari mereka adalah tekad untuk melihat dunia, melihat kehidupan tidak dari yang sehari-hari dijalani. Yang membuat bersyukur atas karunia yang diberikan di atas.

Menariknya mengikuti petualangan Naia karena ia berasal dari keluarga yang berkecukupan. Ingin tahu saja bagaimana sih anak yang seharusnya bisa manja ini survive di jalanan, di alam, di desa, di tempat-tempat yang tidak semua orang bisa menerima kebaikannya. Naia menjalaninya ketika berumur 19 tahun! Saat umurku segitu, aku juga sedang tergila-gila jalan-jalan dengan teman-temanku di pencinta alam. Namun, aku tidak punya keberanian sehebat Naia untuk pergi sendiri ke Kanekes, Baduy, salah satu tempat impianku saat itu, yang aku tahu tempat itu juga dari Balada Si Roy yang kubaca, juga karena disiplin ilmu yang kujalani membuat aku selalu tertarik pada permukiman tradisional, ruang hidup sederhana yang dibutuhkan oleh manusia.

Beberapa tempat yang dituju Naia memang merupakan tempat-tempat yang ingin kutuju sejak muda. Akhirnya tiga tahun lalu aku sampai juga ke Baduy (sudah bukan 19 tahun lagi, itu pun dengan tour, bukan backpacker ala Naia) aku sangat bersyukur karena selain permukiman tradisional memang peminatan khususku, kampung Baduy yang tenang, damai dan memberikan energi positif kembali ke kita. Rasanya kembali ke masa jalan kaki 5-6 jam di siang hari, dengan pemandangan indah, ngobrol dengan bapak-bapak Baduy yang membantu membawakan ransel, anak-anak gadis yang cantik-cantik berkulit kuning langsat. Aku cukup beruntung karena sewaktu aku ke sana ketika mereka sedang kerja bakti mengganti dinding rumah yang dari gedhek bambu, dan atap pelepah. Seandainya di Baduy dalam boleh memotret, pasti sudah kuabadikan proses kerja baktinya. Setiap rumah dikerjakan oleh 15-an lelaki, dengan rangka bambu, lantai juga dari papan dan bambu. Rumah-rumah ini pun tidak menggunakan paku, hanya berpegangan pada pasak dan ikat rami untuk penguat rangkanya. Teknologi tradisional yang mereka pahami turun temurun ini tentang mendirikan bangunan tidak pernah punah, senantiasa dilestarikan dengan transfer wawasan ketika kerja bakti ini. Ketika aku tiba di sana sekitar pukul 2 siang, ternyata hari itu mereka sudah mengganti dinding dan atap 15 rumah sejak pagi! Dan aku senang sekali karena Baduy itu cerita pertama Naia, karena ketika pergi ke Baduy 3 tahun yang lalu juga menjadi semacam come back ke dunia perjalanan setelah vakum beberapa tahun. Dan aku menjadi sangat bersyukur karena sampai sekarang masih punya energi untuk menikmati Indonesia yang indah ini.

jalan batu

Selain Baduy, tempat-tempat lain yang dikunjungi Naia juga bikin ngeces, membangkitkan jiwa jalan-jalanku ke mana pun (selain Gunung Salak, sih, karena gunung itu agak mistis juga). Segara Anakan, Karimun Jawa, Kawah Ijen, tempat-tempat yang bukan merupakan obyek wisata umum yang dikunjungi masyarakat. Tidak semua dijalani dengan mudah, beberapa kesulitan yang khas dan wajar terjadi di sini. Kehabisan bis, sakit, kehabisan uang, jauh dari ATM, dan lainnya. Nggak semua pendapatnya juga mudah diterima orang lain. Lihat Naia yang ditolak uang pemberiannya di Segara Anakan, ketemu Bowo yang sinis yang suka menyalahkan keadaannya sendiri.

“Kalau tiap hari cuma dapat sedikit, kenapa kau masih jadi nelayan? Kenapa enggak cari pekerjaan lain?” tanya Naia.
“Sejak kakek buyut, keluargaku nelayan. Selain itu, aku juga nggak punya keahlian lain. SMP aja aku nggak lulus.”
“Aku nggak ngelihat hubungan antara nggak punya keahlian dengan tidak lulus SMP. Kau kan bisa ambil les atau minta orang lain ngajarin keahlian yang pengen kamu punya. Pernah dengar nama Thomas Alva Edison nggak? Dia dulu SD aja nggak lulus. Tapi dia bisa nyiptain lampu yang sekarang dipakai di seluruh dunia. Kartini juga cuma lulusan SD. Tapi dia suka baca buku dan majalah.”
“Itu kan kata kamu yang orang kaya dan nggak tahu kerasnya hidup. Kau k alau pengen sesuatu tinggal minta ke orang tua. Beda dengan aku.”
Naia diam saja. Aku nggak ngerti. Kenapa orang selalu memakai make keadaan sebagai alasan kenapa dirinya nggak maju? Toh, banyak orang di dunia ini gagal sekolah tapi bisa jadi pengusaha sukses? Kenapa orang lebih memilih untuk menerima nasibnya begitu saja seagai hal yang tidak bisa diubah? Lalu menghabisi separuh hidupnya untuk menyesali hal-hal yang tidak bisa ia capai. Mulai dari nyalahin keluarganya lah, nyalahin pemerintah lah. Pokoknya nyalahin apa pun selain dirinya sendiri dan tetap nggak mau berubah! (h.134-135)


Begitu banyak hal yang ditemui dan berbeda dari sudut pandang kita memang bikin ngelus dada. Inilah perjalanan sesungguhnya, ketika kita melihat berbagai pandangan dari orang lain dengan latar yang berbeda-beda sehingga membentuk pendapat masing-masing atas sesuatu hal. Dan kita nggak bisa marah karenanya. Kalau kita nggak suka ya sudah, tetapi tetap saja kita berteman dengan yang berpendapat beda. Memaksakan pendapat nggak selalu lebih baik, namun bisa memberikan benih permusuhan. Ini baru dari pemuda desa. Bagaimana kalau ketemu aparat pemerintahan ya?

Aku mengenal Lutfi ketika berkunjung ke Jogja bersama teman-teman Goodreads. Ternyata, ia juga rajin berjalan-jalan mengelilingi Indonesia (ngintip blognya). Pantas kalau sebagian petualangannya diceritakan di sini. Setelah lama tidak membaca karya fiksi genre perjalanan karya penulis Indonesia, tulisan Lutfi ini memberikan semacam oase menarik. Seandainya banyak remaja yang membaca buku ini, pasti banyak juga anak-anak yang bernekat-nekat keliling Indonesia dan bersyukur bahwa dirinya beruntung. Memang sih, cara yang dipakai Naia ini agak salah (itu makanya dulu aku bilang nggak bisa senekat Naia), tapi rasanya masih ada cara yang lebih diijinkan orang tua.

Satu kata saja : Keren!

Karimun Jawa, Bromo, Kawah Ijen, Meru Betiri.. here I come...

View all my reviews

Minggu, 06 Mei 2012

Now and Then

Now and Then Now and Then by Ann Arnellis
My rating: 3 of 5 stars

Semarang. Kota masa kecilku menghabiskan taman kanak-kanak dan separuh masa SD. Kenangan tersisa ketika adik perempuanku masih ada, kami berlarian di Simpang Lima, menunggu ayah pulang di taman KB, menemani ibu belanja di pasar Bulu, jalan-jalan di Gedung Batu ( klenteng Sam Po Kong) memandang Tugu Muda dari motor bebek, berempat menyusuri kota sampai Gombel. Ah, masa-masa yang tak pernah kembali. Miss you, sis.

Judul bukunya menimbulkan pertanyaan, now and then, sekarang dan kemudian? Kemudian apa? Nggak ada yang pasti untuk cinta, seperti juga hal-hal lainnya. Namun, kata orang, cinta dapat menghilangkan rasa takut terhadap apa pun. ( h.68).

Banyak yang bilang ceritanya biasa, tentang cinta antara dua etnis yang berbeda. Memang cinta itu datangnya biasa aja bukan? Tidak harus seperti kisah ekstraordinari seperti Ferre dan Diva. Kecuali untuk seorang petualang yang mencari cintanya yang teristimewa. Cinta yang terbangun antara Lian dan Pras terjadi begitu lambat, sesuatu yang dibangun dari kedekatan, pertemuan tiba-tiba, dan waktu-waktu tambahan yang menjadi teratur. Namun memang harus ada kebetulan dalam pertemuan, untuk membuatnya istimewa. Jika tidak, akan terasa hambar belaka.

Cerita ini cantik seperti covernya. Membacanya di saat pikiran ingin rehat cukup menyenangkan. Tidak terlalu menye-menye dengan kata-kata berbunga-bunga, juga tidak berat dengan bahasa sastra. Kunci menikmatinya adalah baca dengan pikiran kosong, tanpa dibebani dengan pengalaman membaca yang sudah bejibun. Sangat jamak terjadi untuk orang yang banyak baca sastra akan menilai novel ini ringan. Tetapi kalau kita adil terhadap buku, membaca tanpa membanding-bandingkan, maka akan menikmati cerita. Waktu untuk membaca sangat berharga untukku, sehingga amat sayang apabila habis untuk mencari kesalahan tulisan (yang untung jarang ditemukan).

Poin lebihnya untukku adalah kota Semarang yang digambarkan cukup lengkap, melengkapi yang tergambar dalam ingatan. Walau tidak ada momen romantis di anjungan pandang di Gombel untuk melihat lampu kota, namun Pasar bulu, Tugu Muda, Lawang Sewu, Gombel, bahkan Ponder Stasiun Tawang dilukiskan kegiatannya dengan rapi.

Tidak masalah ceritanya berakhir bahagia atau tidak, yang penting tahu di mana menghentikannya, memberi penekanan, "hmm, it gonna be....."

View all my reviews

Sabtu, 14 April 2012

Perjalanan ke Atap Dunia

Perjalanan ke Atap DuniaPerjalanan ke Atap Dunia by Daniel Mahendra
My rating: 5 of 5 stars

Perjalanan adalah Keberanian Bermimpi


"Kang, kita mau jalan-jalan ke Curug Malela tanggal 23 April, ikutan yuk!"
"Wah... Kok tanggal segitu. Tanggal segitu aku masih di Tibet/Nepal. "
"Sampai Nepal? Sekarang masih di Bangkok? Napak tilas jejak si Roy?? *iri* "
"Belum. Sekarang udah di Chengdu (China).
Nanti malam baru mau naik kereta ke Lhasa (Tibet)."
"Wah, jalan-jalan melulu nih... Seru banget...
Nanti dinapaktilasin ah perjalanannya.. "

Waw! Tibet? Nepal? Yang di kaki Everest?

***
Itu percakapan terakhirku dengan Daniel, ketika ia dalam perjalanan. Beberapa bulan kemudian aku tak mendengar kabarnya lagi. Di mana berada dan kapan ia pulang, aku tak tahu. Hanya status twitter-nya yang terbaca Om Mani Padme Hum tak berubah dari waktu ke waktu.

Sampai pada suatu hari tak sengaja aku membuka situs blog miliknya, yang menampilkan Journey to the Rooftop of the World, berupa catatan-catatan perjalanannya ke Tibet, yang sudah sampai episode belasan kalau nggak salah. Deuh, kemana aja aku? Kok nggak baca dari awal?

Lalu kujejaki tulisannya dari awal. Sejak ia menceritakan mimpinya untuk mengunjungi Tibet. Sebuah catatan perjalanan yang dilakukan sendiri, tentang perjalanan mengenali diri sendiri. Menggapai mimpi masa kecilnya, yang memanggil-manggil. Yang ia coba abaikan sebagai salah satu pemaafan akan impian yang dikiranya tak akan terwujud. Namun ternyata semesta mengamini. Mimpi itu dipanggil dari angannya. Perjalanan menggapai mimpi yang kemudian dirawi menjadi sebuah catatan panjang yang ada di tanganku untuk dibaca.

***
Pada suatu hari, muncul pertanyaan seperti ini :
Kamu tahu bedanya mimpi dan khayalan?
Mimpi didapat saat tidur, dan khayalan dipikirkan saat bangun, pikirku. Ketika kita bermimpi, kita tidak sadar apa yang kita mimpikan, ketika berkhayal kita tahu apa yang kita inginkan, kita khayalkan, walau kadang tak tahu bagaimana cara memenuhi khayalan itu.

Lalu perjalanan macam apa yang dilakukan petualang ini? Ketika ia membaca Tintin in Tibet, ia berkhayal untuk dapat mengunjungi tempat itu. Kuil, salju, dan petualangan menyusuri pegunungan di dataran tertinggi dunia, menghantui pikirannya. Dijadikannya khayalan itu sebagai bagian dari mimpinya, yang terkadang muncul lewat alam bawah sadarnya. Sampai lewat masa remajanya yang dihabiskan di antara gunung dan api unggun, mungkin harapan itu masih tertanam baik-baik dalam kepalanya.

Kamu tahu? Mimpi adalah harapan yang tertunda. Akan terus bersemayam dalam kepala, andaikata kau tidak berani melangkah mewujudkannya. Siapa sangka, membutuhkan waktu dua puluh lima tahun untuk memantapkan sebuah khayalan yang berubah menjadi mimpi, ketika sebuah tangan yang tiba-tiba menarik mimpi ke masa kecil, untuk kemudian dilontarkan sampai tujuan. Dan ia bangun untuk menyongsongnya.

When you want something all the universe conspires in helping you to achieve it. (The Alchemist-Paulo Coelho)

Dan bergulirlah perjalanan petualang ini menuju negeri impiannya. Dengan berbagai kebetulan-kebetulan keberuntungan yang menaunginya, sahabat-sahabat yang diandalkan, ia melangkahkan kaki ke negeri awan itu. Si petualang ini bercerita pengalamannya menginap di bandara, lalu naik kereta dari Chengdu ke Lhasa, bercerita apa yang ditangkap mata, apa yang dibaui hidungnya, siapa yang ditemui, bahasa yang tak ia pahami, bahkan teman merokok dengan bahasa yang berbeda. Ya, karena kereta adalah kendaraan favoritnya, maka tak salah jika ia mengupas banyak hal dalam perjalanan kereta selama dua hari dua malam itu. Ke dataran tinggi naik kereta, kenapa tidak?

Di Tintin in Tibet diceritakan tentang Tintin yang mencari sahabatnya Chang, yang hilang di pegunungan kawasan Tibet. Dalam perjalanan ini, apa yang dicari oleh petualang ini ?

Mungkin seandainya ia memang tidak mencari sesuatu, namun banyak yang ia temui. Ia banyak bertemu dengan teman-teman baru dari berbagai negara. Teman-teman yang (irinya) sudah mengunjungi negeri kita yang indah. Teman-teman dengan berbagai tindak tanduk, dari sesama backpacker seperti dirinya, sampai yang selalu bertambah volume bawaannya. Kata orang sih, teman yang terdekat adalah teman yang ada di saat kita sama-sama susah. Mungkin karena dinikmati dengan gembira, perjalanan ini tidak dirasa susah. Jadi tetap dekatkah pertemanan yang tercipta dalam perjalanan ini?

Kamu ajak kami mengelilingi negeri impianmu itu. Kuil-kuil indah dengan para biksu yang beribadah di dalamnya. Sebuah kegiatan keagaamaan yang dikomersilkan sebagai situs wisata. Hatimu terusik. Kamu putuskan menjelajah kota sendiri. Dan di situ kau lihat kehidupan sehari-hari. Menyeberang jalan dalam pengawasan tentara. Sholat di masjid yang kamu yakini tertinggi di dunia. Bercakap dengan orang sekitar.

Aku ngeloyor pergi melihat-lihat jalanan, kota, kampung, masyarakat setempat, atau pedagang di sepanjang jalan. Bagiku melebur langsung pada kehidupan setempat jauh lebih mengasyikkan dan lebih memberikan arti. Karena bersentuhan langsung dengan nadi kehidupan sebuah tempat justru memberikan gambaran tentang wajah tempat itu sendiri. (Monastery, h.163)

Perjalanan, selalu memberikan kebahagiaan untuk yang menikmatinya. Sehingga deru angin, jalan buruk, terpaan hujan, hanya dirasakan sebagai pengalaman. Karena memang tergantung apa yang mau diraih, apakah proses perjalanannya, atau tujuan perjalanannya. Apabila yang penting adalah tujuannya, maka segala cara tercepat, terefektif, harus dilakukan. Apa pun untuk mencapai tujuannya itu. Apabila yang penting prosesnya, maka dicari jalan supaya dalam proses perjalanannya yang lebih panjang itu bisa bermakna. Proses ini tidak selalu mudah, namun terkadang juga kesulitan bisa lewat tanpa berarti. Apalagi perjalanan yang diawali dari mimpi. Dari sesuatu yang hanya dari angan-angan belaka, dan diwujudkan. Bukan hanya tujuannya, namun prosesnya pun juga harus bisa dinikmati.

Mimpi itu masih panjang rupanya. Mungkin masih ada mimpi-mimpinya yang belum terwujud. Masih ada cahaya matahari, desau angin, dan mungkin gadis manis yang menunggu. Juga orang-orang yang menanti kisahmu. Cerita-ceritamu membangkitkan mimpi-mimpi lama yang sempat mengeram di kepalaku. Perlahan aku mulai menata apa yang sebenarnya aku inginkan, dan apa yang bisa aku lepaskan. Mimpi itu kini seperti menanti-nanti untuk terwujud. Mimpi untuk melakukan hal-hal yang selama ini cuma ada dalam pikiran.

Namun satu hal pasti yang dapat kutarik kesimpulan dari semua ini, paling tidak untuk diriku sendiri, adalah: beranilah bermimpi! Beranilah memiliki keinginan! Walau pikiran sadar kita menafikan kemungkinan-kemungkinan itu, tetap beranilah menetapkan tujuan. Karena nyatanya, ketika kita berani memutuskan untuk menggapai mimpi kita, alam bawah sadar kita justru bekerja membantu kemungkinan-kemungkinan mimpi tersebut menjadi kenyataan. Dengan dan lewat cara yang tak pernah kita duga sebelumnya. (Pulang, h.341)

Petualang, apa yang membuatmu pergi? Apa benar kamu hanya mengejar mimpi? Mungkinkah kau pergi hanya untuk merasakan bagaimana rindu pulang?

Bandung, 14 April 2012. 23:32
Indri Juwono.
Pembaca buku. Pengamat jalan. Arsitek.


View all my reviews