The Various Flavours Of Coffee - Rasa Cinta dalam Kopi by Anthony Capella
My rating: 4 of 5 stars
Aku bukan penggemar kopi. Bukan karena tidak suka, tapi lebih ke masalah kesehatan. Minum kopi bisa membuat perutku mual dan berkeringat dingin. Mungkin karena kandungan kafein di dalamnya yang memacu detak jantung lebih cepat dan juga memacu asam lambung untuk berproduksi sehingga hanya kembung yang kurasakan ketika memaksakan diri menenggak segelas kopi yang berbau harum untuk memaksa mata tetap melotot ketika lelah.
Sialnya, aku mencintai aroma kopi.
Lalu kusadari, masalahku dengan kopi ini hanya terjadi ketika minum kopi instan dalam sachet. Semua kopi sachet yang kuminum, sampai yang namanya terkenal secara internasional pun berefek sama pada perutku. Sampai aku menemukan satu merk yang dihidangkan padaku ketika aku meeting di pabrik pembuatnya. Yang juga memproduksi permen kopi terkenal. Harumnya membuatku mencicipnya sedikit ketika masih panas dan berbuih. Eih, satu jam, dua jam, sampai pulang, tak bermasalah dengan perutku. Akhirnya sesekali aku mencobanya, hanya dengan merk dan jenis itu.
Namun memang kopi itu harus diminum dalam kondisi tertentu. Kadang aku nyaman meminumnya, kadang juga tidak. Mungkin ada satu kondisi lelah yang tak tertanggungkan oleh kopi.
Awal tahun ini aku terbang ke Belitong. Di sana terkenal dengan kedai kopinya sebagai tempat bermasyarakat, bersosialisasi antar penduduknya. Aku mencoba minum kopi di saat sarapan di satu kedainya. Aromanya yang harum, dari bubuk kopi lokal yang dimasak terus menerus di tungku batu, menguarkan bau yang menggoda untuk dicicip. Dan ternyata, tidak bermasalah dengan perutku.
Aku jarang minum kopi kecuali butuh. Dan terkadang aku lebih memilih minuman lainnya untuk menjaga mata dari kantuk. Namun kopi-kopi lokal ini, yang dimasak dengan air mendidih, bukan dengan air dispenser, memang memberikan sensasi menggoda. Sehingga aku pun jadi rajin mencobai kopi-kopi lokal di tempat-tempat yang kudatangi.
Membaca buku ini membuatku merindukan lagi harumnya kopi. Bagaimana ia berada di gudang dan meraup segenggam biji kopi untuk dibaui, membuatku kembali ke gudang harum di belakang toko Kopi Aroma Bandung. Cara menikmati kopi dengan mencium dan menyesapnya sebagai teman diskusi membuatku percaya bahwa peminum kopi adalah pemikir. Bertualang mencari bibit kopi terbaik hingga Afrika dan Brasil, hingga sejarah moka yang berasal dari kota Mecca. Dalam beberapa cerita lain yang pernah kubaca juga dikisahkan bahwa kopi dibawa ke Indonesia oleh pedagang dari Arab.
Kopi yang tersaji dari rumah hingga gelas di warung atau di kafe mahal di sebuah pusat perbelanjaan memberikan gengsi pada lokasi meminumnya.
Tapi untukku tempat minum kopi hanya satu : di material berbahan gelas. Aku nggak suka kopi di cangkir kertas.
View all my reviews
1 komentar:
Wow..cerita kopi dan filosofinya. Nice...
Posting Komentar