Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami
My rating: 4 of 5 stars
#2012-04
”Kami, para lelaki, sering melakukan sesuatu demi kegagahan. Tapi kaum perempuan berbuat demi kehidupan. Lelaki sering berbuat untuk egonya sendiri, sedang perempuan berbuat untuk orang lain.” (h.135)
Hai, Enrico, kamu tahu? Kisahmu ini sangat unik. Kamu beruntung sekali punya Ayu yang bisa menuliskan cerita hidupmu. Tidak semua orang beruntung bertemu Ayu dan dituliskan perjalanan hidupnya, lho.
Aku suka ibumu, perempuan kuat yang rela masuk hutan untuk mendampingi ayahmu. Perempuan bersepatu pantovel dengan betis mengkal, siap menanggung beban keluarga dan anak-anaknya. Membesarkan dirimu di tengah bayangan kehilangan kakakmu. Aku tahu, kehilangan terbesar bagi ibu adalah kehilangan anaknya. Saat itu seperti separuh jiwanya hilang. Saat yang ditimang-timang, dicinta, dirawat dengan perhatian yang lebih besar dari pada kepada kekasih. Lalu tiba-tiba hilang, kosong, tak tahu lagi bagaimana menyalurkan energinya. Jadi ketika si Khasiar sang Pengkhabar hadir untuk memberikan jalan pencerahan untuk bertemu kembali dengan kakakmu, ditempuhnya jalan itu.
Seperti juga Enrico yang katanya tidak ingat lagi kematian kakaknya. Kehilangan saudara kandung ketika kecil itu berat. Tiba-tiba belahan jiwa, teman ketika bangun dan sebelum tidur. Dulu aku juga menangisi adikku selama dua minggu, katanya. Dan seperti Enrico, menghilangkan kesedihan adalah dengan perlahan melupakan, mengalihkan pada hal-hal lain.
“Cuma yang sungguh setiakawan adalah dia yang berkorban untuk sesuatu yang tanpa harapan sekalipun!” (h.145)
Tadinya, aku merasa bahwa cerita ini sangat mirip dengan gaya bercerita Salman Rushdie di Midnight Children. Cerita tentang seorang anak dengan waktu kelahiran yang unik, dan kisah hidup yang dihubung-hubungkan dengan sejarah yang terjadi pada masa itu. Aku maklum. Ayu pernah membahas buku ini di Galeri Salihara tempat aku mendengarnya bercakap. Pasti ia suka sekali juga dengan buku ini. Namun, aku berontak dari pikiranku sendiri! Cerita, haruslah dinikmati sendiri, jangan dipikir dengan susah, dikira mirip ini mirip itu, yang membuat kita tidak bisa menikmati ceritanya. Kosongkan pikiran kalau perlu sebelum membaca! Karena yang membuat sebuah cerita itu bagus atau tidak adalah penceritaannya sendiri. Jangan asal membandingkan, karena siapa tahu pembandingnya tidak tepat. Nikmati saja. Baca. Karena Cerita Cinta Enrico ini begitu mengalir, mudah dipahami, seperti mendengar Ayu berkisah bercerita di depan panggung.
”Jika angin itu sedang menerpa lawan mainmu, biarkan dia di atas angin. Sama seperti dengan perempuan, kau harus tahu kapan kau di aatas dan kapan di bawah. Jangan kau paksa dia membuka kartunya. Tinggal pandai-pandai kau membaca angin itu. Aku tak pernah kalah telak, sebab aku tahu kapan berhenti.” (h.140)
Kehidupan masa muda sesudah masa kanak juga dilalui dengan keras. Perjalanan cintamu sendiri rupanya tidak mulus, ya. Tidak tahu, apakah kamu memanfaatkan perempuan untuk kesenanganmu, atau perempuan memanfaatkan untuk kesenangan mereka. Eh, apakah perempuan sama dengan cinta? Mungkin bagi sebagian laki-laki, tidak ya?
Tapi tidak disangkal, laki-laki memang butuh perempuan. Ketika tidak ada, terasa ada yang hilang. Mungkin ini akibat kehilangan tulang rusuk di masa penciptaan. Enrico, ternyata takut juga kamu ditinggal Ayu.
”Betapa menakutkan hidup jika kau tidur dengan mimpi buruk dan terjaga dalam kekosongan. Setiap kali kekosongan itu begitu mencekat, aku menginginkan hadirnya kekasih.” (h.168)
View all my reviews
5 komentar:
aku belum pernah baca bukunya ayu utami #kode
hhmm....covernya sih gak menarik (tipe orang yg judge book by its cover), tapi ceritanya kok bagus ya. Jadi pengen baca #kode
@a.s dewi, hahahaha sama2 pake #kode nih ngomongnya *nemu saingan* :p
yeeeyyyyy... kalian pada bisa komen yaaaaa....
Haii.. Indri. Salam kenal, ya! Baru pertama kali berkunjung, dan baru mencoba bikin blog khusus buku. :)
Posting Komentar