ulasan. resensi. kesan.

ulasan. resensi. kesan. ini bukuku, apa bukumu?

Minggu, 29 Juli 2012

Para Pemuja Matahari

Para Pemuja MatahariPara Pemuja Matahari by Lutfi Retno Wahyudyanti
My rating: 4 of 5 stars

Naia mungkin refleksi mimpi-mimpi masa remajaku. Keberanian, kenekatan yang ia miliki, untuk menjelajahi alam ini dengan kedua kakinya, sendiri pula, membuatku teringat pada pahlawan petualangku masa itu, Roy Boy Harris, tokoh rekaan Gol A Gong dalam serial Balada Si Roy yang menemani masa remajaku. Beda Naia dengan Roy sangat jelas, Naia perempuan dan berasal dari keluarga berkecukupan, sehingga bisa liburan dengan uang saku yang cukup, sementara Roy seorang anak yatim di Banten, harus menulis untuk membiayai perjalanannya. Yang sama dari mereka adalah tekad untuk melihat dunia, melihat kehidupan tidak dari yang sehari-hari dijalani. Yang membuat bersyukur atas karunia yang diberikan di atas.

Menariknya mengikuti petualangan Naia karena ia berasal dari keluarga yang berkecukupan. Ingin tahu saja bagaimana sih anak yang seharusnya bisa manja ini survive di jalanan, di alam, di desa, di tempat-tempat yang tidak semua orang bisa menerima kebaikannya. Naia menjalaninya ketika berumur 19 tahun! Saat umurku segitu, aku juga sedang tergila-gila jalan-jalan dengan teman-temanku di pencinta alam. Namun, aku tidak punya keberanian sehebat Naia untuk pergi sendiri ke Kanekes, Baduy, salah satu tempat impianku saat itu, yang aku tahu tempat itu juga dari Balada Si Roy yang kubaca, juga karena disiplin ilmu yang kujalani membuat aku selalu tertarik pada permukiman tradisional, ruang hidup sederhana yang dibutuhkan oleh manusia.

Beberapa tempat yang dituju Naia memang merupakan tempat-tempat yang ingin kutuju sejak muda. Akhirnya tiga tahun lalu aku sampai juga ke Baduy (sudah bukan 19 tahun lagi, itu pun dengan tour, bukan backpacker ala Naia) aku sangat bersyukur karena selain permukiman tradisional memang peminatan khususku, kampung Baduy yang tenang, damai dan memberikan energi positif kembali ke kita. Rasanya kembali ke masa jalan kaki 5-6 jam di siang hari, dengan pemandangan indah, ngobrol dengan bapak-bapak Baduy yang membantu membawakan ransel, anak-anak gadis yang cantik-cantik berkulit kuning langsat. Aku cukup beruntung karena sewaktu aku ke sana ketika mereka sedang kerja bakti mengganti dinding rumah yang dari gedhek bambu, dan atap pelepah. Seandainya di Baduy dalam boleh memotret, pasti sudah kuabadikan proses kerja baktinya. Setiap rumah dikerjakan oleh 15-an lelaki, dengan rangka bambu, lantai juga dari papan dan bambu. Rumah-rumah ini pun tidak menggunakan paku, hanya berpegangan pada pasak dan ikat rami untuk penguat rangkanya. Teknologi tradisional yang mereka pahami turun temurun ini tentang mendirikan bangunan tidak pernah punah, senantiasa dilestarikan dengan transfer wawasan ketika kerja bakti ini. Ketika aku tiba di sana sekitar pukul 2 siang, ternyata hari itu mereka sudah mengganti dinding dan atap 15 rumah sejak pagi! Dan aku senang sekali karena Baduy itu cerita pertama Naia, karena ketika pergi ke Baduy 3 tahun yang lalu juga menjadi semacam come back ke dunia perjalanan setelah vakum beberapa tahun. Dan aku menjadi sangat bersyukur karena sampai sekarang masih punya energi untuk menikmati Indonesia yang indah ini.

jalan batu

Selain Baduy, tempat-tempat lain yang dikunjungi Naia juga bikin ngeces, membangkitkan jiwa jalan-jalanku ke mana pun (selain Gunung Salak, sih, karena gunung itu agak mistis juga). Segara Anakan, Karimun Jawa, Kawah Ijen, tempat-tempat yang bukan merupakan obyek wisata umum yang dikunjungi masyarakat. Tidak semua dijalani dengan mudah, beberapa kesulitan yang khas dan wajar terjadi di sini. Kehabisan bis, sakit, kehabisan uang, jauh dari ATM, dan lainnya. Nggak semua pendapatnya juga mudah diterima orang lain. Lihat Naia yang ditolak uang pemberiannya di Segara Anakan, ketemu Bowo yang sinis yang suka menyalahkan keadaannya sendiri.

“Kalau tiap hari cuma dapat sedikit, kenapa kau masih jadi nelayan? Kenapa enggak cari pekerjaan lain?” tanya Naia.
“Sejak kakek buyut, keluargaku nelayan. Selain itu, aku juga nggak punya keahlian lain. SMP aja aku nggak lulus.”
“Aku nggak ngelihat hubungan antara nggak punya keahlian dengan tidak lulus SMP. Kau kan bisa ambil les atau minta orang lain ngajarin keahlian yang pengen kamu punya. Pernah dengar nama Thomas Alva Edison nggak? Dia dulu SD aja nggak lulus. Tapi dia bisa nyiptain lampu yang sekarang dipakai di seluruh dunia. Kartini juga cuma lulusan SD. Tapi dia suka baca buku dan majalah.”
“Itu kan kata kamu yang orang kaya dan nggak tahu kerasnya hidup. Kau k alau pengen sesuatu tinggal minta ke orang tua. Beda dengan aku.”
Naia diam saja. Aku nggak ngerti. Kenapa orang selalu memakai make keadaan sebagai alasan kenapa dirinya nggak maju? Toh, banyak orang di dunia ini gagal sekolah tapi bisa jadi pengusaha sukses? Kenapa orang lebih memilih untuk menerima nasibnya begitu saja seagai hal yang tidak bisa diubah? Lalu menghabisi separuh hidupnya untuk menyesali hal-hal yang tidak bisa ia capai. Mulai dari nyalahin keluarganya lah, nyalahin pemerintah lah. Pokoknya nyalahin apa pun selain dirinya sendiri dan tetap nggak mau berubah! (h.134-135)


Begitu banyak hal yang ditemui dan berbeda dari sudut pandang kita memang bikin ngelus dada. Inilah perjalanan sesungguhnya, ketika kita melihat berbagai pandangan dari orang lain dengan latar yang berbeda-beda sehingga membentuk pendapat masing-masing atas sesuatu hal. Dan kita nggak bisa marah karenanya. Kalau kita nggak suka ya sudah, tetapi tetap saja kita berteman dengan yang berpendapat beda. Memaksakan pendapat nggak selalu lebih baik, namun bisa memberikan benih permusuhan. Ini baru dari pemuda desa. Bagaimana kalau ketemu aparat pemerintahan ya?

Aku mengenal Lutfi ketika berkunjung ke Jogja bersama teman-teman Goodreads. Ternyata, ia juga rajin berjalan-jalan mengelilingi Indonesia (ngintip blognya). Pantas kalau sebagian petualangannya diceritakan di sini. Setelah lama tidak membaca karya fiksi genre perjalanan karya penulis Indonesia, tulisan Lutfi ini memberikan semacam oase menarik. Seandainya banyak remaja yang membaca buku ini, pasti banyak juga anak-anak yang bernekat-nekat keliling Indonesia dan bersyukur bahwa dirinya beruntung. Memang sih, cara yang dipakai Naia ini agak salah (itu makanya dulu aku bilang nggak bisa senekat Naia), tapi rasanya masih ada cara yang lebih diijinkan orang tua.

Satu kata saja : Keren!

Karimun Jawa, Bromo, Kawah Ijen, Meru Betiri.. here I come...

View all my reviews

Tidak ada komentar: