ulasan. resensi. kesan.

ulasan. resensi. kesan. ini bukuku, apa bukumu?

Jumat, 01 Maret 2013

Si Parasit Lajang

Si Parasit LajangSi Parasit Lajang by Ayu Utami

My rating: 4 of 5 stars


Aku suka tulisan Ayu Utami. Banyak juga temanku yang tidak suka. Kebanyakan malah laki-laki. Aku curiga, jangan-jangan mereka menjadi merasa bodoh karena Ayu banyak menuliskan dominasi perempuan sebagai tokohnya. Eh, yang sangat mendominasi di Saman, sih. Beberapa orang yang banyak membaca itu tidak suka tulisan Ayu di sini karena dianggap terlalu vulgar. Menurut aku tingkat vulgarnya biasa-biasa aja, sih. Yang dituliskan kejujuran, namun tidak genit. Ia mengutarakan apa yang ada di kepalanya, dari sudut pandang perempuan biasa. Perempuan yang biasa menerima pertanyaan, “Kenapa tidak menikah?”

Haha, kalau dipikir sebenarnya banyak perempuan yang ingin teriak seperti ini. Kalau belum menikah kenapa? Masalah? Lalu harus mendengarkan pendapat-pendapat mestinya begini, mestinya begitu dari orang-orang yang merasa hidupnya sudah sempurna. Seolah tidak punya pasangan adalah hal yang harus dijeritkan oleh perempuan di atas 30 tahun. Nggak menikah saja. Simpel kan. Dan kehidupan orang yang tidak menikah juga bukan tidak serumit orang menikah juga. Bedanya kan ia menghadapinya sendirian. Tapi selama masih punya teman-teman yang menyayangi, contohnya seperti Sahal, apa yang ditakutkan?

Aku pernah punya buku ini dengan sampul biru yang lama, kemudian tidak pernah kembali ketika dipinjam teman yang menjadi single sesudah menikah (tahu artinya?) kemudian menghilang entah ke mana. Baru akhir tahun lalu seorang teman dari luar pulaumenghibahkan buku bersampul biru ini padaku, dan ternyata Ayu menerbitkan lagi buku berisi kumpulan pendapatnya dia ini. Ada beberapa lebih dan kurangnya sepertinya.

Aku mencari satu bagian orang tidak menikah namun tidak punya teman juga. Misalnya bagaimana Ayu tanpa Sahal, tanpa teman-teman ngebirnya, tanpa pacarnya. Bagaimana ia menyelesaikan persoalan yang harus bersama namun ketika sendiri. Punya lelaki enak juga, misalnya bisa diminta tolong ke bengkel, naik memeriksa genteng bocor, ngangkat barang-barang berat, dengan imbalan senyuman. Namun bisa bayar orang juga untuk melakukan semua itu. Atau minta teman-teman lelaki yang melakukannya. Jadi bisa-bisa pasangan lelaki tak penting lagi. Ternyata tak ada di buku ini. Mungkin di buku selanjutnya?

Memang suka aneh. Dalam masyarakat umum kita, yang lajang akan iri pada yang berpasangan, karena ada tempat berbagi sehari-hari. Yang berpasangan iri pada yang lajang karena bisa bebas ke mana pun disuka. Padahal hidup itu pilihan, loh. Mau berpasangan, berarti siap diikat, kalau mau bebas, bebas berdua saja. Mau melajang, berarti siap menolong diri sendiri, bisa pergi ke mana pun disuka. Nah, kenapa juga di masyarakat kita perbedaan urusan melajang dan menikah berkisar antara ‘bebas melakukan apa saja yang disuka?’

Tapi, lama-lama juga sepertinya masyarakat kita semakin tidak peduli urusan ini. Pertanyaan soal status yang akan dibahas berkepanjangan lama-lama hanya beredar di kalangan ibu rumah tangga yang kekurangan urusan. Dunia sudah semakin sibuk. Perempuan semakin berani menentukan jalan hidupnya. Dan laki-laki harus mulai keras mengejar untuk lebih dari perempuan karena agama masih menghendaki lelaki sebagai pemimpin.




View all my reviews

1 komentar:

Sinta Nisfuanna mengatakan...

covernya ngingetin ma little marmeid :D
lebih suka cover lamanya