Kata Fakta Jakarta by Rujak Center for Urban Studies
My rating: 4 of 5 stars
#2011-48
Membaca-baca buku ini, jadi pengen nanya, kenapa kamu mau tinggal di Jakarta?
Ah, aku nggak tinggal di Jakarta. Cuma kerja aja di sini. Setiap hari pulang ke pinggiran Jakarta.
Tapi kan kamu sehari-hari di Jakarta. Coba, berapa banyak waktu yang kamu habiskan di Jakarta!
Hmm, jam delapan pagi sampai jam sepuluh malam. Wah, empat belas jam! Benar juga ya, aku banyak menghabiskan waktu di Jakarta. Kalau dipikir-pikir, semestinya aku sudah menjadi penduduk Jakarta, karena sudah 60 % waktuku kuhabiskan di Jakarta. Aku mencari uang dengan menjadi penduduk Jakarta selama itu. Belum lagi kalau lembur, wih!
Tapi menjadi penduduk setengah hari begitu beda dengan yang sehari-hari tinggal di Jakarta. Yang tinggal di Jakarta harus menghadapi kemacetan setiap hari. Dalam jarak dekat sekalipun. Bayangkan dari Salemba ke Kramat saja tidak bisa dicapai dalam waktu 10 menit di pagi hari. Apalagi di Tanah Abang. Paling ruwet daerah sekitar situ. Yang tidak tinggal di Jakarta tinggal naik kendaraan umum langsung dan bisa sampai di tengah kota.
Ya, itu untuk yang kendaraan umumnya seperti kereta, tentu sangat praktis, karena langsung ke tengah kota tanpa harus melewati jalan raya yang macet luar biasa. Bayangkan, kalau tidak naik kereta, orang-orang pinggiran itu berangkat jam setengah enam atau jam enam pagi! Sayangnya, tidak semua daerah terjangkau kereta. Coba kamu pikir, kenapa jalan-jalan menuju Jakarta begitu macet?
Karena mobil pribadi, kan? Banyak yang tidak memaksimalkan ruang di mobil pribadinya. Satu mobil diisi satu orang saja. Lalu pada saat masuk daerah 3 in 1 pakai joki. Tapi di daerah bukan 3 in 1 itu mobil-mobil pribadi bikin macet. Apa semua Jakarta diberlakukan 3 in 1 aja supaya tidak macet lagi?
Wah, mana bisa begitu selama sistem transportasi umum tidak diperbaiki? Transportasi diperbaiki sehingga bisa mencapai jumlah kebutuhan warga Jakarta, baik yang warga tetap atau warga siang hari saja, barulah kita bisa melepas kendaraan pribadi dan beralih ke kendaraan umum. Tapi, selama pemerintahnya hanya sibuk membangun jalan layang ini itu yang banyak menggunakannya juga kendaraan pribadi. Coba lihat Jl Antasari itu, jalanan itu sehari-hari penuh dengan kendaraan pribadi, dulu. Lalu dibuat jalan layang di atasnya. Yang bakal lewat siapa? Kendaraan pribadi, oy! Jalur angkutan umum di Jl Antasari itu kan cuma sedikit. Bandingkan dengan padatnya Fatmawati- Panglima Polim. Kenapa nggak di situ aja? Sayang kan pepohonan hijau di Antasari yang harus ditebangi?
Padahal tanaman hijau kan sangat perlu untuk keteduhan dan juga sebagai paru-paru kota. Apa memang untuk dapat udara bersih di Jakarta harus mahal ya? Membangun taman-taman kota yang Cuma bisa dinikmati masyarakat menengah. Sementara masyarakat menengah ke bawah, harus berdesakan dalam gang sempit, dengan udara dan sanitasi yang sangat kurang. Justru anehnya, di tepi daerah padat, selalu ada tanah kosong, namun dimiliki pengembang besar. Tak berapa lama lagi, pasti berubah jadi perkantoran atau mal.
Hah, mal! Berapa banyak sih orang Jakarta yang butuh mal? Pasti nggak sampai 10 %nya deh yang mampu dan menggunakan mall itu setiap harinya. Siapa yang mau belanja terus-terusan? Setiap ada mal baru, pasti ada mal yang lama mati. Kalaupun tidak mati, ya megap-megap kekurangan pembeli. Atau mal baru, yang analisa pasarnya nggak bagus, tempatnya terlalu banyak saingan, jadi nggak laku, nggak ada yang jualan, akibatnya pembeli pun kurang. Lihat itu Mangga Dua Square dan WTC Mangga Dua, sekarang sepi-sepi saja dari pembeli. Yang jualan pun jarang, bagaimana mau menarik pembeli juga. Semua pembeli masih belanja di sekitaran Pasar Pagi Mangga Dua. Atau Thamrin City dengan promonya yang gembar-gembor itu. Lokasinya sih bagus, dekat sekali dengan Bundaran HI, dan tidak jauh dari Tanah Abang. Tapi kondisi malnya jauh dari ramai, apalagi dibandingkan dengan penuhnya area Tanah Abang. Sayang kan uang sebesar itu dipakai untuk pembangunan mal? Coba dipikir-pikir, bagaimana kalau lahan mal itu disulap jadi fasilitas umum, taman, lapangan olahraga, perpustakaan, dan lainnya yang lebih mendidik.
Kalau membangun mal high end sekalian, malah ramai dikunjungi oleh pehobi belanja merk-merk terkenal yang memuaskan keinginannya untuk mode, dan bergaya. Untuk mal yang sangat mewah ini, pengunjungnya berapa banyak sih dari penduduk Jakarta yang menikmati? Cuma golongan atas saja yang menikmati, sementara penduduk Jakarta sekitarnya hanya bisa menonton. Dari jarak yang jauh malah, karena sekedar mendekati pun mereka tidak berani. Kasihan kota ini, ada sedikit golongan yang benar-benar kaya dan konsumtif tinggi, dan golongan miskin yang banyak, dan hanya jadi pelayan buat si kaya ini.
Sebenarnya, para pemerintah di Jakarta itu tahu enggak sih tentang masalah-masalah ini? Apa mereka cuma berpihak pada yang kaya? Di buku ini banyak dipaparkan tentang masalah-masalah lain juga. Jakarta nggak cuma banjir dan macet katanya. Ada banyak lagi masalah ibukota. Mungkin memang tak semuanya tercakup di buku ini. Dari tragedi 98, lumpuhnya Jakarta sampai konversi gas. Agak bertanya-tanya sih, kenapa konversi minyak tanah ke gas bisa masuk ke buku ini. Karena kan konversinya nasional, bukan cuma di Jakarta saja. Kalau tragedi 98 itu sih memang melumpuhkan Jakarta, salah satu tanggal yang memang diingat sebagai sejarah. Di buku ini ada kronologisnya. Dari mulai penembakan, sampai rusuhnya Jakarta. Dan siapa bisa lupa dengan banjir tahun 2002? Ketika itu Jakarta lumpuh. Eh, tahun 2007, banjir lagi.
Tapi Jakarta itu unik, sampai dibuatkan buku seperti ini. Macet luar biasa, mal yang banyak, angkutan umum yang kurang, pembangunan rusunami rusunawa, kebakaran pasar yang berubah jadi mal, pemagaran taman, memang hanya terjadi di Jakarta. Kota ini juga yang memelopori 3 in 1 , dan untungnya, tak ada kota lain yang mengikuti, juga minggu car free day, yang banyak diikuti oleh kota-kota lain di Indonesia. Karena ia ibukota.
Seandainya semua ahli tata kota di Jakarta suka juga mengumpulkan kliping seperti ini, mungkin enggak ya Jakarta bebas macet tidak cuma impian? Tidak sekedar kliping tentunya, tapi juga disertai analisis dan kalau bisa ada usulan solusinya. Jadi, nggak banyak orang yang akan dengan sinis berkata, ‘Kemana aja nih para ahli tata kota Jakarta? Sudah selama ini, koq masih belum beres-beres kotanya.’
Pasti sih ada beberapa orang yang peduli terhadap kota Jakarta, namun sayangnya, belum banyak, dan pemerintah belum mau mendengar. Padahal, faktanya sudah di depan mata lho! Fakta bahwa banyak pemukiman di bawah jalan tol itu ketika kebakaran bisa membahayakan struktur di atasnya, fakta bahwa orang Jakarta membutuhkan ruang terbuka untuk menghirup udara segar, sampah warga Jakarta yangpemerintah tidak tahu mau diapakan, dan banyak hal yang dipaparkan di buku ini. Dengan info grafis yang menarik juga, tidak hanya tulisan semata.
Walau Jakarta masih banyak masalah begini, masih banyak juga orang mau tinggal berdesakan di Jakarta. Alasan dekat dengan tempat pekerjaan, dan takut lama di jalan. Makanan banyak, dan dekat kemana-mana, katanya. Ya, kan?
Lha, kan butuh uang juga untuk hidup. Maka mesti bisa juga dong hidup susah di Jakarta, di tengah kota berdesakan, demi penghematan waktu, dan memang dekat dengan segala fasilitas. Kebutuhan sehari-hari mudah dicapai. Pasar, mal, toko, tempat hiburan, terminal, tempat kerja, dekat. Hidup di Jakarta memang harus berjuang. Dinikmati saja, walaupun kadang-kadang mengutuk. Resiko hidup di Jakarta, ada keuntungannya, ada kekurangannya. Kamu sendiri?
Terima kasih deh.. Jakarta membuat tidak bisa merasakan berganti hari. Hidup di pinggiran Jakarta lebih enak, setiap hari bisa merasakan sejuknya pagi. Di Jakarta, siang panas, malam gerah, pagi panas lagi, bagaimana bisa bersemangat ganti hari? Karena ada jarak dengan Jakarta, jadi membuat tidak stres. Setiap hari naik kereta yang bisa langsung ke pusat kota Jakarta. Hemat juga, asal mau selama satu jam di jalan untuk mencari uang. Saya lebih baik tidak tinggal di Jakarta.
30.Desember.2011. bandung holiday.wind. 12.34.
peluncuran buku Kata Fakta Jakarta, 12 Oktober 2011, Goethe Institute
View all my reviews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar