Pengakuan: Eks Parasit Lajang by Ayu Utami
My rating: 4 of 5 stars
Setiap kali mengobrol dengan sekumpulan ibu-ibu di suatu acara keluarga, selalu muncul obrolan soal jodoh seseorang, pernikahan, anak, dan hal-hal lain sejenis. Seolah-olah pencapaian perempuan paling berhasil adalah menikah, dan punya anak lelaki dan perempuan. (Coba kalau anaknya perempuan semua, pasti masih ditanyain,”Nggak mau nambah jagoannya, nih?” Walaupun anaknya sudah tiga perempuan.) Pertanyaan kapan menikah, kapan punya anak, kapan nambah, cuma berakhir ketika kamu punya anak lelaki dan perempuan.
Lama-lama hal ini menjadi salah satu pertanyaan yang menjadi budaya perkenalan. Bukan hanya di kalangan keluarga, dari seseorang yang kamu baru kenal di bis antarkota pun muncul pertanyaan itu sesudah rentetan pertanyaan dan dijawab sudah punya anak satu. “Nggak nambah?” Ya ampun! Ini mau tahu aja atau mau tahu banget sih? Who are you anyway? Dan aku pun langsung ilfil malas melanjutkan percakapan.
Aku berterima kasih sekali pada Ibu Kartini yang terkenal sehingga membuat perempuan bisa melek ilmu pengetahuan, mendapatkan pengajaran yang sama dengan lelaki, sehingga bisa tetap menghidupi dirinya sendiri, walaupun lajang. Iya, menjadi lajang tidak ada salahnya kok. Selama punya achievement atau interest yang membuat ia menjadi dirinya sendiri, tidak ada yang salah dengan melajang. Prestasi seorang perempuan yang melajang sama hebatnya dengan ia yang memutuskan berumah tangga dan mengurus anak-anaknya.
Kalau dilihat dari cerita di buku ini, Ayu Utami tidak benar-benar 'lajang', ah. Ia hanya tidak menikah, namun memiliki kekasih yang siap menemaninya berbagi banyak hal seperti seseorang yang menikah juga. Bedanya hanya tidak tinggal bersama, sehingga tidak ada masalah-masalah bersama yang timbul seperti kalau orang hidup bersama baik sebagai suami istri maupun bukan suami istri.
Membaca kehidupan seksnya yang dahsyat itu, rasanya tidak benar kalau ia menyebut dirinya lajang. Ia hanya tidak menikah sah saja. Namun kalau membaca bahwa ia bebas menentukan keputusannya sendiri, tidak diatur-atur kekasihnya, benar juga. Ia lajang. Ia menjadikan dirinya sebagai subyek, bukan hanya sebagai objek pasangan laki-laki yang menjadi kekasihnya.
Melihat Ayu yang menentukan dengan siapa ia ingin bercinta ketika berusia 20-an, aku masih menganggap ini bukan anjuran untuk berhubungan seks pada usia dini, tapi melihat bahwa ini salah satu yang disimbolkan bahwa perempuan bisa memilih apa yang ia inginkan, bukan karena desakan keluarga atau dorongan hasrat atau karena kondisi teman-teman yang punya pasangan. Pilihan perempuan untuk menjadi perawan hingga ia menikah, ataupun menjadi tidak perawan. Pilihan itu harus bertanggung jawab, kan?
(walau demikian, aku akan mengijinkan anak perempuanku memilih apa saja asal bertanggung jawab ketika ia dewasa nanti, tapi soal keperawanan ini, aku menganjurkan sesuai ajaran agama saja)
Ada kalanya orang memutuskan untuk melajang karena banyak hal, misalnya : laki-laki memang menyebalkan, malas diatur-atur, ingin keliling dunia, tidak ingin punya anak, ingin bebas, tidak ingin menyandang nama suami, dan hal lain. Ini tentu di luar pilihan bahwa memang tidak ada laki-laki yang bersedia menjadi teman hidup, seperti halnya kedua bibi Ayu yang akhirnya tua menjadi pendengki dan sirik karena tidak menikah, terpengaruh hukuman sosial yang dijatuhkan masyarakat kepada mereka karena mereka tidak menikah. Apakah lebih baik memandang melajang itu sebagai sebuah pilihan, daripada nasib? (Itu juga kalau mentalmu cukup kuat untuk mengakuinya sebagai pilihan).
Padahal rasanya lucu juga, banyak orang di awal 20-an sudah memiliki impian untuk tidak melajang, tapi ketika mereka memasuki umur 30-an dan sedang mengasuh anak yang sedang lucu-lucunya, tapi membaca status teman-temannya di facebook (yang masih lajang) yang masih bisa jalan-jalan ke mana-mana, ikut kegiatan ini itu, lalu timbul komentar : iri deh, bisa ngapa-ngapain. Sementara si teman yang lajang mulai gerah dengan pertanyaan kiri kanan : kapan menikah dan berpikir, kapan nih punya pasangan??
Nah, jadi sebenarnya nggak ada yang perlu diiri-irikan, kan? Semua pada posisinya sama-sama ada enak dan nggak enaknya. Nggak semua perempuan punya pasangan menikah yang begitu pengertiannya sampai bisa tetap menjalankan kegiatan ala lajangnya itu ketika ia sudah menikah.
Tapi menurutku, perempuan harus punya sesuatu achievement yang membuat ia harus selalu dihargai, bukan hanya dihargai sebagai bagian dari ajaran moral dan agama, namun sesuatu yang benar-benar berarti, yang bisa menopang dirinya sendiri tidak tergantung pada ada tidaknya pasangan pada dirinya. Seperti ayam betina atau kucing betina atau betina lain yang tetap mencari makan untuk anak-anaknya sementara ia juga harus mengurusnya (dan ayam jantan tetap berkokok, serta kucing jantan tetap berburu tikus), sepertinya perempuan memang sudah seharusnya bisa melakukan segalanya, lajang atau tidak lajang. Tidaklah salah menjadi lajang, senikmat dengan mereka yang memutuskan menikah. Seperti juga menikah pun punya hal-hal positif yang diambil bukan sekadar tuntutan tradisi, dan membuat kondisi normal buat kebanyakan opini. Lalu kalau perempuan bisa segala hal, buat apa lelaki? #eh
"Tapi percakapan hari itu memberiku pelajaran besar tentang lelaki dan perempuan. Yaitu bahwa ada yang tidak beres dengan nilai-nilai masyarakat. Nilai-nilai yang mengharuskan lelaki menjadi pemimpin perempuan. Lelaki dibebani tuntutan tidak proporsional untuk menjadi lebih dari perempuan. Akibatnya, lelaki jadi gampang minder. Dan perempuan dibebani tuntutan tak adil untuk merendahkan diri demi menjaga ego lelaki. Itu sungguh tidak benar dan tidak adil. Sampai dewasa, sampai hari ini, aku tetap mengatakannya itu sungguh tidak benar dan tidak adil." h.151
View all my reviews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar