ulasan. resensi. kesan.

ulasan. resensi. kesan. ini bukuku, apa bukumu?

Sabtu, 28 Januari 2012

Pengakuan Pariyem: Dunia Batin Seorang Wanita Jawa

Pengakuan Pariyem: Dunia Batin Seorang Wanita JawaPengakuan Pariyem: Dunia Batin Seorang Wanita Jawa by Linus Suryadi
My rating: 4 of 5 stars

#2011-42

Perempuan jawa itu, nduk..
Lihat sampul depannya. Seorang perempuan Jawa masa lalu dengan tubuh molek dan sintal, memakai kemben dan kain jarik, bersimpuh seperti layaknya abdi emban. Tolok ukur kecantikan beberapa dekade silam.
Pariyem, babu pada keluarga bangsawan Jawa, yang ikhlas sebagai abdi dalem, menyuarakan ceritanya seperti dongeng pengantar tidur. Cerita dari dirinya sendiri, sampai cerita tentang kehidupan di luar sana.

”Berapa lama beban saya tanggung
yang membelit pundak dan punggung
Ibarat benang bundhet
walau sukar bisa diurai
Ibarat senar ruwet
walau susah bisa diudhari
Tapi bathin dan perasaan manusia
tak ada dukun kampiun
sanggup menyidikara”
(h.90)

Pariyem bahagia dengan hidupnya sebagai babu. Ia pasrah akan dunianya. Tak ada teriakan, tak ada tuntutan. Dunia dihadapannya adalah takdir yang harus dilalui. Yang dijalaninya dengan perasaan legowo kalau ada rintangan, syukur kalau ada anugerah.

”Nonton wayang itu jangan dipikir
tapi mesti dirasa dan diresapkan
Kita bagaikan air sungai – mengalir-
hanyut ke dalam lakon dan karawitan
yang dipergelarkan oleh ki dalang
Ramai bukan karena gamelan
Sunyi bukan karena kuburan
Tapi yang ramai seramai gamelan
yang sunyi sesunyi kuburan
Itulah rahasia di dalam batin
sebagai pusat getaran.”
(h.115)

Pariyem mungkin tidak tahu, bahwa hidup tidak sesederhana itu. Atau ia tahu, namun tidak ambil pusing karenanya. Seperti seorang perempuan Jawa yang harus selalu manut apa kata lelaki. Tak boleh mengeluh, tak boleh berkesah. Mungkin hanya bisa berbagi, namun selebihnya harus disimpan dalam hati.

”Sungguhpun hanya begini saja
Batin saya sudah merasa bahagia
Lha apa ta tujuan orang hidup itu
kalau bukan mencapai kebahagiaan?
Lha saya sudah mendapatkannya, kok
tak perlu saya berpaling pandang
Dalam menggelinding dan terbanting
di pusat roda yang digelandang
Oleh Sang Waktu – Bethara Kala
tiap saat dan tiap harinya
Tiap pekan dan tiap bulannya
tiap musim dan tiap tahunnya
Dan tahun demi tahun terus berjalan
tak kenal ampun, tak kenal sayang
para pembangkang pun akan termakan
Dan tahun demi tahun terus berjalan
Menggelindingkan dan menggelandang
--- setiap insan
tanpa terkecuali saya --- “
h.238

***
kado ultah yang ke 31 tahun lalu.

View all my reviews

Tidak ada komentar: