Epitaph by Daniel Mahendra
My rating: 3 of 5 stars
#2011-57
Surat yang tak kunjung usai,
Dan,
Sudah banyak yang memperingatkan bahwa novel ini adalah memoar kematian, yang menceritakan kenangan-kenangan akan ditinggalkan seseorang yang amat disayangi. Tapi tetap saja terbit rasa ingin tahuku, karena kematian selalu menimpulkan tanya kenapa, dan pengungkapan misteri di baliknya. Bukan satu perkara mudah untuk menggambarkan kisah di balik jatuhnya helikopter dan hilang berbulan-bulan, jika tidak pernah berada dalam situasi yang mirip. Dan misteri bisa terpecahkan atau tidak terpecahkan. Memoar kehilangan seseorang yang dikasihi dalam kecelakaan helikopter, yang peristiwanya pun dihilangkan oleh yang berkepentingan.
Dan,
Membaca kisah cinta Laras dan Haikal, alih-alih terharu, aku tertawa, melihat karakter Laras yang begitu hidup, bersemangat dan selalu ceria. Haikal, penulis sok cuek dengan gayanya yang cool, sudah pasti diidamkan oleh tipe perempuan seperti Laras, yang bisa menenangkan ambisinya yang meledak-ledak. Pasangan yang sepertinya akan cocok mengisi satu sama lain. Cara berkenalan antar mereka yang biasa saja namun berkesan. Aku seperti berada di sana menyaksikan mereka berkenalan.
"Hei, kamu bahkan belum tahu siapa namaku!" seruku kesal.
Ia berhenti, menoleh kemudian tersenyum :
"Laras Sarasvati!"
Dan,
Aku banyak tergagap-gagap ketika membaca buku ini, menerka-nerka siapa yang sedang bercerita dalam bab ini. Kadang Laras, kadang Haikal, kadang Langi, yang porsinya sedikit. Mungkin banyak karya yang dituliskan lebih dari satu tokoh 'aku', dengan beberapa orang penutur kisah, namun aku sering merasa hilang di dalamnya, bingung apakah penceritaan dalam helaan nafas Langi atau catatan Laras yang hidup dalam penggambaran dialog tokoh-tokohnya. Laras hidup bagai cerita dalam lembaran buku harian, atau udara yang melayang menceritakan tentang kisah hidupnya, ambisi dan mimpi-mimpinya. Lalu aku berpikir, apa yang kau lakukan Langi? Apa yang membuatmu harus ada di sana? Cinta Haikal dan kemampuannya menulis membuat ia seharusnya bisa menjadi penutur utama, dengan emosi dalam dirinya yang tergambar lewat kenangan akan diri Laras. Haikallah orang yang tepat untuk menceritakan ini, bukan Langi, yang tidak kenal, tidak memiliki keterkaitan emosi apa pun dengan keduanya, hanya sebagai pembaca catatan Laras. Tindak Haikal yang hanya sebagai pengantar catatan, dan menelepon hanya untuk mengingatkan Langi, menjadikan karakternya datar, tak lebih seperti bayang-bayang, padahal ia adalah tokoh utama di sini, tokoh yang banyak dihidupkan lewat tulisan-tulisan Laras. Mungkin Haikal bukan tipe orang yang bisa curhat berjam-jam pada Langi, dia akan memendam erat-erat kenangannya. Tapi aku yang membaca, merasa seandainya Haikal yang menulis cerita ini, emosi duka yang terjadi akan lebih kuat, seperti mendengarkan cerita dari orangnya langsung, bukan Langi sebagai penutur kedua.
Dan,
Mungkin seperti pembaca lainnya, aku terganggu dengan catatan kaki yang banyak menjelaskan singkatan-singkatan yang sebenarnya sudah umum di masyarakat. Aku juga terganggu dengan sejarah perfilman yang diceritakan amat panjang. Seharusnya bisa dipersingkat.
Pun juga dengan cerpen yang diselipkan di dalam cerita. Apa ini? Layout cerpen ini menghilangkan garis besar kisah yang hendak kau ceritakan. Seandainya cerpen ini diletakkan dalam bab sendiri, atau dicetak dalam garis miring, mungkin akan membuat pembaca sepertiku tidak kehilangan fokusnya. Ya, mungkin cerpen ini menguatkan karakter Haikal yang cenderung tampak kuat dan tangguh di luar, namun di dalam hati punya hal-hal yang dipendam yang tidak dibaginya ke orang lain, namun cukup mengusik pikirannya. Karakter khas pejalan, pendaki gunung. Ya, aku banyak mengenal karakter itu di sekitarku, lelaki yang tenang, melakukan perjalanan tanpa banyak omong, memilah mana yang perlu atau tidak perlu dibahas, dan bisa mencurahkan isi pikirannya yang berkecamuk dalam tulisan. Mungkin karena itu kamu merasa perlu menyisipkan cerpen di dalam cerita ini, tidak hanya sekedar menunjukkan bahwa Haikal adalah seorang penulis.
Tetapi, apabila kamu memutuskan untuk tidak menuliskan cerpen ini, mungkin akan lebih fokus. Karakter Haikal yang pemikir tampak di saat kunjungannya ke rupah bapak tua di tepi pantai itu, ketika di sana ia dipertanyakan kesepian.
“Kebahagiaan itu bukan dicari, tapi diciptakan.”
“Kau boleh saja merasa kesepian, namun setelah kau ungkapkan kesepian itu, itu bukan kesepian lagi namanya. Seperti halnya rahasia, jika ia telah lagi diceritakan, ia tak lagi pantas disebut rahasia.”
Dan,
Benar, buku ini membangkitkan kenangan akan kematian orang yang amat kita sayang. Ketika sehari-hari bertegur sapa, lalu tiba-tiba tak ada. Apalagi menjadi orang yang terakhir melihatnya dalam keadaan hidup. Rasanya seperti aku terlempar lagi ke lorong waktu 23 tahun yang lalu, ketika kehilangan satu-satunya adik perempuanku. Dan membuat kami meninggalkan kota Bandung dengan duka, dan baru bertahun-tahun kemudian kembali untuk bertinggal lagi. Jembatan dalam sampul bukumu mengingatkanku pada jembatan di Cikutra, yang kulewati setiap aku mengunjungi makamnya.
Dan,
Pegunungan itu, selalu memberikan rasa debar ketika melintas di atasnya. Gerakan naik turun pesawat, dan guncangan-guncangan kecil yang terjadi memberi tanda kita untuk berdoa memohon keselamatan. Membaca lembar-lembar yang mengisahkan pencarian Laras diceritakan dengan rinci dan detail, membuat aku membayangkan lembah tersembunyi yang tidak tersapu oleh tim SAR. Deretan pegunungan yang membentang di sisi barat Sumatera hingga Sumatera Utara, hembusan turbulensi udara yang amat mungkin karena kontur pegunungan dan perbedaan tekanan. Pencarian untuk memberikan penghormatan terakhir dan selayaknya pada mereka.
Dan,
Membaca novel ini, awalnya seperti membaca sebuah monumen kesedihan sebuah kematian, namun lama kelamaan ternyata ini adalah monumen kehidupan, kenangan seorang Laras, seorang gadis yang amat teguh dengan cita-cita, yang tidak pernah beralih sedikitpun. Yang tahu ke mana ia harus melompat, ke mana kakinya harus didaratkan. Menyusun semua langkah yang diambilnya, dengan segala resikonya. Seorang gadis dengan gairahnya yang menggebu-gebu di tengah lesunya perfilman, masih memiliki impian bahwa keadaan akan berubah. Lepas dari stereotipe cita-cita anak kecil. Seseorang yang punya keyakinan akan impiannya. Dan tahu bagaimana mewujudkan mimpinya.
Dan,
Mungkin ceritaku akan lain apabila aku bertemu Haikal terlebih dahulu daripada denganmu. Mungkin akan lebih banyak kukorek tentang sosok melankolis kolerik ini. Atau cerita tentang Laras kekasihnya. Namun waktu mengatakan lain. Aku bertemu denganmu lebih dulu daripada Haikal. Sehingga kita memang tidak bercerita soal laki-laki ini, tetapi tentang hal-hal lain di luar sana. Tapi aku mengaku, Dan. Aku jatuh cinta pada Haikal.
***
setelah merayu setahun penuh, akhirnya aku mendapatkan buku ini dari penulisnya. buat agenda tutup tahun 2011.
buat Indri Juwono,
terima kasih untuk persahabatan yang manis!
Daniel Mahendra
Bandung, 24 Desember
Malam Natal 2011
View all my reviews
cerita tentang buku. buku. dan buku. separuh hidupku adalah perjalanan. separuhnya lagi adalah buku.
ulasan. resensi. kesan.
ulasan. resensi. kesan. ini bukuku, apa bukumu?
Selasa, 31 Januari 2012
Tintin 3 in 1 Complete Vol.6
Tintin 3 Complette Vol.6 by Herge
My rating: 5 of 5 stars
#2011-55
Sudah dua tahun aku memburu buku ini. Karena aku punya semua jilid dari seri Tintin hardcover ini, yang kukumpulkan satu demi satu, menabung, kecuali nomor ini, karena aku mencarinya kemanapun. Setiap ke toko buku impor yang kucari adalah buku ini. Susahnya, karena ini adalah edisi lama. Sementara edisi barunya sampulnya beda, dan ukurannya beda juga. Tidak bagus kalau dikumpulkan jadi satu dengan jilid-jilid yang aku miliki, sehingga aku tidak membelinya.
Aku trauma membeli online. Pernah aku memesan dari satu toko buku online di Indonesia, bahkan sampai menunggu 1 bulan sampai datang, karena ia memesan dari luar negeri juga. Sesudah datang, eh, tetap saja sampulnya yang baru, padahal yang dipajang di situsnya adalah sampul yang aku idamkan. Langsung aku kembalikan lagi.
Maka ketika ada di amazon atau book depository mengaku menjual dengan sampul biru ini, aku tak langsung percaya. Kukirimkan email bertanya mengenai konsistensi sampul. Nah, balasannya mereka tak bisa jamin bahwa yang tercantum dalam situs mereka adalah edisi sampul yang sama!
Satu-satunya cara, maka aku harus melihat wujud fisiknya dulu, baru aku membeli. Dan itu berarti aku harus keliling toko buku. Juga teman-teman yang sedang berada di luar negeri kutitipi siapa tahu menemukan edisi incaranku ini.
Lalu aku menemukannya ditawarkan di satu forum jual beli. Langsung kuhubungi orangnya dan bertanya, apakah barangnya masih ada? Masih katanya. Harganya? xxx, katanya. Belum kusetujui untuk membeli, masih ingin membandingkan harga. (kemana?)
Tak disangka, beberapa hari kemudian aku datang ke pameran buku, dan mampir ke stan toko buku ak.sa.ra favoritku, dan bertanya, adakah mereka jual buku Tintin yang kuidamkan ini? Mereka bilang, nanti kami cek ya, sepertinya ada. Keesokan paginya, ternyata dari ak.sa.ra menellepon dan mengatakan kalau buku impianku itu ada!!!
Yihaaa!!! Harganya di bawah xxx pula.
Maka dua hari berselang kemudian aku menjemput si Tintin ini di toko buku tersebut. Dan ia dalam genggamanku sekarang..
Satu yang paling kuperhatikan dalam cerita Tintin ini sejak Destination Moon sampai Tintin in Tibet adalah kemampuan (atau kekurangan) tali temalinya. Bahkan roket, tank bulan, dan menaiki tebing, semua hanya tali belaka, tanpa alat bantu carabiner, towing, atau sejenisnya. Wuih! Imajinasi...
View all my reviews
My rating: 5 of 5 stars
#2011-55
Sudah dua tahun aku memburu buku ini. Karena aku punya semua jilid dari seri Tintin hardcover ini, yang kukumpulkan satu demi satu, menabung, kecuali nomor ini, karena aku mencarinya kemanapun. Setiap ke toko buku impor yang kucari adalah buku ini. Susahnya, karena ini adalah edisi lama. Sementara edisi barunya sampulnya beda, dan ukurannya beda juga. Tidak bagus kalau dikumpulkan jadi satu dengan jilid-jilid yang aku miliki, sehingga aku tidak membelinya.
Aku trauma membeli online. Pernah aku memesan dari satu toko buku online di Indonesia, bahkan sampai menunggu 1 bulan sampai datang, karena ia memesan dari luar negeri juga. Sesudah datang, eh, tetap saja sampulnya yang baru, padahal yang dipajang di situsnya adalah sampul yang aku idamkan. Langsung aku kembalikan lagi.
Maka ketika ada di amazon atau book depository mengaku menjual dengan sampul biru ini, aku tak langsung percaya. Kukirimkan email bertanya mengenai konsistensi sampul. Nah, balasannya mereka tak bisa jamin bahwa yang tercantum dalam situs mereka adalah edisi sampul yang sama!
Satu-satunya cara, maka aku harus melihat wujud fisiknya dulu, baru aku membeli. Dan itu berarti aku harus keliling toko buku. Juga teman-teman yang sedang berada di luar negeri kutitipi siapa tahu menemukan edisi incaranku ini.
Lalu aku menemukannya ditawarkan di satu forum jual beli. Langsung kuhubungi orangnya dan bertanya, apakah barangnya masih ada? Masih katanya. Harganya? xxx, katanya. Belum kusetujui untuk membeli, masih ingin membandingkan harga. (kemana?)
Tak disangka, beberapa hari kemudian aku datang ke pameran buku, dan mampir ke stan toko buku ak.sa.ra favoritku, dan bertanya, adakah mereka jual buku Tintin yang kuidamkan ini? Mereka bilang, nanti kami cek ya, sepertinya ada. Keesokan paginya, ternyata dari ak.sa.ra menellepon dan mengatakan kalau buku impianku itu ada!!!
Yihaaa!!! Harganya di bawah xxx pula.
Maka dua hari berselang kemudian aku menjemput si Tintin ini di toko buku tersebut. Dan ia dalam genggamanku sekarang..
Satu yang paling kuperhatikan dalam cerita Tintin ini sejak Destination Moon sampai Tintin in Tibet adalah kemampuan (atau kekurangan) tali temalinya. Bahkan roket, tank bulan, dan menaiki tebing, semua hanya tali belaka, tanpa alat bantu carabiner, towing, atau sejenisnya. Wuih! Imajinasi...
View all my reviews
Sabtu, 28 Januari 2012
Pengantin Dusun di Beverly Hills
Pengantin Dusun di Beverly Hills by Kavita Daswani
My rating: 4 of 5 stars
#2011-54
karena cinta menuntutmu untuk berpikir dewasa, bukan cuma bersenang-senang..
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
#2011-54
karena cinta menuntutmu untuk berpikir dewasa, bukan cuma bersenang-senang..
View all my reviews
Cerita tentang Rakyat yang Suka Bertanya: Kumpulan Cerita Pendek
Cerita tentang Rakyat yang Suka Bertanya: Kumpulan Cerita Pendek by A.S. Laksana
My rating: 3 of 5 stars
#2011-53
Malam ini jam 22.05.
Kereta api ekonomi dari Tanah Abang menuju Depok-Bogor. Kereta terakhir malam itu. Kelas tiga, isinya rakyat jelata. Hujan deras di luar, walau tidak diiringi petir bertalu-talu , membasahi kursi-kursi fiberglas warna oranye. Jendela tidak bisa ditutup, sehingga percikan air masuk melaluinya. Layak? Yah, namanya rakyat, cuma bisa menerima, sudah kebawa saja untung, tidak ketinggalan dan tidak harus berganti-ganti kendaraan sampai tujuan. Sampai Depok hanya 1500 rupiah. Sampai Bogor hanya 2500 rupiah. Murah, hanya seharga sebotol air mineral 600 ml kios pinggir jalan, sudah bisa memindahkan rakyat sejauh 80 km.
Kereta ini kosong. Bisa dibilang kosong, karena hanya ada sekitar 30-an orang di dalam gerbong. Semuanya duduk. Hanya ada dua perempuan di situ. Aku dan seorang perempuan berperawakan sedang berambut keriting yang sedang menggunakan ponselnya. Ia tidak takut dirampas ponselnya. Aku takut. Maka ponsel kutaruh di dalam tas yang kupeluk di dada. Dan aku memilih membaca buku ini. Buku Cerita tentang Rakyat yang Suka bertanya. Kumpulan cerpen yang bisa diputus-putus membacanya tiap satu cerita. Tak ada petugas keamanan yang tampak di kereta. Tak ada petugas pemeriksa karcis. Mungkin kereta ini bebas, mengangkut siapa saja yang butuh tumpangan ke Bogor. Disubsidi, untuk membawa rakyat bolak balik dari Jakarta ke Bogor.
Tadi pagi, aku sampai bagian cerpen Para Pencerita oleh Linda Christanty. Di sebelahku, seorang bapak-bapak tua dengan ransel jambon lusuh tidur selonjoran di bangku kereta yang kosong.Ia mengambil empat lima bangku sekaligus. Kepalanya beralaskan seikat karung plastik, entah isinya apa. Sebatang tongkat bambu diletakkan di sebelahnya. Di kananku, seorang bapak-bapak yang mengenakan kaos polo dan selalu mengamati stasiun-stasiun yang dilewati. Ia seperti tidak ingin kelewatan stasiun tujuannya (seharusnya memang semua penumpang tak ingin terlewat tujuannya). Mungkin bapak ini tak terbiasa naik kereta. Lalu lewat seorang pemuda ke arah gerbong belakang. Pemuda itu berperawakan bersih, namun bertato. Aku agak takut. Tapi toh, pemuda itu lewat saja tanpa mengusik orang-orang yang dilaluinya. Depan aku duduk, ada seorang bapak tertidur. Kemeja rapi, celana bahan, sepatu kulit, dan memeluk tas ransel. Naik dari stasiun Sudirman. Mungkin ia lelah bekerja setelah seharian memeras otak di gedung-gedung pencakar langit itu. Sampai pulang semalam ini pula. Mungkin ia memimpikan cepat sampai bertemu keluarganya di rumah. Mungkin juga ia memikirkan anaknya yang masuk SMP tahun ini. Di depan bapak berkaos polo ada anak muda membawa gitar. Mungkin ia habis main ke rumah temannya. Mungkin juga salah satu yang menjajakan suara di warung-warung makan di Tanah Abang ditemani gitarnya. Ia hanya mengenakan celana pendek, kaos oblong dan sandal jepit. Hujan belum berhenti. Melanjutkan dengan Menjadi Anjing dari Miranda Harlan.
Pedagang bebas mondar mandir di dalam gerbong kereta ini. Penjual tahu, penjual jeruk, pedagang jepit dan peniti. Penjual jeruk mengobral dagangannnya yang hampir habis. Sepuluh ribu saja, teriaknya, untuk empat kantong jeruk mini. Penghabisan, katanya. Penjual tahu dan jeruk memakai gerobak beroda yang diluncurkan di dalam gerbong. Bagaimana pengelola kereta mau melarang berjualan? Kita sama-sama cari makan. Ini cara yang halal daripada meminta-minta. Tak perlu dituntut hukum seperti yang dialami Grubug dalam cerpen Oka Rusmini.
Tak seperti biasanya, tak ada anak-anak kecil yang menyapu lantai gerbong sambil berjongkok, dan menengadahkan tangan meminta imbalan dan belas kasihan orang-orang yang duduk sepanjang gerbong. Tak ada juga pengamen dengan kotak musik tergantung di dada mengiringi suara nyanyian lagu dangdutnya. Mungkin karena hujan sehingga mereka malas keluar. Atau mungkin karena sudah malam dan anak-anak kecil penyapu itu sudah belajar di rumah. Mungkin pengamen tadi juga sedang mengajari anak-anaknya menyanyi di rumah.
Inilah rakyat sebenarnya. Yang berjuang untuk keluarganya dan tidak diperhatikan oleh empunya negara di mana mereka tinggal. Yang kemarin ditemui Dahlan Iskan ketika ia naik kereta sejenis ini untuk pergi rapat ke Bogor. Kereta yang kalau pagi ke arah Jakarta terisi hingga satu setengah kali lipatnya kapasitas gerbong. Satu kapasitas gerbong, setengahnya lagi di atap kereta. Penumpang atap bodoh bernyawa tujuh. Tidak penting keselamatan, yang penting bisa duduk dengan berangin daripada berdesakan dalam gerbong. Inilah rakyat yang berpeluh keringat dalam satu kotak benda transportasi yang akan membawa mereka sampai tujuan. Dan mereka hanya bisa pasrah ketika jumlah kereta ekonomi dikurangi dan diganti dengan kereta AC yang lebih mahal ongkosnya. Mereka bertanya tapi tidak didengar. Maka semakin sempitlah kotak gerbong diisi oleh wajah-wajah rakyat yang jujur lelah.
Cerpen terakhir tamat. Juru Runding oleh Puthut EA. Tentang seorang lulusan SD yang karena ketekunannya bisa menjadi orang berpengaruh. Sehingga banyak orang-orang yang membutuhkan jasa dia untuk menegosiasikan sesuatu. Mungkin perlu seorang Mbarno sebagai Juru Runding antara rakyat dan pengelola kereta?
Kereta masuk stasiun UI. Bapak berkaos polo itu bertanya, sudah sampai mana? UI, jawabku. Ia tidak percaya, ia berjalan ke pintu kereta untuk melihat keadaan sekeliling, lalu kembali duduk di sebelahku. Benar UI, mbak. Di stasiun berikutnya ia turun. Masuk stasiun Depok Baru bapak dengan ransel jambon lusuh berdiri dan beranjak turun. Sekarang di deretku tinggal aku dan dua anak muda yang mendengarkan earphone dari ponsel yang digenggamnya. Di luar terdengar suara ting tong ting tong tanda kereta melintasi jalan raya dan palang persimpangan ditutup. Aku berdiri. Lantai gerbong masih basah terkena terpaan hujan dari luar akibat pintu dan jendela yang tak bisa menutup. Kereta berhenti di stasiun Depok Lama. Aku turun. Kupandangi kereta rakyat itu. Orang-orang yang beragam. Sama, aku juga rakyat. Lalu aku bergegas berlari supaya tak kehabisan ojek.
Aku bertanya, kenapa sarana untuk rakyat keadaannya demikian menyedihkan ya? Mungkin juga bukan pengelola kereta yang salah. Pengguna yang merusakkannya juga. Pengelola berulang kali memperbaiki. Hujan belum berhenti. Untung tidak ada gangguan sinyal. Untung tidak ada kabel listrik tersambar petir, langganan penyebab keterlambatan kereta kalau hujan. Terima kasih, kereta rakyat.
Depok lama. 23.10.
27.12.2011
View all my reviews
My rating: 3 of 5 stars
#2011-53
Malam ini jam 22.05.
Kereta api ekonomi dari Tanah Abang menuju Depok-Bogor. Kereta terakhir malam itu. Kelas tiga, isinya rakyat jelata. Hujan deras di luar, walau tidak diiringi petir bertalu-talu , membasahi kursi-kursi fiberglas warna oranye. Jendela tidak bisa ditutup, sehingga percikan air masuk melaluinya. Layak? Yah, namanya rakyat, cuma bisa menerima, sudah kebawa saja untung, tidak ketinggalan dan tidak harus berganti-ganti kendaraan sampai tujuan. Sampai Depok hanya 1500 rupiah. Sampai Bogor hanya 2500 rupiah. Murah, hanya seharga sebotol air mineral 600 ml kios pinggir jalan, sudah bisa memindahkan rakyat sejauh 80 km.
Kereta ini kosong. Bisa dibilang kosong, karena hanya ada sekitar 30-an orang di dalam gerbong. Semuanya duduk. Hanya ada dua perempuan di situ. Aku dan seorang perempuan berperawakan sedang berambut keriting yang sedang menggunakan ponselnya. Ia tidak takut dirampas ponselnya. Aku takut. Maka ponsel kutaruh di dalam tas yang kupeluk di dada. Dan aku memilih membaca buku ini. Buku Cerita tentang Rakyat yang Suka bertanya. Kumpulan cerpen yang bisa diputus-putus membacanya tiap satu cerita. Tak ada petugas keamanan yang tampak di kereta. Tak ada petugas pemeriksa karcis. Mungkin kereta ini bebas, mengangkut siapa saja yang butuh tumpangan ke Bogor. Disubsidi, untuk membawa rakyat bolak balik dari Jakarta ke Bogor.
Tadi pagi, aku sampai bagian cerpen Para Pencerita oleh Linda Christanty. Di sebelahku, seorang bapak-bapak tua dengan ransel jambon lusuh tidur selonjoran di bangku kereta yang kosong.Ia mengambil empat lima bangku sekaligus. Kepalanya beralaskan seikat karung plastik, entah isinya apa. Sebatang tongkat bambu diletakkan di sebelahnya. Di kananku, seorang bapak-bapak yang mengenakan kaos polo dan selalu mengamati stasiun-stasiun yang dilewati. Ia seperti tidak ingin kelewatan stasiun tujuannya (seharusnya memang semua penumpang tak ingin terlewat tujuannya). Mungkin bapak ini tak terbiasa naik kereta. Lalu lewat seorang pemuda ke arah gerbong belakang. Pemuda itu berperawakan bersih, namun bertato. Aku agak takut. Tapi toh, pemuda itu lewat saja tanpa mengusik orang-orang yang dilaluinya. Depan aku duduk, ada seorang bapak tertidur. Kemeja rapi, celana bahan, sepatu kulit, dan memeluk tas ransel. Naik dari stasiun Sudirman. Mungkin ia lelah bekerja setelah seharian memeras otak di gedung-gedung pencakar langit itu. Sampai pulang semalam ini pula. Mungkin ia memimpikan cepat sampai bertemu keluarganya di rumah. Mungkin juga ia memikirkan anaknya yang masuk SMP tahun ini. Di depan bapak berkaos polo ada anak muda membawa gitar. Mungkin ia habis main ke rumah temannya. Mungkin juga salah satu yang menjajakan suara di warung-warung makan di Tanah Abang ditemani gitarnya. Ia hanya mengenakan celana pendek, kaos oblong dan sandal jepit. Hujan belum berhenti. Melanjutkan dengan Menjadi Anjing dari Miranda Harlan.
Pedagang bebas mondar mandir di dalam gerbong kereta ini. Penjual tahu, penjual jeruk, pedagang jepit dan peniti. Penjual jeruk mengobral dagangannnya yang hampir habis. Sepuluh ribu saja, teriaknya, untuk empat kantong jeruk mini. Penghabisan, katanya. Penjual tahu dan jeruk memakai gerobak beroda yang diluncurkan di dalam gerbong. Bagaimana pengelola kereta mau melarang berjualan? Kita sama-sama cari makan. Ini cara yang halal daripada meminta-minta. Tak perlu dituntut hukum seperti yang dialami Grubug dalam cerpen Oka Rusmini.
Tak seperti biasanya, tak ada anak-anak kecil yang menyapu lantai gerbong sambil berjongkok, dan menengadahkan tangan meminta imbalan dan belas kasihan orang-orang yang duduk sepanjang gerbong. Tak ada juga pengamen dengan kotak musik tergantung di dada mengiringi suara nyanyian lagu dangdutnya. Mungkin karena hujan sehingga mereka malas keluar. Atau mungkin karena sudah malam dan anak-anak kecil penyapu itu sudah belajar di rumah. Mungkin pengamen tadi juga sedang mengajari anak-anaknya menyanyi di rumah.
Inilah rakyat sebenarnya. Yang berjuang untuk keluarganya dan tidak diperhatikan oleh empunya negara di mana mereka tinggal. Yang kemarin ditemui Dahlan Iskan ketika ia naik kereta sejenis ini untuk pergi rapat ke Bogor. Kereta yang kalau pagi ke arah Jakarta terisi hingga satu setengah kali lipatnya kapasitas gerbong. Satu kapasitas gerbong, setengahnya lagi di atap kereta. Penumpang atap bodoh bernyawa tujuh. Tidak penting keselamatan, yang penting bisa duduk dengan berangin daripada berdesakan dalam gerbong. Inilah rakyat yang berpeluh keringat dalam satu kotak benda transportasi yang akan membawa mereka sampai tujuan. Dan mereka hanya bisa pasrah ketika jumlah kereta ekonomi dikurangi dan diganti dengan kereta AC yang lebih mahal ongkosnya. Mereka bertanya tapi tidak didengar. Maka semakin sempitlah kotak gerbong diisi oleh wajah-wajah rakyat yang jujur lelah.
Cerpen terakhir tamat. Juru Runding oleh Puthut EA. Tentang seorang lulusan SD yang karena ketekunannya bisa menjadi orang berpengaruh. Sehingga banyak orang-orang yang membutuhkan jasa dia untuk menegosiasikan sesuatu. Mungkin perlu seorang Mbarno sebagai Juru Runding antara rakyat dan pengelola kereta?
Kereta masuk stasiun UI. Bapak berkaos polo itu bertanya, sudah sampai mana? UI, jawabku. Ia tidak percaya, ia berjalan ke pintu kereta untuk melihat keadaan sekeliling, lalu kembali duduk di sebelahku. Benar UI, mbak. Di stasiun berikutnya ia turun. Masuk stasiun Depok Baru bapak dengan ransel jambon lusuh berdiri dan beranjak turun. Sekarang di deretku tinggal aku dan dua anak muda yang mendengarkan earphone dari ponsel yang digenggamnya. Di luar terdengar suara ting tong ting tong tanda kereta melintasi jalan raya dan palang persimpangan ditutup. Aku berdiri. Lantai gerbong masih basah terkena terpaan hujan dari luar akibat pintu dan jendela yang tak bisa menutup. Kereta berhenti di stasiun Depok Lama. Aku turun. Kupandangi kereta rakyat itu. Orang-orang yang beragam. Sama, aku juga rakyat. Lalu aku bergegas berlari supaya tak kehabisan ojek.
Aku bertanya, kenapa sarana untuk rakyat keadaannya demikian menyedihkan ya? Mungkin juga bukan pengelola kereta yang salah. Pengguna yang merusakkannya juga. Pengelola berulang kali memperbaiki. Hujan belum berhenti. Untung tidak ada gangguan sinyal. Untung tidak ada kabel listrik tersambar petir, langganan penyebab keterlambatan kereta kalau hujan. Terima kasih, kereta rakyat.
Depok lama. 23.10.
27.12.2011
View all my reviews
Amulet Samarkand (The Bartimaeus Trilogy, Buku Satu)
Amulet Samarkand by Jonathan Stroud
My rating: 5 of 5 stars
#2011-52
Kak Roos sering bilang, buku favoritnya : Barty!
Dan sesudah baca buku ini, nggak salah banget deh, kak Roos bilang begitu. Barty lucu banget..
Bartimeaus : Jin narsis dengan segudang pengalaman, besar kepala, sombong, namun kuat, baik hati dan setia. Setia?? Eh, setia dibawa ancaman tuannya daripada jiwanya terbelenggu dalam kotak berisi serbuk rosemary? Pernah melayani Firaun, mengerjakan istana-istana, sudah hidup beberapa abad.
Nathaniel : yang dilayani Barty. Anak lelaki yang emosinya meledak-ledak, luar biasa dalam menghafal, yang gara-gara balas dendam iseng sampai mengakibatnya terungkapnya persekongkolan penghianatan dalam dunia persihiran di kota London.
Yang satu angkuh tapi lucu, yang satu sombong tapi pemarah. Berdua ini akhirnya bahu membahu dari yang cuma melakukan pencurian ‘kecil’ atas benda’besar’ , sampai menyelamatkan dunia dari tangan penyihir jahat Lovelace yang ingin memenangi dunia dengan benda yang ternyata ‘besar’ itu.
Pertempuran darat, udara, dalam ruangan, dalam kubah, digambarkan seru sekali dan mendetail membuat kita terhisap ke dalamnya seolah-olah menonton kejadian itu. Perubahan wujud jin sesuai kebutuhan, kecerdasan Nathaniel juga sering membuat takjub.
Ah, salah satu terbaik dari genre fantasi. Terjemahannya keren!
Me-review bintang lima selalu sulit..
View all my reviews
My rating: 5 of 5 stars
#2011-52
Kak Roos sering bilang, buku favoritnya : Barty!
Dan sesudah baca buku ini, nggak salah banget deh, kak Roos bilang begitu. Barty lucu banget..
Bartimeaus : Jin narsis dengan segudang pengalaman, besar kepala, sombong, namun kuat, baik hati dan setia. Setia?? Eh, setia dibawa ancaman tuannya daripada jiwanya terbelenggu dalam kotak berisi serbuk rosemary? Pernah melayani Firaun, mengerjakan istana-istana, sudah hidup beberapa abad.
Nathaniel : yang dilayani Barty. Anak lelaki yang emosinya meledak-ledak, luar biasa dalam menghafal, yang gara-gara balas dendam iseng sampai mengakibatnya terungkapnya persekongkolan penghianatan dalam dunia persihiran di kota London.
Yang satu angkuh tapi lucu, yang satu sombong tapi pemarah. Berdua ini akhirnya bahu membahu dari yang cuma melakukan pencurian ‘kecil’ atas benda’besar’ , sampai menyelamatkan dunia dari tangan penyihir jahat Lovelace yang ingin memenangi dunia dengan benda yang ternyata ‘besar’ itu.
Pertempuran darat, udara, dalam ruangan, dalam kubah, digambarkan seru sekali dan mendetail membuat kita terhisap ke dalamnya seolah-olah menonton kejadian itu. Perubahan wujud jin sesuai kebutuhan, kecerdasan Nathaniel juga sering membuat takjub.
Ah, salah satu terbaik dari genre fantasi. Terjemahannya keren!
Me-review bintang lima selalu sulit..
View all my reviews
Adventures of Tintin: Land of Black Gold, Destination Moon & Explorers on the Moon
Adventures of Tintin: Land of Black Gold, Destination Moon & Explorers on the Moon by Hergé
My rating: 4 of 5 stars
#2011-51
Seri Tintin 3 in 1 ini adalah salah satu yang menjadi favorit saya. Sudah pernah baca di waktu kecil, dan baca lagi sekarang edisi bahasa Inggrisnya. Sengaja memang tidak beli lagi edisi bahasa Indonesianya yang diterbitkan Gramedia, soalnya nama2nya lain dari yang aku kenal waktu kecil dulu.
Jadi di sini masih Calculus, Snowy, Thomson dan Thompson..
Pertama adalah pertemuan Tintin dan Capt. Haddock dengan Abdullah, anak Ben Kalish Bab, pengusaha minyak kaya raya dari dataran Arab. Abdullah yang nakalnya luar biasa ini, sering sekali mempermainkan Captain Haddock. Lucu juga, perjalanan mereka di padang pasir dengan humor khas padang pasir seperti fatamorgana, badai pasir, kebodohan Thomson and Thompson berputar-putar di gurun. Juga intrik-intrik di ladang minyak dengan sejuta keberuntungan untuk Tintin.
Perjalanan ke bulan yang kocak banget!
Bayangkan, seorang reporter, seorang pelaut, seorang ilmuwan, pergi ke Bulan.. (ngapain juga ada pelaut pergi ke bulan?), apalagi pelaut ini adalah pelaut yang suka minum mabuk dan suka mengumpat-ngumpat. Bayangkan apabila 'blistering barnacles!'-nya itu dipakai di luar angkasa, menjadi 'sejuta badai asteroid!' . Belum lagi keikutsertaan dua detektif yang ketiduran di dalam roket dan tanpa sengaja terbawa waktu tinggal landas. Lebih lucunya lagi, ketika rambut mereka tumbuh terus menerus..
Pengen juga bagian yang ini difilmkan, pasti seru juga. Dari cuma perjalanan orang-orang lucu ini, bisa jadi heboh banget, perang bintang, konspirasi, perebutan kekuasaan dunia..
Waktu baca ini jadi mikir seorang teman yang pergi ke Tibet karena terinspirasi oleh buku Tintin in Tibet. Lalu, sesudah baca Exploring to the Moon lalu saya tanya,”Dan, kamu kapan pergi ke bulan?”
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
#2011-51
Seri Tintin 3 in 1 ini adalah salah satu yang menjadi favorit saya. Sudah pernah baca di waktu kecil, dan baca lagi sekarang edisi bahasa Inggrisnya. Sengaja memang tidak beli lagi edisi bahasa Indonesianya yang diterbitkan Gramedia, soalnya nama2nya lain dari yang aku kenal waktu kecil dulu.
Jadi di sini masih Calculus, Snowy, Thomson dan Thompson..
Pertama adalah pertemuan Tintin dan Capt. Haddock dengan Abdullah, anak Ben Kalish Bab, pengusaha minyak kaya raya dari dataran Arab. Abdullah yang nakalnya luar biasa ini, sering sekali mempermainkan Captain Haddock. Lucu juga, perjalanan mereka di padang pasir dengan humor khas padang pasir seperti fatamorgana, badai pasir, kebodohan Thomson and Thompson berputar-putar di gurun. Juga intrik-intrik di ladang minyak dengan sejuta keberuntungan untuk Tintin.
Perjalanan ke bulan yang kocak banget!
Bayangkan, seorang reporter, seorang pelaut, seorang ilmuwan, pergi ke Bulan.. (ngapain juga ada pelaut pergi ke bulan?), apalagi pelaut ini adalah pelaut yang suka minum mabuk dan suka mengumpat-ngumpat. Bayangkan apabila 'blistering barnacles!'-nya itu dipakai di luar angkasa, menjadi 'sejuta badai asteroid!' . Belum lagi keikutsertaan dua detektif yang ketiduran di dalam roket dan tanpa sengaja terbawa waktu tinggal landas. Lebih lucunya lagi, ketika rambut mereka tumbuh terus menerus..
Pengen juga bagian yang ini difilmkan, pasti seru juga. Dari cuma perjalanan orang-orang lucu ini, bisa jadi heboh banget, perang bintang, konspirasi, perebutan kekuasaan dunia..
Waktu baca ini jadi mikir seorang teman yang pergi ke Tibet karena terinspirasi oleh buku Tintin in Tibet. Lalu, sesudah baca Exploring to the Moon lalu saya tanya,”Dan, kamu kapan pergi ke bulan?”
View all my reviews
Meraba Indonesia: Ekspedisi "Gila" Keliling Nusantara
Meraba Indonesia: Ekspedisi "Gila" Keliling Nusantara by Ahmad Yunus
My rating: 5 of 5 stars
#2011-50
Dalam beberapa bulan ini, banyak kesempatan untuk membaca tentang Indonesia, tanah tumpah darahku ini. Dari Arus Baliknya Pramoedya sampai Potongan Cerita di Kartu Pos nya Agus Noor. Masih masuk dalam daftar ingin saya baca adalah Nasionalismenya Pandji.
Benar adanya bahwa buku adalah jendela dunia...
Berkesempatan membaca Meraba Indonesia seperti membangun mimpi-mimpi masa muda saya. Yang suka bertualang. Mimpi saya untuk menjelajahi Indonesia yang indah ini. Mimpi yang terpaksa harus saya gantungkan sesaat demi cita-cita masa kecil. Maka saya gembira sekali ketika diminta untuk memoderatori diskusi bukunya, bercerita tentang suka duka sepak terjang orang-orang yang berani mengelilingi Indonesia, untuk membaginya dengan kita, memberikan jendela pandang untuk kita yang belum berkesempatan untuk itu.
Ini bukan buku catatan perjalanan seperti kebanyakan yang hanya membahas asyik-asyiknya suatu perjalanan. Lebih banyak ditonjolkan sisi humanisnya di sini. Dan perjalanan ini dilakukan di Indonesia! Negeri yang penuh dengan keindahan sekaligus ketidakindahan birokrasinya. Kecantikan yang menutupi coreng moreng di baliknya. Negeri yang sulit untuk dijelajahi karena tersebar di pulau-pulau, sementara transportasi airnya masih jauh dari layak melayani.
Indonesia dari perjalanan Yunus dan Farid dari sisi-sisi terluarnya, yang mereka jalani dari Bandung ke Jakarta, Teluk Kiluan Lampung, Bengkulu, Pulau Enggano, Kepulauan Mentawai, Padang, Tapanuli, Nias, Simeulue, Aceh, Sabang, Medan,..
Di sini mereka meraba tradisi lokal yang masih erat dengan keseharian warga masyarakat. Tato di kepulauan Mentawai, yang perlahan menghilang seiring dengan stigma negatif pemerintahan Orde Baru terhadap perajah tubuh ini. Upacara lompat batu di Nias yang kaya dengan seni budayanya, rumah Omo Hada rumah tradisional Nias yang temasuk dalam World Endangered Heritage, mengingatkan saya akan kekecewaan ketika kuliah saya melewatkan masa ekskursi ke Nias (suatu hari kelak saya akan ke sana..) lalu berpindah ke Simeulue dengan tradisi ‘smong’ yaitu menyelamatkan diri ke dataran tinggi ketika terjadi pasang surut tiba-tiba. Cerita-cerita singkat, namun memberi kesan menarik akan kekhasan daerah-daerah ini.
Selat Malaka, Pulau Penyengat, Pulau Natuna, ke Pulau Kalimantan, Pontianak, Sintang, Pulau Karimata, terus menyusuri sisi selatan dan timur Kalimantan, hingga Derawan, Nunukan dan Tarakan..
Ini pahitnya Indonesia. Bertemu polisi lautan yang seharusnya mengayomi namun malah memeras kapal-kapal yang lewat, kalau begini, bagaimana transportasi laut bisa maju jika untuk menjalaninya sehari-hari pun penuh ketakutan begitu. “Sudah biasa,” katanya. Tidak bisa, jerit batin saya.
Pun melihat Natuna yang berlimpah gas namun rakyatnya tetap tidak makmur. Ini menjadi pertanyaan besar sekali buat Indonesia. Kenapa di daerah-daerah yang hasil alamnya melimpah tapi penduduk di situ tak bisa ikut merasakan imbasnya? Tak hanya Natuna. Bangka Belitung, Papua, dan banyak daerah lain di Indonesia tak pernah menjadi bahan evaluasi. Kenapa hanya sisi eksploratifnya yang ditonjolkan dari daerah-daerah tersebut. Kenapa sisi pengembangan sumberdaya manusia di daerah tidak menjadi salah satu prioritas selain berapa dolar yang bisa dihasilkan oleh daerah itu?
Berpindah ke Kalimantan, potret hutan hujan tropis raksasa itu seakan sirna oleh potret keringnya sungai Kapuas, salah satu yang terpanjang di Indonesia, punahnya hutan oleh area kelapa sawit, pembukaan lahan gambut. Apalagi Kalimantan sekarang. Menurut cerita teman, banyak orang berlomba-lomba mendulang batubara tanpa memikirkan efek samping dari tambang yang ia buka. Banyak lubang-lubang menganga yang hanya dihijaukan kembali sekenanya. Menurut teman saya, perusahaannya berusaha menaati peraturan dengan menanam kembali seribu pohon, namun sesudah itu dibiarkan. Apa yang terjadi? Hutan tropis itu tidak pernah kembali. Tanpa perawatan, tanaman akan mati. Mungkin Yunus dan Farid tidak menuliskan itu sekarang, tapi suatu saat kelak, kebusukan-kebusukan ini harus dibongkar.
Makassar, Takabonerate, Wakatobi, Pulai Banggai, Pulau Togean, Pulau Miangas, Ternate, Raja Ampat, Banda Neira, Merauke..
Di sinilah potret kelautan Indonesia. Ketika mereka menggantungkan diri pada laut yang memeluk keseharian. Laut yang menjadi energi untuk hidup sehari-hari. Maka akan miris ketika mereka tahu bahwa Indonesia akan mengimpor ikan. Sementara mereka bersusah payah bertaruh nyawa setiap hari ke laut.
Dan potret-potret kehidupan lain yang ditampakkan dalam keseharian petualangan mereka. Mungkin mereka hanya tamu, mungkin mereka tidak ikut merasakan apa yang dialami. Tapi mereka berani untuk melaporkan apa yang ada di negeri tercinta ini, supaya semua sadar apa yang terjadi di tepian pantai Indonesia, bukan hanya duduk santai penuh fasilitas di kota bernama Jakarta. Mereka petualang. Penjelajah.
View all my reviews
My rating: 5 of 5 stars
#2011-50
Dalam beberapa bulan ini, banyak kesempatan untuk membaca tentang Indonesia, tanah tumpah darahku ini. Dari Arus Baliknya Pramoedya sampai Potongan Cerita di Kartu Pos nya Agus Noor. Masih masuk dalam daftar ingin saya baca adalah Nasionalismenya Pandji.
Benar adanya bahwa buku adalah jendela dunia...
Berkesempatan membaca Meraba Indonesia seperti membangun mimpi-mimpi masa muda saya. Yang suka bertualang. Mimpi saya untuk menjelajahi Indonesia yang indah ini. Mimpi yang terpaksa harus saya gantungkan sesaat demi cita-cita masa kecil. Maka saya gembira sekali ketika diminta untuk memoderatori diskusi bukunya, bercerita tentang suka duka sepak terjang orang-orang yang berani mengelilingi Indonesia, untuk membaginya dengan kita, memberikan jendela pandang untuk kita yang belum berkesempatan untuk itu.
Ini bukan buku catatan perjalanan seperti kebanyakan yang hanya membahas asyik-asyiknya suatu perjalanan. Lebih banyak ditonjolkan sisi humanisnya di sini. Dan perjalanan ini dilakukan di Indonesia! Negeri yang penuh dengan keindahan sekaligus ketidakindahan birokrasinya. Kecantikan yang menutupi coreng moreng di baliknya. Negeri yang sulit untuk dijelajahi karena tersebar di pulau-pulau, sementara transportasi airnya masih jauh dari layak melayani.
Indonesia dari perjalanan Yunus dan Farid dari sisi-sisi terluarnya, yang mereka jalani dari Bandung ke Jakarta, Teluk Kiluan Lampung, Bengkulu, Pulau Enggano, Kepulauan Mentawai, Padang, Tapanuli, Nias, Simeulue, Aceh, Sabang, Medan,..
Di sini mereka meraba tradisi lokal yang masih erat dengan keseharian warga masyarakat. Tato di kepulauan Mentawai, yang perlahan menghilang seiring dengan stigma negatif pemerintahan Orde Baru terhadap perajah tubuh ini. Upacara lompat batu di Nias yang kaya dengan seni budayanya, rumah Omo Hada rumah tradisional Nias yang temasuk dalam World Endangered Heritage, mengingatkan saya akan kekecewaan ketika kuliah saya melewatkan masa ekskursi ke Nias (suatu hari kelak saya akan ke sana..) lalu berpindah ke Simeulue dengan tradisi ‘smong’ yaitu menyelamatkan diri ke dataran tinggi ketika terjadi pasang surut tiba-tiba. Cerita-cerita singkat, namun memberi kesan menarik akan kekhasan daerah-daerah ini.
Selat Malaka, Pulau Penyengat, Pulau Natuna, ke Pulau Kalimantan, Pontianak, Sintang, Pulau Karimata, terus menyusuri sisi selatan dan timur Kalimantan, hingga Derawan, Nunukan dan Tarakan..
Ini pahitnya Indonesia. Bertemu polisi lautan yang seharusnya mengayomi namun malah memeras kapal-kapal yang lewat, kalau begini, bagaimana transportasi laut bisa maju jika untuk menjalaninya sehari-hari pun penuh ketakutan begitu. “Sudah biasa,” katanya. Tidak bisa, jerit batin saya.
Pun melihat Natuna yang berlimpah gas namun rakyatnya tetap tidak makmur. Ini menjadi pertanyaan besar sekali buat Indonesia. Kenapa di daerah-daerah yang hasil alamnya melimpah tapi penduduk di situ tak bisa ikut merasakan imbasnya? Tak hanya Natuna. Bangka Belitung, Papua, dan banyak daerah lain di Indonesia tak pernah menjadi bahan evaluasi. Kenapa hanya sisi eksploratifnya yang ditonjolkan dari daerah-daerah tersebut. Kenapa sisi pengembangan sumberdaya manusia di daerah tidak menjadi salah satu prioritas selain berapa dolar yang bisa dihasilkan oleh daerah itu?
Berpindah ke Kalimantan, potret hutan hujan tropis raksasa itu seakan sirna oleh potret keringnya sungai Kapuas, salah satu yang terpanjang di Indonesia, punahnya hutan oleh area kelapa sawit, pembukaan lahan gambut. Apalagi Kalimantan sekarang. Menurut cerita teman, banyak orang berlomba-lomba mendulang batubara tanpa memikirkan efek samping dari tambang yang ia buka. Banyak lubang-lubang menganga yang hanya dihijaukan kembali sekenanya. Menurut teman saya, perusahaannya berusaha menaati peraturan dengan menanam kembali seribu pohon, namun sesudah itu dibiarkan. Apa yang terjadi? Hutan tropis itu tidak pernah kembali. Tanpa perawatan, tanaman akan mati. Mungkin Yunus dan Farid tidak menuliskan itu sekarang, tapi suatu saat kelak, kebusukan-kebusukan ini harus dibongkar.
Makassar, Takabonerate, Wakatobi, Pulai Banggai, Pulau Togean, Pulau Miangas, Ternate, Raja Ampat, Banda Neira, Merauke..
Di sinilah potret kelautan Indonesia. Ketika mereka menggantungkan diri pada laut yang memeluk keseharian. Laut yang menjadi energi untuk hidup sehari-hari. Maka akan miris ketika mereka tahu bahwa Indonesia akan mengimpor ikan. Sementara mereka bersusah payah bertaruh nyawa setiap hari ke laut.
Dan potret-potret kehidupan lain yang ditampakkan dalam keseharian petualangan mereka. Mungkin mereka hanya tamu, mungkin mereka tidak ikut merasakan apa yang dialami. Tapi mereka berani untuk melaporkan apa yang ada di negeri tercinta ini, supaya semua sadar apa yang terjadi di tepian pantai Indonesia, bukan hanya duduk santai penuh fasilitas di kota bernama Jakarta. Mereka petualang. Penjelajah.
View all my reviews
Piramid
Piramid by Ismail Kadare
My rating: 3 of 5 stars
#2011-49
“Jangan hiraukan ocehan tolol dan menyesatkan! Piramid bakal membuat kita lebih kuat dan makin bahagia! Piramid akan membantu surga dan bumi mencapai kesepahaman yang lebih baik!”
Buku ini penuh humor?
Entah selera humor saya sedang rendah atau begitu sedih melihat penderitaan rakyat Mesir ketika membangun piramid ini. Piramid yang dibangun selama bertahun-tahun, hanya sebagai perlambang kuasa, ternyata tidak bisa dinikmati oleh si pembangun, pencetus, bahkan si Firaun sendiri yang tadinya tidak ingin punya piramid, menjadi takut ketika piramid itu sendiri sudah jadi.
Pembangunan piramid ini memperlihatkan betapa berkuasanya orang-orang di sekitar penguasa, orang-orang yang merasa bisa meyakinkan si penguasa sendiri. Memperlihatkan si penguasa yang bodoh, yang demi ia ‘mendengarkan-apa-kata-orang-banyak’ tetapi malah mengorbankan ribuan rakyatnya sendiri.
Piramid, yang puncaknya mengangkasa, dianggap sebagai pembelah langit. Keempat sudutnya, yang menunjukkan empat mata angin, sebagai kestabilan dunia. Di situlah si mummi berdiam, dalam kuburan batu yang dibangun oleh ribuan nyawa, dibalsem agar awet hingga akhir jaman, memamerkan kedigdayaannya. Sebenarnya, bukan si Firaunlah yang berkuasa, namun piramid itu sendiri. Piramid yang ketika jadi akan memanggil jiwa Firaun ke dalamnya. Piramid yang ditakuti bahkan oleh pembuatnya.
Ada intrik, persekongkolan, tuduh menuduh, yang tidak pernah terselamatkan oleh namanya kematian. Yang menuduh pun bisa kena pancung, yang menuding bisa kena tikam, semua berebut kepentingan untuk keselamatannya sendiri.
Dalam satu hal proses ‘pemaksaan’ pembangunan piramid ini mengingatkan pada pembangunan calon-gedung-anggota-dewan kita yang katanya representatif. Ada orang-orang yang merasa berkepentingan. Ketika pembangunan Piramid, orang-orang berkepentingan ingin dapat kedudukan yang bagus di sisi para dewa, karena mereka amat mungkin mati sesudah membuatnya. Sedangkan di calon-gedung-anggota-dewan kita, supaya dapat proyek, keuntungan besar di tangan mereka, dan kemungkinan jabatan di sisi presiden kelak. Dan Piramid dibangun untuk kematian, sedangkan calon-gedung-anggota-dewan untuk kerakusan.
Jadi, siapa yang bisa menikmati Piramid? Bukan bangsa Mesir yang tersiksa oleh pembangunannya. Bukan si Arsitek yang tahu bahwa ia akan mati untuk mengubur rahasianya. Bukan juga Firaun yang telah menghukum orang-orang atas dakwaan memperlambat kerja pembangunan. Kemudian ia menghukum orang-orang lain karena alasan sebaliknya, mempercepat laju pekerjaan. Lalu sekali lagi untuk alasan yang pertama. Dan sesudahnya tanpa alasan sama sekali. Dan ia akhirnya merasa bahwa piramid menginginkan dirinya untuk mati, untuk bersatu dengannya.
Piramid adalah monumen kebanggaan, kekuatan, sekaligus monumen ketakutan yang luar biasa.
View all my reviews
My rating: 3 of 5 stars
#2011-49
“Jangan hiraukan ocehan tolol dan menyesatkan! Piramid bakal membuat kita lebih kuat dan makin bahagia! Piramid akan membantu surga dan bumi mencapai kesepahaman yang lebih baik!”
Buku ini penuh humor?
Entah selera humor saya sedang rendah atau begitu sedih melihat penderitaan rakyat Mesir ketika membangun piramid ini. Piramid yang dibangun selama bertahun-tahun, hanya sebagai perlambang kuasa, ternyata tidak bisa dinikmati oleh si pembangun, pencetus, bahkan si Firaun sendiri yang tadinya tidak ingin punya piramid, menjadi takut ketika piramid itu sendiri sudah jadi.
Pembangunan piramid ini memperlihatkan betapa berkuasanya orang-orang di sekitar penguasa, orang-orang yang merasa bisa meyakinkan si penguasa sendiri. Memperlihatkan si penguasa yang bodoh, yang demi ia ‘mendengarkan-apa-kata-orang-banyak’ tetapi malah mengorbankan ribuan rakyatnya sendiri.
Piramid, yang puncaknya mengangkasa, dianggap sebagai pembelah langit. Keempat sudutnya, yang menunjukkan empat mata angin, sebagai kestabilan dunia. Di situlah si mummi berdiam, dalam kuburan batu yang dibangun oleh ribuan nyawa, dibalsem agar awet hingga akhir jaman, memamerkan kedigdayaannya. Sebenarnya, bukan si Firaunlah yang berkuasa, namun piramid itu sendiri. Piramid yang ketika jadi akan memanggil jiwa Firaun ke dalamnya. Piramid yang ditakuti bahkan oleh pembuatnya.
Ada intrik, persekongkolan, tuduh menuduh, yang tidak pernah terselamatkan oleh namanya kematian. Yang menuduh pun bisa kena pancung, yang menuding bisa kena tikam, semua berebut kepentingan untuk keselamatannya sendiri.
Dalam satu hal proses ‘pemaksaan’ pembangunan piramid ini mengingatkan pada pembangunan calon-gedung-anggota-dewan kita yang katanya representatif. Ada orang-orang yang merasa berkepentingan. Ketika pembangunan Piramid, orang-orang berkepentingan ingin dapat kedudukan yang bagus di sisi para dewa, karena mereka amat mungkin mati sesudah membuatnya. Sedangkan di calon-gedung-anggota-dewan kita, supaya dapat proyek, keuntungan besar di tangan mereka, dan kemungkinan jabatan di sisi presiden kelak. Dan Piramid dibangun untuk kematian, sedangkan calon-gedung-anggota-dewan untuk kerakusan.
Jadi, siapa yang bisa menikmati Piramid? Bukan bangsa Mesir yang tersiksa oleh pembangunannya. Bukan si Arsitek yang tahu bahwa ia akan mati untuk mengubur rahasianya. Bukan juga Firaun yang telah menghukum orang-orang atas dakwaan memperlambat kerja pembangunan. Kemudian ia menghukum orang-orang lain karena alasan sebaliknya, mempercepat laju pekerjaan. Lalu sekali lagi untuk alasan yang pertama. Dan sesudahnya tanpa alasan sama sekali. Dan ia akhirnya merasa bahwa piramid menginginkan dirinya untuk mati, untuk bersatu dengannya.
Piramid adalah monumen kebanggaan, kekuatan, sekaligus monumen ketakutan yang luar biasa.
View all my reviews
Kata Fakta Jakarta
Kata Fakta Jakarta by Rujak Center for Urban Studies
My rating: 4 of 5 stars
#2011-48
Membaca-baca buku ini, jadi pengen nanya, kenapa kamu mau tinggal di Jakarta?
Ah, aku nggak tinggal di Jakarta. Cuma kerja aja di sini. Setiap hari pulang ke pinggiran Jakarta.
Tapi kan kamu sehari-hari di Jakarta. Coba, berapa banyak waktu yang kamu habiskan di Jakarta!
Hmm, jam delapan pagi sampai jam sepuluh malam. Wah, empat belas jam! Benar juga ya, aku banyak menghabiskan waktu di Jakarta. Kalau dipikir-pikir, semestinya aku sudah menjadi penduduk Jakarta, karena sudah 60 % waktuku kuhabiskan di Jakarta. Aku mencari uang dengan menjadi penduduk Jakarta selama itu. Belum lagi kalau lembur, wih!
Tapi menjadi penduduk setengah hari begitu beda dengan yang sehari-hari tinggal di Jakarta. Yang tinggal di Jakarta harus menghadapi kemacetan setiap hari. Dalam jarak dekat sekalipun. Bayangkan dari Salemba ke Kramat saja tidak bisa dicapai dalam waktu 10 menit di pagi hari. Apalagi di Tanah Abang. Paling ruwet daerah sekitar situ. Yang tidak tinggal di Jakarta tinggal naik kendaraan umum langsung dan bisa sampai di tengah kota.
Ya, itu untuk yang kendaraan umumnya seperti kereta, tentu sangat praktis, karena langsung ke tengah kota tanpa harus melewati jalan raya yang macet luar biasa. Bayangkan, kalau tidak naik kereta, orang-orang pinggiran itu berangkat jam setengah enam atau jam enam pagi! Sayangnya, tidak semua daerah terjangkau kereta. Coba kamu pikir, kenapa jalan-jalan menuju Jakarta begitu macet?
Karena mobil pribadi, kan? Banyak yang tidak memaksimalkan ruang di mobil pribadinya. Satu mobil diisi satu orang saja. Lalu pada saat masuk daerah 3 in 1 pakai joki. Tapi di daerah bukan 3 in 1 itu mobil-mobil pribadi bikin macet. Apa semua Jakarta diberlakukan 3 in 1 aja supaya tidak macet lagi?
Wah, mana bisa begitu selama sistem transportasi umum tidak diperbaiki? Transportasi diperbaiki sehingga bisa mencapai jumlah kebutuhan warga Jakarta, baik yang warga tetap atau warga siang hari saja, barulah kita bisa melepas kendaraan pribadi dan beralih ke kendaraan umum. Tapi, selama pemerintahnya hanya sibuk membangun jalan layang ini itu yang banyak menggunakannya juga kendaraan pribadi. Coba lihat Jl Antasari itu, jalanan itu sehari-hari penuh dengan kendaraan pribadi, dulu. Lalu dibuat jalan layang di atasnya. Yang bakal lewat siapa? Kendaraan pribadi, oy! Jalur angkutan umum di Jl Antasari itu kan cuma sedikit. Bandingkan dengan padatnya Fatmawati- Panglima Polim. Kenapa nggak di situ aja? Sayang kan pepohonan hijau di Antasari yang harus ditebangi?
Padahal tanaman hijau kan sangat perlu untuk keteduhan dan juga sebagai paru-paru kota. Apa memang untuk dapat udara bersih di Jakarta harus mahal ya? Membangun taman-taman kota yang Cuma bisa dinikmati masyarakat menengah. Sementara masyarakat menengah ke bawah, harus berdesakan dalam gang sempit, dengan udara dan sanitasi yang sangat kurang. Justru anehnya, di tepi daerah padat, selalu ada tanah kosong, namun dimiliki pengembang besar. Tak berapa lama lagi, pasti berubah jadi perkantoran atau mal.
Hah, mal! Berapa banyak sih orang Jakarta yang butuh mal? Pasti nggak sampai 10 %nya deh yang mampu dan menggunakan mall itu setiap harinya. Siapa yang mau belanja terus-terusan? Setiap ada mal baru, pasti ada mal yang lama mati. Kalaupun tidak mati, ya megap-megap kekurangan pembeli. Atau mal baru, yang analisa pasarnya nggak bagus, tempatnya terlalu banyak saingan, jadi nggak laku, nggak ada yang jualan, akibatnya pembeli pun kurang. Lihat itu Mangga Dua Square dan WTC Mangga Dua, sekarang sepi-sepi saja dari pembeli. Yang jualan pun jarang, bagaimana mau menarik pembeli juga. Semua pembeli masih belanja di sekitaran Pasar Pagi Mangga Dua. Atau Thamrin City dengan promonya yang gembar-gembor itu. Lokasinya sih bagus, dekat sekali dengan Bundaran HI, dan tidak jauh dari Tanah Abang. Tapi kondisi malnya jauh dari ramai, apalagi dibandingkan dengan penuhnya area Tanah Abang. Sayang kan uang sebesar itu dipakai untuk pembangunan mal? Coba dipikir-pikir, bagaimana kalau lahan mal itu disulap jadi fasilitas umum, taman, lapangan olahraga, perpustakaan, dan lainnya yang lebih mendidik.
Kalau membangun mal high end sekalian, malah ramai dikunjungi oleh pehobi belanja merk-merk terkenal yang memuaskan keinginannya untuk mode, dan bergaya. Untuk mal yang sangat mewah ini, pengunjungnya berapa banyak sih dari penduduk Jakarta yang menikmati? Cuma golongan atas saja yang menikmati, sementara penduduk Jakarta sekitarnya hanya bisa menonton. Dari jarak yang jauh malah, karena sekedar mendekati pun mereka tidak berani. Kasihan kota ini, ada sedikit golongan yang benar-benar kaya dan konsumtif tinggi, dan golongan miskin yang banyak, dan hanya jadi pelayan buat si kaya ini.
Sebenarnya, para pemerintah di Jakarta itu tahu enggak sih tentang masalah-masalah ini? Apa mereka cuma berpihak pada yang kaya? Di buku ini banyak dipaparkan tentang masalah-masalah lain juga. Jakarta nggak cuma banjir dan macet katanya. Ada banyak lagi masalah ibukota. Mungkin memang tak semuanya tercakup di buku ini. Dari tragedi 98, lumpuhnya Jakarta sampai konversi gas. Agak bertanya-tanya sih, kenapa konversi minyak tanah ke gas bisa masuk ke buku ini. Karena kan konversinya nasional, bukan cuma di Jakarta saja. Kalau tragedi 98 itu sih memang melumpuhkan Jakarta, salah satu tanggal yang memang diingat sebagai sejarah. Di buku ini ada kronologisnya. Dari mulai penembakan, sampai rusuhnya Jakarta. Dan siapa bisa lupa dengan banjir tahun 2002? Ketika itu Jakarta lumpuh. Eh, tahun 2007, banjir lagi.
Tapi Jakarta itu unik, sampai dibuatkan buku seperti ini. Macet luar biasa, mal yang banyak, angkutan umum yang kurang, pembangunan rusunami rusunawa, kebakaran pasar yang berubah jadi mal, pemagaran taman, memang hanya terjadi di Jakarta. Kota ini juga yang memelopori 3 in 1 , dan untungnya, tak ada kota lain yang mengikuti, juga minggu car free day, yang banyak diikuti oleh kota-kota lain di Indonesia. Karena ia ibukota.
Seandainya semua ahli tata kota di Jakarta suka juga mengumpulkan kliping seperti ini, mungkin enggak ya Jakarta bebas macet tidak cuma impian? Tidak sekedar kliping tentunya, tapi juga disertai analisis dan kalau bisa ada usulan solusinya. Jadi, nggak banyak orang yang akan dengan sinis berkata, ‘Kemana aja nih para ahli tata kota Jakarta? Sudah selama ini, koq masih belum beres-beres kotanya.’
Pasti sih ada beberapa orang yang peduli terhadap kota Jakarta, namun sayangnya, belum banyak, dan pemerintah belum mau mendengar. Padahal, faktanya sudah di depan mata lho! Fakta bahwa banyak pemukiman di bawah jalan tol itu ketika kebakaran bisa membahayakan struktur di atasnya, fakta bahwa orang Jakarta membutuhkan ruang terbuka untuk menghirup udara segar, sampah warga Jakarta yangpemerintah tidak tahu mau diapakan, dan banyak hal yang dipaparkan di buku ini. Dengan info grafis yang menarik juga, tidak hanya tulisan semata.
Walau Jakarta masih banyak masalah begini, masih banyak juga orang mau tinggal berdesakan di Jakarta. Alasan dekat dengan tempat pekerjaan, dan takut lama di jalan. Makanan banyak, dan dekat kemana-mana, katanya. Ya, kan?
Lha, kan butuh uang juga untuk hidup. Maka mesti bisa juga dong hidup susah di Jakarta, di tengah kota berdesakan, demi penghematan waktu, dan memang dekat dengan segala fasilitas. Kebutuhan sehari-hari mudah dicapai. Pasar, mal, toko, tempat hiburan, terminal, tempat kerja, dekat. Hidup di Jakarta memang harus berjuang. Dinikmati saja, walaupun kadang-kadang mengutuk. Resiko hidup di Jakarta, ada keuntungannya, ada kekurangannya. Kamu sendiri?
Terima kasih deh.. Jakarta membuat tidak bisa merasakan berganti hari. Hidup di pinggiran Jakarta lebih enak, setiap hari bisa merasakan sejuknya pagi. Di Jakarta, siang panas, malam gerah, pagi panas lagi, bagaimana bisa bersemangat ganti hari? Karena ada jarak dengan Jakarta, jadi membuat tidak stres. Setiap hari naik kereta yang bisa langsung ke pusat kota Jakarta. Hemat juga, asal mau selama satu jam di jalan untuk mencari uang. Saya lebih baik tidak tinggal di Jakarta.
30.Desember.2011. bandung holiday.wind. 12.34.
peluncuran buku Kata Fakta Jakarta, 12 Oktober 2011, Goethe Institute
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
#2011-48
Membaca-baca buku ini, jadi pengen nanya, kenapa kamu mau tinggal di Jakarta?
Ah, aku nggak tinggal di Jakarta. Cuma kerja aja di sini. Setiap hari pulang ke pinggiran Jakarta.
Tapi kan kamu sehari-hari di Jakarta. Coba, berapa banyak waktu yang kamu habiskan di Jakarta!
Hmm, jam delapan pagi sampai jam sepuluh malam. Wah, empat belas jam! Benar juga ya, aku banyak menghabiskan waktu di Jakarta. Kalau dipikir-pikir, semestinya aku sudah menjadi penduduk Jakarta, karena sudah 60 % waktuku kuhabiskan di Jakarta. Aku mencari uang dengan menjadi penduduk Jakarta selama itu. Belum lagi kalau lembur, wih!
Tapi menjadi penduduk setengah hari begitu beda dengan yang sehari-hari tinggal di Jakarta. Yang tinggal di Jakarta harus menghadapi kemacetan setiap hari. Dalam jarak dekat sekalipun. Bayangkan dari Salemba ke Kramat saja tidak bisa dicapai dalam waktu 10 menit di pagi hari. Apalagi di Tanah Abang. Paling ruwet daerah sekitar situ. Yang tidak tinggal di Jakarta tinggal naik kendaraan umum langsung dan bisa sampai di tengah kota.
Ya, itu untuk yang kendaraan umumnya seperti kereta, tentu sangat praktis, karena langsung ke tengah kota tanpa harus melewati jalan raya yang macet luar biasa. Bayangkan, kalau tidak naik kereta, orang-orang pinggiran itu berangkat jam setengah enam atau jam enam pagi! Sayangnya, tidak semua daerah terjangkau kereta. Coba kamu pikir, kenapa jalan-jalan menuju Jakarta begitu macet?
Karena mobil pribadi, kan? Banyak yang tidak memaksimalkan ruang di mobil pribadinya. Satu mobil diisi satu orang saja. Lalu pada saat masuk daerah 3 in 1 pakai joki. Tapi di daerah bukan 3 in 1 itu mobil-mobil pribadi bikin macet. Apa semua Jakarta diberlakukan 3 in 1 aja supaya tidak macet lagi?
Wah, mana bisa begitu selama sistem transportasi umum tidak diperbaiki? Transportasi diperbaiki sehingga bisa mencapai jumlah kebutuhan warga Jakarta, baik yang warga tetap atau warga siang hari saja, barulah kita bisa melepas kendaraan pribadi dan beralih ke kendaraan umum. Tapi, selama pemerintahnya hanya sibuk membangun jalan layang ini itu yang banyak menggunakannya juga kendaraan pribadi. Coba lihat Jl Antasari itu, jalanan itu sehari-hari penuh dengan kendaraan pribadi, dulu. Lalu dibuat jalan layang di atasnya. Yang bakal lewat siapa? Kendaraan pribadi, oy! Jalur angkutan umum di Jl Antasari itu kan cuma sedikit. Bandingkan dengan padatnya Fatmawati- Panglima Polim. Kenapa nggak di situ aja? Sayang kan pepohonan hijau di Antasari yang harus ditebangi?
Padahal tanaman hijau kan sangat perlu untuk keteduhan dan juga sebagai paru-paru kota. Apa memang untuk dapat udara bersih di Jakarta harus mahal ya? Membangun taman-taman kota yang Cuma bisa dinikmati masyarakat menengah. Sementara masyarakat menengah ke bawah, harus berdesakan dalam gang sempit, dengan udara dan sanitasi yang sangat kurang. Justru anehnya, di tepi daerah padat, selalu ada tanah kosong, namun dimiliki pengembang besar. Tak berapa lama lagi, pasti berubah jadi perkantoran atau mal.
Hah, mal! Berapa banyak sih orang Jakarta yang butuh mal? Pasti nggak sampai 10 %nya deh yang mampu dan menggunakan mall itu setiap harinya. Siapa yang mau belanja terus-terusan? Setiap ada mal baru, pasti ada mal yang lama mati. Kalaupun tidak mati, ya megap-megap kekurangan pembeli. Atau mal baru, yang analisa pasarnya nggak bagus, tempatnya terlalu banyak saingan, jadi nggak laku, nggak ada yang jualan, akibatnya pembeli pun kurang. Lihat itu Mangga Dua Square dan WTC Mangga Dua, sekarang sepi-sepi saja dari pembeli. Yang jualan pun jarang, bagaimana mau menarik pembeli juga. Semua pembeli masih belanja di sekitaran Pasar Pagi Mangga Dua. Atau Thamrin City dengan promonya yang gembar-gembor itu. Lokasinya sih bagus, dekat sekali dengan Bundaran HI, dan tidak jauh dari Tanah Abang. Tapi kondisi malnya jauh dari ramai, apalagi dibandingkan dengan penuhnya area Tanah Abang. Sayang kan uang sebesar itu dipakai untuk pembangunan mal? Coba dipikir-pikir, bagaimana kalau lahan mal itu disulap jadi fasilitas umum, taman, lapangan olahraga, perpustakaan, dan lainnya yang lebih mendidik.
Kalau membangun mal high end sekalian, malah ramai dikunjungi oleh pehobi belanja merk-merk terkenal yang memuaskan keinginannya untuk mode, dan bergaya. Untuk mal yang sangat mewah ini, pengunjungnya berapa banyak sih dari penduduk Jakarta yang menikmati? Cuma golongan atas saja yang menikmati, sementara penduduk Jakarta sekitarnya hanya bisa menonton. Dari jarak yang jauh malah, karena sekedar mendekati pun mereka tidak berani. Kasihan kota ini, ada sedikit golongan yang benar-benar kaya dan konsumtif tinggi, dan golongan miskin yang banyak, dan hanya jadi pelayan buat si kaya ini.
Sebenarnya, para pemerintah di Jakarta itu tahu enggak sih tentang masalah-masalah ini? Apa mereka cuma berpihak pada yang kaya? Di buku ini banyak dipaparkan tentang masalah-masalah lain juga. Jakarta nggak cuma banjir dan macet katanya. Ada banyak lagi masalah ibukota. Mungkin memang tak semuanya tercakup di buku ini. Dari tragedi 98, lumpuhnya Jakarta sampai konversi gas. Agak bertanya-tanya sih, kenapa konversi minyak tanah ke gas bisa masuk ke buku ini. Karena kan konversinya nasional, bukan cuma di Jakarta saja. Kalau tragedi 98 itu sih memang melumpuhkan Jakarta, salah satu tanggal yang memang diingat sebagai sejarah. Di buku ini ada kronologisnya. Dari mulai penembakan, sampai rusuhnya Jakarta. Dan siapa bisa lupa dengan banjir tahun 2002? Ketika itu Jakarta lumpuh. Eh, tahun 2007, banjir lagi.
Tapi Jakarta itu unik, sampai dibuatkan buku seperti ini. Macet luar biasa, mal yang banyak, angkutan umum yang kurang, pembangunan rusunami rusunawa, kebakaran pasar yang berubah jadi mal, pemagaran taman, memang hanya terjadi di Jakarta. Kota ini juga yang memelopori 3 in 1 , dan untungnya, tak ada kota lain yang mengikuti, juga minggu car free day, yang banyak diikuti oleh kota-kota lain di Indonesia. Karena ia ibukota.
Seandainya semua ahli tata kota di Jakarta suka juga mengumpulkan kliping seperti ini, mungkin enggak ya Jakarta bebas macet tidak cuma impian? Tidak sekedar kliping tentunya, tapi juga disertai analisis dan kalau bisa ada usulan solusinya. Jadi, nggak banyak orang yang akan dengan sinis berkata, ‘Kemana aja nih para ahli tata kota Jakarta? Sudah selama ini, koq masih belum beres-beres kotanya.’
Pasti sih ada beberapa orang yang peduli terhadap kota Jakarta, namun sayangnya, belum banyak, dan pemerintah belum mau mendengar. Padahal, faktanya sudah di depan mata lho! Fakta bahwa banyak pemukiman di bawah jalan tol itu ketika kebakaran bisa membahayakan struktur di atasnya, fakta bahwa orang Jakarta membutuhkan ruang terbuka untuk menghirup udara segar, sampah warga Jakarta yangpemerintah tidak tahu mau diapakan, dan banyak hal yang dipaparkan di buku ini. Dengan info grafis yang menarik juga, tidak hanya tulisan semata.
Walau Jakarta masih banyak masalah begini, masih banyak juga orang mau tinggal berdesakan di Jakarta. Alasan dekat dengan tempat pekerjaan, dan takut lama di jalan. Makanan banyak, dan dekat kemana-mana, katanya. Ya, kan?
Lha, kan butuh uang juga untuk hidup. Maka mesti bisa juga dong hidup susah di Jakarta, di tengah kota berdesakan, demi penghematan waktu, dan memang dekat dengan segala fasilitas. Kebutuhan sehari-hari mudah dicapai. Pasar, mal, toko, tempat hiburan, terminal, tempat kerja, dekat. Hidup di Jakarta memang harus berjuang. Dinikmati saja, walaupun kadang-kadang mengutuk. Resiko hidup di Jakarta, ada keuntungannya, ada kekurangannya. Kamu sendiri?
Terima kasih deh.. Jakarta membuat tidak bisa merasakan berganti hari. Hidup di pinggiran Jakarta lebih enak, setiap hari bisa merasakan sejuknya pagi. Di Jakarta, siang panas, malam gerah, pagi panas lagi, bagaimana bisa bersemangat ganti hari? Karena ada jarak dengan Jakarta, jadi membuat tidak stres. Setiap hari naik kereta yang bisa langsung ke pusat kota Jakarta. Hemat juga, asal mau selama satu jam di jalan untuk mencari uang. Saya lebih baik tidak tinggal di Jakarta.
30.Desember.2011. bandung holiday.wind. 12.34.
peluncuran buku Kata Fakta Jakarta, 12 Oktober 2011, Goethe Institute
View all my reviews
RTH 30 %! Resolusi (Kota) Hijau
RTH 30 %! Resolusi (Kota) Hijau by Nirwono Joga
My rating: 4 of 5 stars
#2011-47
Hijau. Tanaman hijau adalah kebutuhan manusia mutlak untuk mempertahankan hidupnya. Tanaman menyerap karbondioksida yang kita keluarkan dan mengeluarkan oksigen untuk kita hirup. Oleh karena itu kita sebenarnya tidak bisa hidup tanpa tanaman hijau. Persyaratan 30% untuk kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH) itu seharusnya merupakan kebutuhan yang harus diupayakan dengan sungguh-sungguh.
Buku ini memang hanya memberi judul RTH 30% Resolusi (Kota) Hijau. Namun dalam contoh keseluruhan yang dibahas hanya kota Jakarta, pusat segala kecarutmarutan korupsi negeri, bahkan untuk lahan hijau yang tidak selalu jadi pertimbangan. Kota Jakarta yang makin sedikit lahan hijaunya dari tahun ke tahun. Di halaman 37 dipaparkan peta berkurangnya RTH di Jakarta sejak tahun 1972-2008. Selalu miris melihat fenomena seperti ini di kota. Di setiap kota yang mengklaim dirinya lebih maju, selalu area terbuka hijaunya menjadi berkurang. Pembangunan pusat perbelanjaan, perkantoran, industri, sangat sering meninggalkan kebutuhan akan Ruang Terbuka Hijau. Sekarang ini kita bisa lihat, berapa banyak pusat perbelanjaan di Jakarta yang tidak menyisakan satu jengkal tanah pun untuk RTH. Sisa lahan yang ada, menjadi jalan, perkerasan, parkir. Dianggapnya itu ruang terbuka yang bisa menyerap air. Padahal dengan kebanyakan jalan beton seperti sekarang ini, air tidak bisa menembus ke melalui pori-pori jalan, karena dasar beton dialas plastik. Bukan hanya aspal di atas sirtu (pasirbatu) yang bisa terlewati air dengan mudah.
Ya, apa yang terjadi jika kita kehilangan Ruang hijau? Tentu kita akan kekurangan udara segar, kekurangan air bersih, kekurangan tempat teduh, dan banyak lagi alasan dari yang lokal sampai global. Di sini dijabarkan, fungsi Ruang Terbuka Hijau untuk konservasi tanah dan air, menciptakan iklim mikro yang baik, pengendali pencemaran, habitat satwa, dan sarana kesehatan dan olahraga. Dalam tata ruang, area hijau muncul dalam cetak biru tata ruang kota. Ada area RTH publik yang sudah ditentukan kawasannya, ada RTH pribadi yang disyaratkan dengan KDB (Koefisien Dasar Bangunan yang berarti persentase luasan maksimal yang boleh dibangun dalam satu tapak) dan KDH (Koefisien Dasar hijau). Nilai ruang terbuka pribadi ini mutlak seharusnya dipatuhi, karena ini adalah untuk kenyamanan bersama. Apabila melanggar, sanksinya adalah bongkar, bukan denda yang bisa digantikan dengan uang, kembalikan pada persentase area terbuka yang tak boleh dibangun. Kembalikan pada fungsi aslinya sebagai area penyerapan air tanah.
Sebenarnya, pemerintah seharusnya tak menutup mata soal ruang terbuka ini. Setiap akhir pekan, area-area ruang hijau ini selalu ramai dikunjungi masyarakat yang hanya sekedar berolahraga, berekreasi, melepaskan penat dari kehidupan kota. Lihat Senayan, Monas, Kampus UI, yang selalu ramai di pagi akhir pekan. Tak kalah ramainya dengan pusat perbelanjaan. Masyarakat sangat butuh tempat ini. Bukti bahwa animo masyarakat tinggi untuk kebutuhan ruang ini. Janganlah terus-terusan demi bisnis maka prioritas akan ruang terbuka ditinggalkan, kalah dengan keinginan menjadikan kota Jakarta sebagai surga belanja dengan 200 mal!
Begitu banyak data dan fakta yang dipaparkan dalam buku ini. Sebab akibat penurunan RTH juga dijelaskan bertolak dari kejadian sehari-hari yang mudah kita jumpai, dan juga data-data statistik yang mendukung, foto-foto berwarna, dan bagan-bagan diagram. Tidak hanya sebab saja, beberapa upaya usulan untuk dilakukan pemerintah juga dituliskan. Dari potensi area-area mana yang bisa menjadi RTH, sampai harapan di tingkat pusat, baik Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Dalam Negeri, maupun Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, ada direktorat yang menangani RTH atau infrastruktur hijau untuk peningkatan kualitas lingkungan hidup. (h.192)
Semoga impian menjadikan Jakarta dan kota-kota lainnya punya RTH 30% bisa lekas terwujud. Tidak harus menunggu 50 tahun. Tidak harus menunggu 20 tahun. Pendidikan kepada masyarakat tentang pentingnya RTH ini harus terus dilakukan terus menerus, berkesinambungan untuk membangun kesadaran mereka. Sehingga RTH merupaka kebutuhan, bukan hanya sekedar gaya hidup hijau belaka.
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
#2011-47
Hijau. Tanaman hijau adalah kebutuhan manusia mutlak untuk mempertahankan hidupnya. Tanaman menyerap karbondioksida yang kita keluarkan dan mengeluarkan oksigen untuk kita hirup. Oleh karena itu kita sebenarnya tidak bisa hidup tanpa tanaman hijau. Persyaratan 30% untuk kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH) itu seharusnya merupakan kebutuhan yang harus diupayakan dengan sungguh-sungguh.
Buku ini memang hanya memberi judul RTH 30% Resolusi (Kota) Hijau. Namun dalam contoh keseluruhan yang dibahas hanya kota Jakarta, pusat segala kecarutmarutan korupsi negeri, bahkan untuk lahan hijau yang tidak selalu jadi pertimbangan. Kota Jakarta yang makin sedikit lahan hijaunya dari tahun ke tahun. Di halaman 37 dipaparkan peta berkurangnya RTH di Jakarta sejak tahun 1972-2008. Selalu miris melihat fenomena seperti ini di kota. Di setiap kota yang mengklaim dirinya lebih maju, selalu area terbuka hijaunya menjadi berkurang. Pembangunan pusat perbelanjaan, perkantoran, industri, sangat sering meninggalkan kebutuhan akan Ruang Terbuka Hijau. Sekarang ini kita bisa lihat, berapa banyak pusat perbelanjaan di Jakarta yang tidak menyisakan satu jengkal tanah pun untuk RTH. Sisa lahan yang ada, menjadi jalan, perkerasan, parkir. Dianggapnya itu ruang terbuka yang bisa menyerap air. Padahal dengan kebanyakan jalan beton seperti sekarang ini, air tidak bisa menembus ke melalui pori-pori jalan, karena dasar beton dialas plastik. Bukan hanya aspal di atas sirtu (pasirbatu) yang bisa terlewati air dengan mudah.
Ya, apa yang terjadi jika kita kehilangan Ruang hijau? Tentu kita akan kekurangan udara segar, kekurangan air bersih, kekurangan tempat teduh, dan banyak lagi alasan dari yang lokal sampai global. Di sini dijabarkan, fungsi Ruang Terbuka Hijau untuk konservasi tanah dan air, menciptakan iklim mikro yang baik, pengendali pencemaran, habitat satwa, dan sarana kesehatan dan olahraga. Dalam tata ruang, area hijau muncul dalam cetak biru tata ruang kota. Ada area RTH publik yang sudah ditentukan kawasannya, ada RTH pribadi yang disyaratkan dengan KDB (Koefisien Dasar Bangunan yang berarti persentase luasan maksimal yang boleh dibangun dalam satu tapak) dan KDH (Koefisien Dasar hijau). Nilai ruang terbuka pribadi ini mutlak seharusnya dipatuhi, karena ini adalah untuk kenyamanan bersama. Apabila melanggar, sanksinya adalah bongkar, bukan denda yang bisa digantikan dengan uang, kembalikan pada persentase area terbuka yang tak boleh dibangun. Kembalikan pada fungsi aslinya sebagai area penyerapan air tanah.
Sebenarnya, pemerintah seharusnya tak menutup mata soal ruang terbuka ini. Setiap akhir pekan, area-area ruang hijau ini selalu ramai dikunjungi masyarakat yang hanya sekedar berolahraga, berekreasi, melepaskan penat dari kehidupan kota. Lihat Senayan, Monas, Kampus UI, yang selalu ramai di pagi akhir pekan. Tak kalah ramainya dengan pusat perbelanjaan. Masyarakat sangat butuh tempat ini. Bukti bahwa animo masyarakat tinggi untuk kebutuhan ruang ini. Janganlah terus-terusan demi bisnis maka prioritas akan ruang terbuka ditinggalkan, kalah dengan keinginan menjadikan kota Jakarta sebagai surga belanja dengan 200 mal!
Begitu banyak data dan fakta yang dipaparkan dalam buku ini. Sebab akibat penurunan RTH juga dijelaskan bertolak dari kejadian sehari-hari yang mudah kita jumpai, dan juga data-data statistik yang mendukung, foto-foto berwarna, dan bagan-bagan diagram. Tidak hanya sebab saja, beberapa upaya usulan untuk dilakukan pemerintah juga dituliskan. Dari potensi area-area mana yang bisa menjadi RTH, sampai harapan di tingkat pusat, baik Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Dalam Negeri, maupun Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, ada direktorat yang menangani RTH atau infrastruktur hijau untuk peningkatan kualitas lingkungan hidup. (h.192)
Semoga impian menjadikan Jakarta dan kota-kota lainnya punya RTH 30% bisa lekas terwujud. Tidak harus menunggu 50 tahun. Tidak harus menunggu 20 tahun. Pendidikan kepada masyarakat tentang pentingnya RTH ini harus terus dilakukan terus menerus, berkesinambungan untuk membangun kesadaran mereka. Sehingga RTH merupaka kebutuhan, bukan hanya sekedar gaya hidup hijau belaka.
View all my reviews
When God was A Rabbit
When God was A Rabbit by Sarah Winman
My rating: 2 of 5 stars
#2011-45
Rasanya memang nggak biasa kalau kamu punya kelinci yang dikasih nama ‘god’. Atau ‘tuhan’. Atau mungkin kita saja yang nggak terbiasa untuk mengerti sekeluarga yang tidak percaya Tuhan. Mungkin kita bisa bilang aneh. Mungkin juga tidak. Keluarga dengan ayah dan ibu atheis, anak lelaki gay, tante lesbi, anak perempuan dengan rahasianya, sahabat perempuan yang masuk penjara, dan hadiah undian yang amat besar.
Dari awal ceritanya memang agak aneh dan penuh teka-teki. Banyak rahasia-rahasia yang disembunyikan dan tidak terungkap. Atau mungkin sebenarnya tersirat, tapi tidak tersurat. Agak aneh memang, karena kelihatannya buku ini cerita kehidupan keluarga yang diceritakan di atas.
when god was a rabbit : dari kalimatnya menjelaskan satu masa, ketika keluarga ini punya kelinci bernama ‘god’. Lalu apa istimewanya? Apa kelebihan kelinci ini? Apa ia seperti Edward Tulane di The Miraculous Journey of Edward Tulane Apa bedanya ketika ada ‘god’ dengan tidak ada ‘god’ (kelinci, maksud saya). Sepertinya keluarga ini tetap berjalan baik-baik saja. Jadi apa istimewanya kelinci ini? Mungkin ia hanya dijadikan satu simbol, penanda masa kecil.
Then what?? *bacanya geregetan*
Cerita ini menarik, tentang keluarga unik. Ngebayanginnya kalau film ini difilmkan mungkin seperti film The Kids are Allright, tentang 2 anak yang diasuh sepasang orangtua lesbian. Drama yang unik.
Tapi saya tidak bisa menikmati ceritanya. Apa cuma saya yang merasa demikian? Kenapa beberapa kalimat saya pasti mikir apa ya kalimatnya dalam bahasa inggris..
Maaf buat penerjemahnya yang kebetulan saya kenal. Kalimat-kalimatnya terasa ‘terjemahan banget’ dan agak tidak mengalir. Apa kata-kata dalam kalimat-kalimat asli tidak bisa diganti menjadi satu paragraf baru ya? Saya sih tidak tahu etik penerjemahan, tapi apabila dalam penerjemahannya kata per kata ini menimbulkan kekakuan (salah makna sih, tidak) apa boleh agak dibetulkan begitu? Maaf, karena saya bukan penulis juga, hanya pembaca, jadi kurang bisa memberikan saran kalimat.
h.127. scene : menatap ruang kosong yang ditinggalkan sebelum pindah.
Tidak ada piano untuk bermanuver; lukisan untuk mendandani tembok, atau karpet bertekstur berat untuk menghangatkan lantai batu. Tak ada lampu duduk yang menyembunyikan bayangan di sudut seperti penumpang gelap, atau peti kayu besar era Victoria yang berisi linen serta sachet-sachet lavender, dan berusaha keras menyingkirkan kelembaban selama bulan-bulan musim dingin. Tidak, semua itu belum kami punyai, tapi akan menyemarakkan hidup kami kelak.
Tidak ada piano yang bisa kami kelilingi (jika maksudnya manuver adalah itu), lukisan penghias dinding, atau karpet tebal penghangat lantai batu...
Tidak, semua itu belum kami miliki,...
h.152. scene : di perahu.
Kutelungkupkan tangan di depan alis, sinar matahari menusuk dan menerpa permukaan air, menyoroti buih yang centang perenang. Saat itu salah satu hari pengujung musim panas, baik alam maupun Joe merespons. Ia berbaring di lapisan jok dan menutupi wajahnya dengan topi memancing.
Kutudungkan tangan di atas mata,...menyoroti buih yang centang perenang (maaf dengan sering digunakannya kata ini akhir-akhir ini, saya nggak ngerti apa sih artinya centang perenang? Saya kira sejenis kondisi tali..).. hari penghujung (atau memang pengujung yang benar?) .. maupun Joe merespon (tanpa ‘s’)...
h.163. scene : di halaman.
Hari itu musim panas dan cerah, hari pertamaku melihat Mr. Arthur Henry berjalan memasuki desa mengakibatkan banyak mulut ternganga dan gosip Cornish yang bermacam-macam di siang hari. Ia mengenakan linen rangkap empat, kemeja bergaris biru dan kuning, serta dasi polkadot merah muda yang sangat besar hingga lehernya hampir tak terlihat. Ia membawa tongkat di satu tangan dan surat kabar di tangan sebelah lagi. Lalu sesekali ia mengibaskan tawon yang tertarik pada wangi manisnya bebungaan yang menguar dari kulit pucatnya.
Apa sih gosip Cornish atau linen rangkap empat? Mungkin perlu ditambahkan catatan kaki di sini.
Back cover :
Sementara itu, Elly memiliki rahasia besar yang disimpan erat-erat dari orang tuanya dan hanya diketahui oleh kakaknya, Joe. Tuhan jelas tidak sedang bermain dadu dalam hidup Ellie. Namun, ketika kemudian seekor kelici muncul dengan nama GOD, kehidupan Elly dan keluarganya pun berubah.
Elly dan Ellie. Apa nama panggilan bisa tidak konsisten dalam penulisan verbalnya? Kalau di dalam percakapan, mungkin bisa. Tapi kalau kalimat biasa, mungkin lebih baik tetap konsisten. Apalagi ini back cover.
Rahasia-rahasia yang ada di awal cerita, apakah terungkap di akhir? Kalau saya baca sih terungkap, namun dalam kondisi masih dirahasiakan (dari pembaca, untuk tokoh2nya sih, terungkap). Apa tabu untuk diungkapkan dengan gamblang? Rasanya enggak. Apa memang ceritanya begitu? Sengaja dengan gaya teka teki? Seperti menyembunyikan sesuatu yang dialami tokoh utama dengan menceritakan drama bertahun-tahun. Isu yang mau diangkat menjadi tidak kelihatan, tentang atheis dan rahasia Elly, tenggelam dalam kejadian-kejadian yang dialami keluarga ini, pindah rumah, gay, penjara, homeschool. Mungkin juga cerita ini ditulis tidak untuk menceritakan isu itu.
Mungkin hanya tentang hidup.
View all my reviews
My rating: 2 of 5 stars
#2011-45
Rasanya memang nggak biasa kalau kamu punya kelinci yang dikasih nama ‘god’. Atau ‘tuhan’. Atau mungkin kita saja yang nggak terbiasa untuk mengerti sekeluarga yang tidak percaya Tuhan. Mungkin kita bisa bilang aneh. Mungkin juga tidak. Keluarga dengan ayah dan ibu atheis, anak lelaki gay, tante lesbi, anak perempuan dengan rahasianya, sahabat perempuan yang masuk penjara, dan hadiah undian yang amat besar.
Dari awal ceritanya memang agak aneh dan penuh teka-teki. Banyak rahasia-rahasia yang disembunyikan dan tidak terungkap. Atau mungkin sebenarnya tersirat, tapi tidak tersurat. Agak aneh memang, karena kelihatannya buku ini cerita kehidupan keluarga yang diceritakan di atas.
when god was a rabbit : dari kalimatnya menjelaskan satu masa, ketika keluarga ini punya kelinci bernama ‘god’. Lalu apa istimewanya? Apa kelebihan kelinci ini? Apa ia seperti Edward Tulane di The Miraculous Journey of Edward Tulane Apa bedanya ketika ada ‘god’ dengan tidak ada ‘god’ (kelinci, maksud saya). Sepertinya keluarga ini tetap berjalan baik-baik saja. Jadi apa istimewanya kelinci ini? Mungkin ia hanya dijadikan satu simbol, penanda masa kecil.
Then what?? *bacanya geregetan*
Cerita ini menarik, tentang keluarga unik. Ngebayanginnya kalau film ini difilmkan mungkin seperti film The Kids are Allright, tentang 2 anak yang diasuh sepasang orangtua lesbian. Drama yang unik.
Tapi saya tidak bisa menikmati ceritanya. Apa cuma saya yang merasa demikian? Kenapa beberapa kalimat saya pasti mikir apa ya kalimatnya dalam bahasa inggris..
Maaf buat penerjemahnya yang kebetulan saya kenal. Kalimat-kalimatnya terasa ‘terjemahan banget’ dan agak tidak mengalir. Apa kata-kata dalam kalimat-kalimat asli tidak bisa diganti menjadi satu paragraf baru ya? Saya sih tidak tahu etik penerjemahan, tapi apabila dalam penerjemahannya kata per kata ini menimbulkan kekakuan (salah makna sih, tidak) apa boleh agak dibetulkan begitu? Maaf, karena saya bukan penulis juga, hanya pembaca, jadi kurang bisa memberikan saran kalimat.
h.127. scene : menatap ruang kosong yang ditinggalkan sebelum pindah.
Tidak ada piano untuk bermanuver; lukisan untuk mendandani tembok, atau karpet bertekstur berat untuk menghangatkan lantai batu. Tak ada lampu duduk yang menyembunyikan bayangan di sudut seperti penumpang gelap, atau peti kayu besar era Victoria yang berisi linen serta sachet-sachet lavender, dan berusaha keras menyingkirkan kelembaban selama bulan-bulan musim dingin. Tidak, semua itu belum kami punyai, tapi akan menyemarakkan hidup kami kelak.
Tidak ada piano yang bisa kami kelilingi (jika maksudnya manuver adalah itu), lukisan penghias dinding, atau karpet tebal penghangat lantai batu...
Tidak, semua itu belum kami miliki,...
h.152. scene : di perahu.
Kutelungkupkan tangan di depan alis, sinar matahari menusuk dan menerpa permukaan air, menyoroti buih yang centang perenang. Saat itu salah satu hari pengujung musim panas, baik alam maupun Joe merespons. Ia berbaring di lapisan jok dan menutupi wajahnya dengan topi memancing.
Kutudungkan tangan di atas mata,...menyoroti buih yang centang perenang (maaf dengan sering digunakannya kata ini akhir-akhir ini, saya nggak ngerti apa sih artinya centang perenang? Saya kira sejenis kondisi tali..).. hari penghujung (atau memang pengujung yang benar?) .. maupun Joe merespon (tanpa ‘s’)...
h.163. scene : di halaman.
Hari itu musim panas dan cerah, hari pertamaku melihat Mr. Arthur Henry berjalan memasuki desa mengakibatkan banyak mulut ternganga dan gosip Cornish yang bermacam-macam di siang hari. Ia mengenakan linen rangkap empat, kemeja bergaris biru dan kuning, serta dasi polkadot merah muda yang sangat besar hingga lehernya hampir tak terlihat. Ia membawa tongkat di satu tangan dan surat kabar di tangan sebelah lagi. Lalu sesekali ia mengibaskan tawon yang tertarik pada wangi manisnya bebungaan yang menguar dari kulit pucatnya.
Apa sih gosip Cornish atau linen rangkap empat? Mungkin perlu ditambahkan catatan kaki di sini.
Back cover :
Sementara itu, Elly memiliki rahasia besar yang disimpan erat-erat dari orang tuanya dan hanya diketahui oleh kakaknya, Joe. Tuhan jelas tidak sedang bermain dadu dalam hidup Ellie. Namun, ketika kemudian seekor kelici muncul dengan nama GOD, kehidupan Elly dan keluarganya pun berubah.
Elly dan Ellie. Apa nama panggilan bisa tidak konsisten dalam penulisan verbalnya? Kalau di dalam percakapan, mungkin bisa. Tapi kalau kalimat biasa, mungkin lebih baik tetap konsisten. Apalagi ini back cover.
Rahasia-rahasia yang ada di awal cerita, apakah terungkap di akhir? Kalau saya baca sih terungkap, namun dalam kondisi masih dirahasiakan (dari pembaca, untuk tokoh2nya sih, terungkap). Apa tabu untuk diungkapkan dengan gamblang? Rasanya enggak. Apa memang ceritanya begitu? Sengaja dengan gaya teka teki? Seperti menyembunyikan sesuatu yang dialami tokoh utama dengan menceritakan drama bertahun-tahun. Isu yang mau diangkat menjadi tidak kelihatan, tentang atheis dan rahasia Elly, tenggelam dalam kejadian-kejadian yang dialami keluarga ini, pindah rumah, gay, penjara, homeschool. Mungkin juga cerita ini ditulis tidak untuk menceritakan isu itu.
Mungkin hanya tentang hidup.
View all my reviews
Selimut Debu
Selimut Debu by Agustinus Wibowo
My rating: 5 of 5 stars
#2011-44
Pernah saya menonton film tentang sekelompok orang invalid, di padang pasir, yang mengejar-ngejar kaki palsu yang diterbangkan dengan parasut. Ketika membaca bagian rumah sakit untuk orang cacat ini, yang pekerja RSnya pun orang cacat juga, saya teringat film itu. Dulu saya masih tidak punya bayangan, negeri dongeng manakah yang penduduknya banyak yang invalid itu?
Membaca pemaparan Gus Weng tentang bahaya ranjau di mana-mana, bom yang bisa meledak kapan saja, di mana saja, saya menangis. Tuhan, kenapa masih ada perang? Kenapa orang tidak puas dengan tanahnya berdiam dan masih harus merampas tanah orang lain. Kenapa orang masih saling menyakiti?
Bom, ranjau, kematian, yang bagaikan berita biasa. Kepala manusia yang berharga lebih murah dari kepala kambing. Semua diselimuti pasir yang berarak, hanya debu belaka, di mana-mana.
Meringis melihat Gus Weng dibohongi oleh supir-supir truk, bahagia ketika dia disambut ramah laksana saudara di mana-mana, geram ketika ia dipukuli polisi, sampai miris, ketika seseorang bilang 'I like you very much' dan..
Negeri ini, negeri sejuta pasir, negeri bekas peperangan, tempat para NGO menangguk dana 'rehabilitasi' yang lebih banyak dialirkan untuk operasional pegawainya, tempat para perempuan merasa nyaman di dalam burqa-nya. Negeri ini, yang dikelilingi oleh pasir dan debunya, yang melindunginya dari pandangan mata, debu juga yang menyimpan ribuan ranjau yang siap meledak kapan saja ia diinjak. Debu seperti burqa yang melindungi dengan anonimitas, tetapi tak tahu bahaya kecantikan apa yang dikandung di sana.
Afganistan, negeri debu, apa kekayaanmu yang membuatmu terjebak dalam perang berkepanjangan? Apakah dirimu hanya benteng untuk negeri dingin di utara sebelum menghadapi selatan yang panas? Apakah dirimu benteng untuk penguasa-penguasa daratan minyak sebelum diserbu dari utara?
Minaret Jam. Apakah ini menara masjid, menara intai, menara dengan indahnya menjulang di tengah padang debu dan bebatuan. Beruntunglah selamat dari badai zaman. Lepas dari gempuran karena di lindungi oleh tebing curam.
Gus, awalnya aku iri sekali padamu. Perjalanan ke negeri ini hanya cocok untuk laki-laki. Perempuan sepertiku tak akan bisa berjalan-jalan bebas tanpa pendamping di negeri ini. Tapi membaca pengalamanmu yang menderita, naik turun truk, menginap di samovar, aku bertanya2, apa aku berani? Maka kubuang jauh2 rasa iriku dan mengikuti perjalananmu. Apalagi membaca bahwa ada perempuan Malaysia yang bisa, hmm, siapa tahu nanti aku bisa?
View all my reviews
My rating: 5 of 5 stars
#2011-44
Pernah saya menonton film tentang sekelompok orang invalid, di padang pasir, yang mengejar-ngejar kaki palsu yang diterbangkan dengan parasut. Ketika membaca bagian rumah sakit untuk orang cacat ini, yang pekerja RSnya pun orang cacat juga, saya teringat film itu. Dulu saya masih tidak punya bayangan, negeri dongeng manakah yang penduduknya banyak yang invalid itu?
Membaca pemaparan Gus Weng tentang bahaya ranjau di mana-mana, bom yang bisa meledak kapan saja, di mana saja, saya menangis. Tuhan, kenapa masih ada perang? Kenapa orang tidak puas dengan tanahnya berdiam dan masih harus merampas tanah orang lain. Kenapa orang masih saling menyakiti?
Bom, ranjau, kematian, yang bagaikan berita biasa. Kepala manusia yang berharga lebih murah dari kepala kambing. Semua diselimuti pasir yang berarak, hanya debu belaka, di mana-mana.
Meringis melihat Gus Weng dibohongi oleh supir-supir truk, bahagia ketika dia disambut ramah laksana saudara di mana-mana, geram ketika ia dipukuli polisi, sampai miris, ketika seseorang bilang 'I like you very much' dan..
Negeri ini, negeri sejuta pasir, negeri bekas peperangan, tempat para NGO menangguk dana 'rehabilitasi' yang lebih banyak dialirkan untuk operasional pegawainya, tempat para perempuan merasa nyaman di dalam burqa-nya. Negeri ini, yang dikelilingi oleh pasir dan debunya, yang melindunginya dari pandangan mata, debu juga yang menyimpan ribuan ranjau yang siap meledak kapan saja ia diinjak. Debu seperti burqa yang melindungi dengan anonimitas, tetapi tak tahu bahaya kecantikan apa yang dikandung di sana.
Afganistan, negeri debu, apa kekayaanmu yang membuatmu terjebak dalam perang berkepanjangan? Apakah dirimu hanya benteng untuk negeri dingin di utara sebelum menghadapi selatan yang panas? Apakah dirimu benteng untuk penguasa-penguasa daratan minyak sebelum diserbu dari utara?
Minaret Jam. Apakah ini menara masjid, menara intai, menara dengan indahnya menjulang di tengah padang debu dan bebatuan. Beruntunglah selamat dari badai zaman. Lepas dari gempuran karena di lindungi oleh tebing curam.
Gus, awalnya aku iri sekali padamu. Perjalanan ke negeri ini hanya cocok untuk laki-laki. Perempuan sepertiku tak akan bisa berjalan-jalan bebas tanpa pendamping di negeri ini. Tapi membaca pengalamanmu yang menderita, naik turun truk, menginap di samovar, aku bertanya2, apa aku berani? Maka kubuang jauh2 rasa iriku dan mengikuti perjalananmu. Apalagi membaca bahwa ada perempuan Malaysia yang bisa, hmm, siapa tahu nanti aku bisa?
View all my reviews
33 Pesan Nabi: Jaga Mata, Jaga Telinga, Jaga Mulut
33 Pesan Nabi: Jaga Mata, Jaga Telinga, Jaga Mulut by Vbi Djenggotten
My rating: 4 of 5 stars
#2011-43
dapat hadiah dari tante Sweetdhee buat ulang tahunnya Bintang yang ke 5.
pagi ini dibaca bintang,
"jaga mata, jaga telinga, jaga mulut.."
"yang jaga hidung siapa, bun?? "
*bundanya ngikik*
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
#2011-43
dapat hadiah dari tante Sweetdhee buat ulang tahunnya Bintang yang ke 5.
pagi ini dibaca bintang,
"jaga mata, jaga telinga, jaga mulut.."
"yang jaga hidung siapa, bun?? "
*bundanya ngikik*
View all my reviews
Pengakuan Pariyem: Dunia Batin Seorang Wanita Jawa
Pengakuan Pariyem: Dunia Batin Seorang Wanita Jawa by Linus Suryadi
My rating: 4 of 5 stars
#2011-42
Perempuan jawa itu, nduk..
Lihat sampul depannya. Seorang perempuan Jawa masa lalu dengan tubuh molek dan sintal, memakai kemben dan kain jarik, bersimpuh seperti layaknya abdi emban. Tolok ukur kecantikan beberapa dekade silam.
Pariyem, babu pada keluarga bangsawan Jawa, yang ikhlas sebagai abdi dalem, menyuarakan ceritanya seperti dongeng pengantar tidur. Cerita dari dirinya sendiri, sampai cerita tentang kehidupan di luar sana.
”Berapa lama beban saya tanggung
yang membelit pundak dan punggung
Ibarat benang bundhet
walau sukar bisa diurai
Ibarat senar ruwet
walau susah bisa diudhari
Tapi bathin dan perasaan manusia
tak ada dukun kampiun
sanggup menyidikara” (h.90)
Pariyem bahagia dengan hidupnya sebagai babu. Ia pasrah akan dunianya. Tak ada teriakan, tak ada tuntutan. Dunia dihadapannya adalah takdir yang harus dilalui. Yang dijalaninya dengan perasaan legowo kalau ada rintangan, syukur kalau ada anugerah.
”Nonton wayang itu jangan dipikir
tapi mesti dirasa dan diresapkan
Kita bagaikan air sungai – mengalir-
hanyut ke dalam lakon dan karawitan
yang dipergelarkan oleh ki dalang
Ramai bukan karena gamelan
Sunyi bukan karena kuburan
Tapi yang ramai seramai gamelan
yang sunyi sesunyi kuburan
Itulah rahasia di dalam batin
sebagai pusat getaran.” (h.115)
Pariyem mungkin tidak tahu, bahwa hidup tidak sesederhana itu. Atau ia tahu, namun tidak ambil pusing karenanya. Seperti seorang perempuan Jawa yang harus selalu manut apa kata lelaki. Tak boleh mengeluh, tak boleh berkesah. Mungkin hanya bisa berbagi, namun selebihnya harus disimpan dalam hati.
”Sungguhpun hanya begini saja
Batin saya sudah merasa bahagia
Lha apa ta tujuan orang hidup itu
kalau bukan mencapai kebahagiaan?
Lha saya sudah mendapatkannya, kok
tak perlu saya berpaling pandang
Dalam menggelinding dan terbanting
di pusat roda yang digelandang
Oleh Sang Waktu – Bethara Kala
tiap saat dan tiap harinya
Tiap pekan dan tiap bulannya
tiap musim dan tiap tahunnya
Dan tahun demi tahun terus berjalan
tak kenal ampun, tak kenal sayang
para pembangkang pun akan termakan
Dan tahun demi tahun terus berjalan
Menggelindingkan dan menggelandang
--- setiap insan
tanpa terkecuali saya --- “ h.238
***
kado ultah yang ke 31 tahun lalu.
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
#2011-42
Perempuan jawa itu, nduk..
Lihat sampul depannya. Seorang perempuan Jawa masa lalu dengan tubuh molek dan sintal, memakai kemben dan kain jarik, bersimpuh seperti layaknya abdi emban. Tolok ukur kecantikan beberapa dekade silam.
Pariyem, babu pada keluarga bangsawan Jawa, yang ikhlas sebagai abdi dalem, menyuarakan ceritanya seperti dongeng pengantar tidur. Cerita dari dirinya sendiri, sampai cerita tentang kehidupan di luar sana.
”Berapa lama beban saya tanggung
yang membelit pundak dan punggung
Ibarat benang bundhet
walau sukar bisa diurai
Ibarat senar ruwet
walau susah bisa diudhari
Tapi bathin dan perasaan manusia
tak ada dukun kampiun
sanggup menyidikara” (h.90)
Pariyem bahagia dengan hidupnya sebagai babu. Ia pasrah akan dunianya. Tak ada teriakan, tak ada tuntutan. Dunia dihadapannya adalah takdir yang harus dilalui. Yang dijalaninya dengan perasaan legowo kalau ada rintangan, syukur kalau ada anugerah.
”Nonton wayang itu jangan dipikir
tapi mesti dirasa dan diresapkan
Kita bagaikan air sungai – mengalir-
hanyut ke dalam lakon dan karawitan
yang dipergelarkan oleh ki dalang
Ramai bukan karena gamelan
Sunyi bukan karena kuburan
Tapi yang ramai seramai gamelan
yang sunyi sesunyi kuburan
Itulah rahasia di dalam batin
sebagai pusat getaran.” (h.115)
Pariyem mungkin tidak tahu, bahwa hidup tidak sesederhana itu. Atau ia tahu, namun tidak ambil pusing karenanya. Seperti seorang perempuan Jawa yang harus selalu manut apa kata lelaki. Tak boleh mengeluh, tak boleh berkesah. Mungkin hanya bisa berbagi, namun selebihnya harus disimpan dalam hati.
”Sungguhpun hanya begini saja
Batin saya sudah merasa bahagia
Lha apa ta tujuan orang hidup itu
kalau bukan mencapai kebahagiaan?
Lha saya sudah mendapatkannya, kok
tak perlu saya berpaling pandang
Dalam menggelinding dan terbanting
di pusat roda yang digelandang
Oleh Sang Waktu – Bethara Kala
tiap saat dan tiap harinya
Tiap pekan dan tiap bulannya
tiap musim dan tiap tahunnya
Dan tahun demi tahun terus berjalan
tak kenal ampun, tak kenal sayang
para pembangkang pun akan termakan
Dan tahun demi tahun terus berjalan
Menggelindingkan dan menggelandang
--- setiap insan
tanpa terkecuali saya --- “ h.238
***
kado ultah yang ke 31 tahun lalu.
View all my reviews
Dan Hujan Pun Berhenti
Dan Hujan Pun Berhenti by Farida Susanty
My rating: 4 of 5 stars
#2011-41
kamu mau bunuh diri?
ya, tapi kalau besok tidak hujan...
seberapa besarnya gue pengen mati, sebesar itu juga gue pengen hidup.
setiap kali gue pengen mati, gue takut. takut apa? takut bakal bagaimana gue kalo mati nanti. dan ternyata, gue emang belum siap. makanya gue belum mati. Tuhan memang belum ngijinin.
gue bahagia. gue bahagia ketika gue memang bahagia, dan sedih ketika gue sedih. ya, memang orang yang paling bisa menguasai moodnya adalah pembohong. menampilkan wajah palsu ceria di balik keramahan mereka. padahal mereka kesal luar biasa. kadang-kadang gue bisa nampilin muka seperti itu. kadang-kadang juga enggak. saat ketika gue jujur ini banyak orang gak terima. mereka pengen gue tetep bersikap manis walaupun lagi kesel. mereka minta gue tetep sabar. mereka gak mau terima kondisi gue sebenernya.
gue suka kesel sama orang-orang yang sok nasehatin gue. hear, jangan sok nasehatin deh kalo elo belum pernah ngalamin kayak gini. ini pake emosi, pake rasa. ngandelin logika lebih salah lagi.
kata orang cerita di sini terlalu emosional banget. terlalu teenage banget. anak yang pemarah banget. sure, kalau hidup lo lempeng-lempeng aja, dan gak pernah kesangkut masalah ini itu, atau elo termasuk orang yang tolerannya tinggi, elo akan ngerasa cape baca buku ini. begitu banyak teriakan emosi di sini, begitu labil tokoh-tokohnya. tokoh yang sendirian, yang dihantui mimpi buruk setiap hari. bukan cerita anak sma yang menye-menye jatuh cinta digodain saling benci lalu jadi cinta. tapi tentang menyakiti karena sakit, dendam amarah dan ketabahan menghadapinya. tentang masalah yang bertubi-tubi, yang dibuat sendiri dan konsekuensinya.
tentang ketakutan luar biasa dan ketidaktakutan sama sekali.
tentang ambisi hidup sendiri padahal tak bisa mandiri.
tentang kesombongan bisa mengatasi hidup tanpa orang lain.
tentang satu proses menjadi dewasa. marah itu wajar, tapi histeris itu enggak.
mun isukan teu hujan.. istilah bahasa sunda untuk sesuatu yang nggak pasti..
bisa ya, bisa enggak..
bisa jadi, bisa enggak..
liat aja besok deh..
gimana nanti..
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
#2011-41
kamu mau bunuh diri?
ya, tapi kalau besok tidak hujan...
seberapa besarnya gue pengen mati, sebesar itu juga gue pengen hidup.
setiap kali gue pengen mati, gue takut. takut apa? takut bakal bagaimana gue kalo mati nanti. dan ternyata, gue emang belum siap. makanya gue belum mati. Tuhan memang belum ngijinin.
gue bahagia. gue bahagia ketika gue memang bahagia, dan sedih ketika gue sedih. ya, memang orang yang paling bisa menguasai moodnya adalah pembohong. menampilkan wajah palsu ceria di balik keramahan mereka. padahal mereka kesal luar biasa. kadang-kadang gue bisa nampilin muka seperti itu. kadang-kadang juga enggak. saat ketika gue jujur ini banyak orang gak terima. mereka pengen gue tetep bersikap manis walaupun lagi kesel. mereka minta gue tetep sabar. mereka gak mau terima kondisi gue sebenernya.
gue suka kesel sama orang-orang yang sok nasehatin gue. hear, jangan sok nasehatin deh kalo elo belum pernah ngalamin kayak gini. ini pake emosi, pake rasa. ngandelin logika lebih salah lagi.
kata orang cerita di sini terlalu emosional banget. terlalu teenage banget. anak yang pemarah banget. sure, kalau hidup lo lempeng-lempeng aja, dan gak pernah kesangkut masalah ini itu, atau elo termasuk orang yang tolerannya tinggi, elo akan ngerasa cape baca buku ini. begitu banyak teriakan emosi di sini, begitu labil tokoh-tokohnya. tokoh yang sendirian, yang dihantui mimpi buruk setiap hari. bukan cerita anak sma yang menye-menye jatuh cinta digodain saling benci lalu jadi cinta. tapi tentang menyakiti karena sakit, dendam amarah dan ketabahan menghadapinya. tentang masalah yang bertubi-tubi, yang dibuat sendiri dan konsekuensinya.
tentang ketakutan luar biasa dan ketidaktakutan sama sekali.
tentang ambisi hidup sendiri padahal tak bisa mandiri.
tentang kesombongan bisa mengatasi hidup tanpa orang lain.
tentang satu proses menjadi dewasa. marah itu wajar, tapi histeris itu enggak.
mun isukan teu hujan.. istilah bahasa sunda untuk sesuatu yang nggak pasti..
bisa ya, bisa enggak..
bisa jadi, bisa enggak..
liat aja besok deh..
gimana nanti..
View all my reviews
Mistress of Spices (Penguasa Rempah-Rempah)
The Mistress of Spices by Chitra Banerjee Divakaruni
My rating: 4 of 5 stars
#2011-40
Tahukah kau, Tilo, hal yang paling menyedihkan di dunia? Itu adalah ketika kau memeluk seseorang yang paling kau cintai sampai hanya memikirkannya saja sudah seperti kilauan cahaya di dalam kepalamu, sedangkan kau merasakan bukan kebencian, kau merasakan kekosongan besar yang mengembang di dalam dirimu, dan kau tahu kau bisa memeluknya atau melepaskannya pergi, dan tidak ada perbedaan antara keduanya. h.207
Perempuan dan rempah-rempah, seharusnya seperti hal yang tak dapat dipisahkan. Di mana pun ia berada, aroma rempah menyelimuti tubuhnya. Pun dengan Tilo, yang ditunjuk untuk berada di Amerika bukan sekedar menjual rempah-rempah, namun juga menolong orang-orang dengan rempahnya itu. Itu misinya.
Dengan jahe, akar kebijaksanaan yang bertonjolan, ia menolong Geeta, gadis India yang hampir hilang di metropolis.
Dengan kalo marich, lada hitam, yang mempunyai kemampuan untuk menyedot keluar rahasia-rahasiamu.
Dengan dhania, biji ketumbar, berbentuk bulat seperti bumi, untuk menjernihkan penglihatanmu. Bila direndam dan diminum, airnya membersihkan dirimu dari kesalahan-kesalahan lama.
Dengan kayu manis, pembuat sahabat, kayu manis dalchini cokelat hangat seperti kulit, untuk menemukan bagimu seseorang yang akan berlarian bersamamu dan tertawa bersamamu dan mengatakan Inilah Amerika, tidak terlalu buruk.
Rempah-rempahlah yang membisikkan padanya siapa dari mereka yang harus diberikan pada orang-orang yang melangkah masuk ke tokonya. Rempah-rempah yang memutuskan untuk bicara, atau tidak bicara ketika ia melanggar peraturan sebagai penguasa. Rempah juga yang menolongnya memberikan kemudaan ketika ia ingin, ketika jiwa aslinya memberontak untuk merasakan gairah yang menggoda.
Dan ia sudah memilih.. Perempuan harus memilih bagaimana hidupnya harus dijalani. Dan cinta yang ia ingini.
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
#2011-40
Tahukah kau, Tilo, hal yang paling menyedihkan di dunia? Itu adalah ketika kau memeluk seseorang yang paling kau cintai sampai hanya memikirkannya saja sudah seperti kilauan cahaya di dalam kepalamu, sedangkan kau merasakan bukan kebencian, kau merasakan kekosongan besar yang mengembang di dalam dirimu, dan kau tahu kau bisa memeluknya atau melepaskannya pergi, dan tidak ada perbedaan antara keduanya. h.207
Perempuan dan rempah-rempah, seharusnya seperti hal yang tak dapat dipisahkan. Di mana pun ia berada, aroma rempah menyelimuti tubuhnya. Pun dengan Tilo, yang ditunjuk untuk berada di Amerika bukan sekedar menjual rempah-rempah, namun juga menolong orang-orang dengan rempahnya itu. Itu misinya.
Dengan jahe, akar kebijaksanaan yang bertonjolan, ia menolong Geeta, gadis India yang hampir hilang di metropolis.
Dengan kalo marich, lada hitam, yang mempunyai kemampuan untuk menyedot keluar rahasia-rahasiamu.
Dengan dhania, biji ketumbar, berbentuk bulat seperti bumi, untuk menjernihkan penglihatanmu. Bila direndam dan diminum, airnya membersihkan dirimu dari kesalahan-kesalahan lama.
Dengan kayu manis, pembuat sahabat, kayu manis dalchini cokelat hangat seperti kulit, untuk menemukan bagimu seseorang yang akan berlarian bersamamu dan tertawa bersamamu dan mengatakan Inilah Amerika, tidak terlalu buruk.
Rempah-rempahlah yang membisikkan padanya siapa dari mereka yang harus diberikan pada orang-orang yang melangkah masuk ke tokonya. Rempah-rempah yang memutuskan untuk bicara, atau tidak bicara ketika ia melanggar peraturan sebagai penguasa. Rempah juga yang menolongnya memberikan kemudaan ketika ia ingin, ketika jiwa aslinya memberontak untuk merasakan gairah yang menggoda.
Dan ia sudah memilih.. Perempuan harus memilih bagaimana hidupnya harus dijalani. Dan cinta yang ia ingini.
View all my reviews
Big Breasts and Wide Hips
Big Breasts and Wide Hips by Mo Yan
My rating: 5 of 5 stars
#2011-39
review ini aman untuk dikonsumsi. tidak mengandung spoiler.
tapi untuk 18+ ;))
Sewaktu pertama melihat buku ini direkomendasikan oleh mbak Endah Sulwesi, dari penerbit waktu itu, aku sudah tertarik membacanya. Cerita tentang kehidupan sekeluarga di masa Cina pendudukan Jepang, dan bagaimana mereka bertahan di tengah pergolakan politik itu sampai pada masa ketua Mao, pasti menjanjikan satu sisi sejarah yang menarik.
Dan hal yang paling menarik, tentu saja judulnya! Judul Big Breast and Wide Hips ini adalah satu-satunya kalimat yang tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pertama lihat judulnya tentu saja menggelitik. Judulnya begitu amat lah.. Kalau diterjemahkan mungkin saja bisa dicekal FPI karena dianggap mengandung pornografi, tak pantas dipajang di tempat umum. Alternatif terjemahannya mungkin ini :
1. Payudara Besar dan Pinggul Lebar -- biasa banget ya, seperti artikel kesehatan
2. Payudara Molek dan Pinggul yang Moleg -- terdengar cukup 'nakal' dan bikin cowok deg-degan. Berpotensi buat dicekal FPI.
Berhubung aku perempuan, jadi sebenarnya terdengar biasa-biasa saja, tidak berdesir atau apalah. Justru yang membuat aku deg-degan adalah ketika membacanya, di KRL atau kendaraan umum lainnya, dengan covernya yang berwarna merah cerah itu sangat menyolok untuk ditoleh orang, apalagi kalau sampai terintip judulnya. Jadi aku sering mengira, kalau ada orang yang melihat aku dengan pandangan aneh ketika membaca buku ini, apa dia mengira bahwa yang aku baca adalah novel yang penuh gairah, apa nggak malu gitu (lha, bacanya aja pagi-pagi di kereta), atau hanya terkagum-kagum saja melihat perempuan sekecil aku membaca buku yang begitu tebal. Walau begitu, aku lebih sering mengira yang pertama, jadinya lebih sering meletakkan kulit buku di pangkuanku, supaya judulnya tidak terbaca orang lain.
Dan judul buku ini bukan hanya pemanis wajah buku supaya menarik. Tetapi isinya juga menggambarkan kecantikan-kecantikan dan keindahan perempuan karena kelebihan mereka atas 'breast' dan 'hip' nya itu. Sembilan perempuan molek yang mempertaruhkan hidupnya untuk orang yang dicintainya, walaupun mereka saling membunuh, namun masih menyayangi karena sadar bahwa mereka sebenarnya keluarga. Pergantian rezim di sekeliling mereka yang berdampak pada pesona pimpinan yang membawa perempuan-perempuan ini, satu demi satu, mengikuti kata hatinya, yang mereka bilang itu cinta.
Tokoh perempuan utama, Ibu, banyak yang membandingkan dengan Ursula di 100 tahun kesunyian - Gabriel Garcia Marquez, tapi seperti biasa ketika membaca, aku mencoba melepaskan diri dari cerita lain, supaya bisa menikmati cerita ini, dan ternyata sangat mudah melepaskan Ibu dari Ursula, dengan caranya mempertahankan hidup, menghadapi keluarganya, getir dan emosi yang diderita ibu mampu membuatmu menggigit bibir, terenyuh. Situasi yang berbeda.
setiap orang tahu bahwa peluru tidak punya mata, bahwa selongsong artileri tidak akan menerima permintaan maaf. h.451
Deskripsi yang jujur tentang 'breast' dan 'hips' dari sisi satu-satunya lelaki dalam keluarga ini, tidak terlihat vulgar dan porno, tapi indah dan mengesankan, khayalan-khayalan remaja yang sebatas ia tahu, malah terkadang memang menggelitik, dan membuat aku berpikir, 'ooh, is that in a man's mind when they see our shape?'
View all my reviews
My rating: 5 of 5 stars
#2011-39
review ini aman untuk dikonsumsi. tidak mengandung spoiler.
tapi untuk 18+ ;))
Sewaktu pertama melihat buku ini direkomendasikan oleh mbak Endah Sulwesi, dari penerbit waktu itu, aku sudah tertarik membacanya. Cerita tentang kehidupan sekeluarga di masa Cina pendudukan Jepang, dan bagaimana mereka bertahan di tengah pergolakan politik itu sampai pada masa ketua Mao, pasti menjanjikan satu sisi sejarah yang menarik.
Dan hal yang paling menarik, tentu saja judulnya! Judul Big Breast and Wide Hips ini adalah satu-satunya kalimat yang tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pertama lihat judulnya tentu saja menggelitik. Judulnya begitu amat lah.. Kalau diterjemahkan mungkin saja bisa dicekal FPI karena dianggap mengandung pornografi, tak pantas dipajang di tempat umum. Alternatif terjemahannya mungkin ini :
1. Payudara Besar dan Pinggul Lebar -- biasa banget ya, seperti artikel kesehatan
2. Payudara Molek dan Pinggul yang Moleg -- terdengar cukup 'nakal' dan bikin cowok deg-degan. Berpotensi buat dicekal FPI.
Berhubung aku perempuan, jadi sebenarnya terdengar biasa-biasa saja, tidak berdesir atau apalah. Justru yang membuat aku deg-degan adalah ketika membacanya, di KRL atau kendaraan umum lainnya, dengan covernya yang berwarna merah cerah itu sangat menyolok untuk ditoleh orang, apalagi kalau sampai terintip judulnya. Jadi aku sering mengira, kalau ada orang yang melihat aku dengan pandangan aneh ketika membaca buku ini, apa dia mengira bahwa yang aku baca adalah novel yang penuh gairah, apa nggak malu gitu (lha, bacanya aja pagi-pagi di kereta), atau hanya terkagum-kagum saja melihat perempuan sekecil aku membaca buku yang begitu tebal. Walau begitu, aku lebih sering mengira yang pertama, jadinya lebih sering meletakkan kulit buku di pangkuanku, supaya judulnya tidak terbaca orang lain.
Dan judul buku ini bukan hanya pemanis wajah buku supaya menarik. Tetapi isinya juga menggambarkan kecantikan-kecantikan dan keindahan perempuan karena kelebihan mereka atas 'breast' dan 'hip' nya itu. Sembilan perempuan molek yang mempertaruhkan hidupnya untuk orang yang dicintainya, walaupun mereka saling membunuh, namun masih menyayangi karena sadar bahwa mereka sebenarnya keluarga. Pergantian rezim di sekeliling mereka yang berdampak pada pesona pimpinan yang membawa perempuan-perempuan ini, satu demi satu, mengikuti kata hatinya, yang mereka bilang itu cinta.
Tokoh perempuan utama, Ibu, banyak yang membandingkan dengan Ursula di 100 tahun kesunyian - Gabriel Garcia Marquez, tapi seperti biasa ketika membaca, aku mencoba melepaskan diri dari cerita lain, supaya bisa menikmati cerita ini, dan ternyata sangat mudah melepaskan Ibu dari Ursula, dengan caranya mempertahankan hidup, menghadapi keluarganya, getir dan emosi yang diderita ibu mampu membuatmu menggigit bibir, terenyuh. Situasi yang berbeda.
setiap orang tahu bahwa peluru tidak punya mata, bahwa selongsong artileri tidak akan menerima permintaan maaf. h.451
Deskripsi yang jujur tentang 'breast' dan 'hips' dari sisi satu-satunya lelaki dalam keluarga ini, tidak terlihat vulgar dan porno, tapi indah dan mengesankan, khayalan-khayalan remaja yang sebatas ia tahu, malah terkadang memang menggelitik, dan membuat aku berpikir, 'ooh, is that in a man's mind when they see our shape?'
View all my reviews
The Tombs of Atuan (Earthsea Cycle #2)
The Tombs of Atuan by Ursula K. Le Guin
My rating: 4 of 5 stars
#2011-38
Seperti buku sebelumnya, cerita di buku ini mengalun. Lembut, tenang, dengan sedikit riak-riak, dan terbaca indah dan anggun.
Gadis kecil yang terpilih menjadi pendeta itu tak nyaman dengan apa yang ditakdirkan dengannya. Bukannya ia belajar menjadi seorang pemimpin, tapi ia mengikuti hasrat dirinya.
Ia tahu takdirnya, tapi ia melawannya. Ia tak mau terpenjara dalam kekuasaan yang digenggamnya. Ia memilih bebas, dan kembali menggunakan nama kecilnya. Dan ia bertemu lagi dengan Ged.
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
#2011-38
Seperti buku sebelumnya, cerita di buku ini mengalun. Lembut, tenang, dengan sedikit riak-riak, dan terbaca indah dan anggun.
Gadis kecil yang terpilih menjadi pendeta itu tak nyaman dengan apa yang ditakdirkan dengannya. Bukannya ia belajar menjadi seorang pemimpin, tapi ia mengikuti hasrat dirinya.
Ia tahu takdirnya, tapi ia melawannya. Ia tak mau terpenjara dalam kekuasaan yang digenggamnya. Ia memilih bebas, dan kembali menggunakan nama kecilnya. Dan ia bertemu lagi dengan Ged.
View all my reviews
Arus Balik: Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara di Awal Abad 16
Arus Balik: Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara di Awal Abad 16 by Pramoedya Ananta Toer
My rating: 5 of 5 stars
#2011-37
Nenek moyangku orang pelaut
Gemar mengarung luas samudera
Menerjang ombak tiada takut
Menembus badai sudah biasa
Angin bertiup, layar berkembang
Ombak menderu di tepi pantai
Pemuda b'rani bangkit sekarang
Ke laut kita beramai-ramai
NUSANTARA. Apa yang bisa saya ceritakan tentang negeri ini? Sebuah negeri di tengah lautan luas, dengan pulau-pulau yang subur akan rempah-rempah di antaranya. Penghasil lada, pala, kayumanis, yang diburu di seluruh dunia. Cengkeh dan rokok kretek yang tak ada duanya.
Ya, dulu kita tergantung pada laut sebagai jalan membuka dunia. Pedagang dari Arab, Cina, India yang bersahabat membeli rempah dan menjual sutra. Kejayaan nusantara adalah armada. Phinisi yang membentangkan layarnya perkasa. Karena laut adalah pelindung kita. Pada angin kita berlayar, pada gelombang kita terjang.
Tetapi menunggu lebih lama adalah kebinasaan..
Di sini ada Wiranggaleng, pemuda desa yang pandai dan jujur, amat patuh pada atasannya, selalu mengikuti tanpa sadar benar dan salahnya. Prajurit yang berbakti, setia pada junjungan, abdi yang jujur dan dipermainkan kekuasaan. Kepiawaiannya di laut dan darat mendatangkan jaya untuk tahta, namun bala untuk diri dan keluarganya.
Prajurit, sejak dulu hidupmu selalu susah, tak berubah, hanya digunakan sebagai alat penguasa, martir untuk kejayaan tahta.
“Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang-orang lain pandai.”
Di sini ada Almawasa, syahbandar berlidah ular, makelar dari segala urusan adipati, penasihat yang hanya mementingkan diri sendiri. Licik, bengis, dan bermulut manis, Almasawa adalah otak dari persekongkolan, pengkhianatan, dan kebohongan terorganisir, tak punya nyali bila berdiri sendiri.
Cih! Sepertinya Almasawa banyak meninggalkan keturunan di nusantara masa kini. Ratusan pembohong, pembisik, penyebar isu, penjilat kelas kakap, muncul sebagai berita sehari-hari, melakukan pembenaran sana-sini, bertindak seolah-olah mewakili orang banyak, tapi sebenarnya memeras, dan mengiris-iris pedih.
"Semua Allah yang menentukan, Kanjeng Sunan," Manan masih juga membuka mulut. "Semua Kanjeng Sunan, tetapi yang yang tahu bertanggung jawab hanyalah manusia."
Di sini ada Sultan Trenggono, yang berkedudukan di Demak, bukan tepi laut. Kurang berhasrat mendirikan bandar besar di Jepara, namun lebih membesarkan pasukan darat. Menyerang perbatasan tetangganya sendiri, untuk memperbesar kerajaannya, dengan dalih penyebaran agama.
Kita punya laut, Sultan. Kita punya potensi yang bisa dikembangkan, kita punya jalan, kita punya kekayaan yang akan dicuri bila tidak terjaga. Kenapa darat yang diperkuat? Kenapa bukan kapal yang dibangun untuk menghadapi Peranggi?
Ah, jenderal tua itu. Rupanya ia meniru Trenggono selama 32 tahun memerintah. Diperkuatnya Angkatan Darat tempat ia dibesarkan, menciptakan pemimpin-pemimpin yang haus kekuasaan. Yang tega mengorbankan rakyat, saudara sendiri untuk memuluskan siasat kejayaan. Yang memungut upeti untuk kehidupan jaya yang semu. Dan menganaktirikan Angkatan Laut, penopang kejayaan Nusantara di masa lalu.
"Barang siapa kehilangan air, dia kehilangan tanah, barang siapa kehilangan laut, ia kehilangan darat.."
Nusantara negeriku. Kau berikan Pramoedya yang menulis kisah demikian dramatis. Kata-kata yang indah, pengobar semangat dan pelipur lara di negeri yang tuli ini. Lihat strategi perang Wiranggaleng, Kala Cuwil, Banteng Wareng. Lihat semangat juang yang tak pernah patah. Lihat prajurit yang begitu mulia demi keutuhan negerinya.
LALU KITA APA?
Apa kita hanya orang-orang yang berteriak-teriak IN-DO-NE-SIA di tepi lapangan bola? Apa kita hanya orang-orang yang berteriak TU-RUN-KAN di depan gedung MPR?
Berbuatlah untuk negeri ini, seperti Wiranggaleng, si prajurit.
Karena negeri ini tidak berdosa.
Penguasalah yang tidak bisa mengelolanya dengan baik. Jangan biarkan ia jatuh ke tangan penjilat dan pembohong yang mengatasnamakan negeri, namun tak lebih dari pencuri uang rakyat.
Air adalah kehidupan, darah yang mengaliri nadi. Laut adalah penghubung, pemersatu negeri nusantara ini. Surga keindahan Indonesia.
Jalesveva Jayamahe! Di laut kita jaya!
7 bintang.
View all my reviews
My rating: 5 of 5 stars
#2011-37
Nenek moyangku orang pelaut
Gemar mengarung luas samudera
Menerjang ombak tiada takut
Menembus badai sudah biasa
Angin bertiup, layar berkembang
Ombak menderu di tepi pantai
Pemuda b'rani bangkit sekarang
Ke laut kita beramai-ramai
NUSANTARA. Apa yang bisa saya ceritakan tentang negeri ini? Sebuah negeri di tengah lautan luas, dengan pulau-pulau yang subur akan rempah-rempah di antaranya. Penghasil lada, pala, kayumanis, yang diburu di seluruh dunia. Cengkeh dan rokok kretek yang tak ada duanya.
Ya, dulu kita tergantung pada laut sebagai jalan membuka dunia. Pedagang dari Arab, Cina, India yang bersahabat membeli rempah dan menjual sutra. Kejayaan nusantara adalah armada. Phinisi yang membentangkan layarnya perkasa. Karena laut adalah pelindung kita. Pada angin kita berlayar, pada gelombang kita terjang.
Tetapi menunggu lebih lama adalah kebinasaan..
Di sini ada Wiranggaleng, pemuda desa yang pandai dan jujur, amat patuh pada atasannya, selalu mengikuti tanpa sadar benar dan salahnya. Prajurit yang berbakti, setia pada junjungan, abdi yang jujur dan dipermainkan kekuasaan. Kepiawaiannya di laut dan darat mendatangkan jaya untuk tahta, namun bala untuk diri dan keluarganya.
Prajurit, sejak dulu hidupmu selalu susah, tak berubah, hanya digunakan sebagai alat penguasa, martir untuk kejayaan tahta.
“Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang-orang lain pandai.”
Di sini ada Almawasa, syahbandar berlidah ular, makelar dari segala urusan adipati, penasihat yang hanya mementingkan diri sendiri. Licik, bengis, dan bermulut manis, Almasawa adalah otak dari persekongkolan, pengkhianatan, dan kebohongan terorganisir, tak punya nyali bila berdiri sendiri.
Cih! Sepertinya Almasawa banyak meninggalkan keturunan di nusantara masa kini. Ratusan pembohong, pembisik, penyebar isu, penjilat kelas kakap, muncul sebagai berita sehari-hari, melakukan pembenaran sana-sini, bertindak seolah-olah mewakili orang banyak, tapi sebenarnya memeras, dan mengiris-iris pedih.
"Semua Allah yang menentukan, Kanjeng Sunan," Manan masih juga membuka mulut. "Semua Kanjeng Sunan, tetapi yang yang tahu bertanggung jawab hanyalah manusia."
Di sini ada Sultan Trenggono, yang berkedudukan di Demak, bukan tepi laut. Kurang berhasrat mendirikan bandar besar di Jepara, namun lebih membesarkan pasukan darat. Menyerang perbatasan tetangganya sendiri, untuk memperbesar kerajaannya, dengan dalih penyebaran agama.
Kita punya laut, Sultan. Kita punya potensi yang bisa dikembangkan, kita punya jalan, kita punya kekayaan yang akan dicuri bila tidak terjaga. Kenapa darat yang diperkuat? Kenapa bukan kapal yang dibangun untuk menghadapi Peranggi?
Ah, jenderal tua itu. Rupanya ia meniru Trenggono selama 32 tahun memerintah. Diperkuatnya Angkatan Darat tempat ia dibesarkan, menciptakan pemimpin-pemimpin yang haus kekuasaan. Yang tega mengorbankan rakyat, saudara sendiri untuk memuluskan siasat kejayaan. Yang memungut upeti untuk kehidupan jaya yang semu. Dan menganaktirikan Angkatan Laut, penopang kejayaan Nusantara di masa lalu.
"Barang siapa kehilangan air, dia kehilangan tanah, barang siapa kehilangan laut, ia kehilangan darat.."
Nusantara negeriku. Kau berikan Pramoedya yang menulis kisah demikian dramatis. Kata-kata yang indah, pengobar semangat dan pelipur lara di negeri yang tuli ini. Lihat strategi perang Wiranggaleng, Kala Cuwil, Banteng Wareng. Lihat semangat juang yang tak pernah patah. Lihat prajurit yang begitu mulia demi keutuhan negerinya.
LALU KITA APA?
Apa kita hanya orang-orang yang berteriak-teriak IN-DO-NE-SIA di tepi lapangan bola? Apa kita hanya orang-orang yang berteriak TU-RUN-KAN di depan gedung MPR?
Berbuatlah untuk negeri ini, seperti Wiranggaleng, si prajurit.
Karena negeri ini tidak berdosa.
Penguasalah yang tidak bisa mengelolanya dengan baik. Jangan biarkan ia jatuh ke tangan penjilat dan pembohong yang mengatasnamakan negeri, namun tak lebih dari pencuri uang rakyat.
Air adalah kehidupan, darah yang mengaliri nadi. Laut adalah penghubung, pemersatu negeri nusantara ini. Surga keindahan Indonesia.
Jalesveva Jayamahe! Di laut kita jaya!
7 bintang.
View all my reviews
Senyum Karyamin
Senyum Karyamin by Ahmad Tohari
My rating: 4 of 5 stars
#2011-36
Karyamin.
Sampir.
Sanwirya.
Waras.
Minem.
Kasdu.
Suing.
Kimin.
Blokeng.
Sutabawor.
Masgepuk.
Kenthus.
Dawet.
Samin.
Sulam.
Nama-nama pilihan Ahmad Tohari ini dalam kumpulan cerpen yang menyiratkan kesederhanaan, nama yang 'ndeso' sesuai dengan latar tempat penceritaan beliau, tempat desa dengan orang-orang yang tidak memikirkan menimbun harta, melainkan makan apa kita hari ini?
Mungkin mereka memikirkan apalah arti sebuah nama, dan nama itu yang dipakai sebagai pengingat kejadian saat anaknya lahir.
Tahun sekarang, siapa yang bisa ingat arti nama Suing, dan kenapa ada orang yang memberi nama anaknya demikian, daripada dinamai Yanto begitu misalnya. Ah, apalah arti sebuah nama, begitu sering orang berkata. Sederhana kata orang-orang ini. Dan masih berteman dengan takdir, sabar, nerimo, nasib...
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
#2011-36
Karyamin.
Sampir.
Sanwirya.
Waras.
Minem.
Kasdu.
Suing.
Kimin.
Blokeng.
Sutabawor.
Masgepuk.
Kenthus.
Dawet.
Samin.
Sulam.
Nama-nama pilihan Ahmad Tohari ini dalam kumpulan cerpen yang menyiratkan kesederhanaan, nama yang 'ndeso' sesuai dengan latar tempat penceritaan beliau, tempat desa dengan orang-orang yang tidak memikirkan menimbun harta, melainkan makan apa kita hari ini?
Mungkin mereka memikirkan apalah arti sebuah nama, dan nama itu yang dipakai sebagai pengingat kejadian saat anaknya lahir.
Tahun sekarang, siapa yang bisa ingat arti nama Suing, dan kenapa ada orang yang memberi nama anaknya demikian, daripada dinamai Yanto begitu misalnya. Ah, apalah arti sebuah nama, begitu sering orang berkata. Sederhana kata orang-orang ini. Dan masih berteman dengan takdir, sabar, nerimo, nasib...
View all my reviews
Klub Koktail
Klub Koktail by Madeleine Wickham
My rating: 2 of 5 stars
#2011-35
Buat siapa yang pernah baca Sophie Kinsella, pasti menyadari kalau gaya tulisannya lucu, dan penuh humor. Walaupun gadis-gadis Kinsella selalu mendapatkan keberuntungan mendadak setelah mengalami masa sial yang parah, tapi cara penceritaan sampai gadis-gadis ini berhasil dengan ide dan cara cerdas namun tidak terpikir oleh orang lain selalu membuat saya menutup novelnya dengan nyaman, karena merasa segar.
Nah, gaya penulisan yang segar ini yang nggak ditemui ketika Kinsella menulis dengan nama aslinya Madeleine Wickham. Ceritanya, sangat drama sekali, seperti di cerita ini, tentang 3 orang yang bersahabat, dengan persoalannya masing-masing, konflik dengan masuknya orang luar, pemecahan masalah oleh sahabat, selesai. Memang sih gaya cinderellanya tetap ada ketika gadis-gadis ini bertemu dengan pujaan hati yang super kaya, dan bisa membelikan mereka apa saja, tapi gaya penulisannya terasa setengah-setengah. Karakternya dangkal banget. Mungkin Wickham berusaha bikin karakter persahabatan seperti beberapa karya laris misalnya Sex and the City-nya Candace Bushnell atau In Her Shoes-nya Jennifer Weiner, tapi untuk buku ini bisa dikatakan tidak berhasil.
Persahabatan antara Candice, Roxanne dan Maggie yang kebetulan bekerja di media yang sama, kebetulan suka minum koktail bersama, punya permasalahan masing-masing, berantem, dan berbaikan lagi, terasa sangat biasa. Tidak ada konflik yang kuat dalam merangkai kisah ketiganya. Malah cenderung masalah satu orang tidak mempengaruhi yang lain. Maggie dan stress kelahiran bayinya, Candice dan “sahabat” barunya, dan Roxanne dengan pria misterius yang dicintainya. Tidak ada keterkaitan ketiganya. Hanya kebetulan saja bertemu kembali. Bedakan dengan adegan Carrie yang terjebak dalam waktu Miranda melahirkan atau curhat Charlotte dan Miranda soal mengurus bayi di Sex and the City.. Ada satu benang merah yang merangkaikan kisah. Di Cocktail for Three yang katanya bersahabat hanya bertemu di saat minum koktail bersama saja. Bahkan ibu hamil minum koktail, tanpa ada larangan dari sahabat2nya ini! Uggh..Selebihnya menceritakan tentang masalahnya sendiri-sendiri saja. Padahal dengan latar belakang tempat bekerja yang sama, mestinya bisa menjadi kunci rangkaian yang lebih menarik.
Dan sepertinya, sebelum terjebak dengan gaya melodrama ala Danielle Steele ini (which is I enjoyed Steele better) lebih baik membaca karya Mrs Wickham ini dengan nama Sophie Kinsella. Lebih menyegarkan!
View all my reviews
My rating: 2 of 5 stars
#2011-35
Buat siapa yang pernah baca Sophie Kinsella, pasti menyadari kalau gaya tulisannya lucu, dan penuh humor. Walaupun gadis-gadis Kinsella selalu mendapatkan keberuntungan mendadak setelah mengalami masa sial yang parah, tapi cara penceritaan sampai gadis-gadis ini berhasil dengan ide dan cara cerdas namun tidak terpikir oleh orang lain selalu membuat saya menutup novelnya dengan nyaman, karena merasa segar.
Nah, gaya penulisan yang segar ini yang nggak ditemui ketika Kinsella menulis dengan nama aslinya Madeleine Wickham. Ceritanya, sangat drama sekali, seperti di cerita ini, tentang 3 orang yang bersahabat, dengan persoalannya masing-masing, konflik dengan masuknya orang luar, pemecahan masalah oleh sahabat, selesai. Memang sih gaya cinderellanya tetap ada ketika gadis-gadis ini bertemu dengan pujaan hati yang super kaya, dan bisa membelikan mereka apa saja, tapi gaya penulisannya terasa setengah-setengah. Karakternya dangkal banget. Mungkin Wickham berusaha bikin karakter persahabatan seperti beberapa karya laris misalnya Sex and the City-nya Candace Bushnell atau In Her Shoes-nya Jennifer Weiner, tapi untuk buku ini bisa dikatakan tidak berhasil.
Persahabatan antara Candice, Roxanne dan Maggie yang kebetulan bekerja di media yang sama, kebetulan suka minum koktail bersama, punya permasalahan masing-masing, berantem, dan berbaikan lagi, terasa sangat biasa. Tidak ada konflik yang kuat dalam merangkai kisah ketiganya. Malah cenderung masalah satu orang tidak mempengaruhi yang lain. Maggie dan stress kelahiran bayinya, Candice dan “sahabat” barunya, dan Roxanne dengan pria misterius yang dicintainya. Tidak ada keterkaitan ketiganya. Hanya kebetulan saja bertemu kembali. Bedakan dengan adegan Carrie yang terjebak dalam waktu Miranda melahirkan atau curhat Charlotte dan Miranda soal mengurus bayi di Sex and the City.. Ada satu benang merah yang merangkaikan kisah. Di Cocktail for Three yang katanya bersahabat hanya bertemu di saat minum koktail bersama saja. Bahkan ibu hamil minum koktail, tanpa ada larangan dari sahabat2nya ini! Uggh..Selebihnya menceritakan tentang masalahnya sendiri-sendiri saja. Padahal dengan latar belakang tempat bekerja yang sama, mestinya bisa menjadi kunci rangkaian yang lebih menarik.
Dan sepertinya, sebelum terjebak dengan gaya melodrama ala Danielle Steele ini (which is I enjoyed Steele better) lebih baik membaca karya Mrs Wickham ini dengan nama Sophie Kinsella. Lebih menyegarkan!
View all my reviews
Langganan:
Postingan (Atom)