Fira dan Hafez by Fira Basuki
My rating: 4 of 5 stars
"Memiliki seharusnya mengajarkan kita tentang kehilangan dan kehilangan seharusnya mengajarkan kita tentang memiliki.”
Kata-kata itu update-an seorang teman-yang tidak terlalu akrab- di twitter tadi malam. Kedengerannya klise khas kata-kata motivator ya? Tapi buat siapa pun yang pernah memiliki kehilangan, pasti tahu rasanya seperti ini. Tidak seperti orang-orang yang hidupnya begitu normal, yang lempeng aja sok memberi nasihat.
Aku nggak bisa bohong, bahwa air mataku menggenang sambil membaca buku ini, membaca cerita sederhana yang dituturkan Fira tentang Hafez, suami keduanya yang meninggal sebelum umur 30 tahun mendadak karena aneurisma. Aku masih ingat dua tahun lalu, ketika aku membaca kabar kematian Hafez, dan kutuliskan status di google+ ku : "Bagaimana rasanya mencintai seperti itu?"
Cerita kehidupan singkat yang manis, masa-masa yang dilewati berdua, cara berkomunikasi, hal-hal sederhana yang dijalani, sekadar naik motor berdua yang lucu, Hafez, kamu pantas dicintai seperti itu. Bahwa seseorang yang kehilanganmu akan mengenangmu dengan cara yang indah.
Aku mengenal buku-buku Fira sejak masa awal umur 20-anku, dan entah kenapa merasa cocok. Buku-bukunya seperti menjadi teman, karena tidak disesaki dengan banyak petuah dan hidup itu seharusnya bagaimana, tetapi mengalir begitu saja, sesuatu sebab yang mungkin terjadi dan akibat dari hal-hal yang diungkapkan.
Fira menjelaskan bukan bagaimana perempuan menjadi tegar, tapi tentang kesakitan itu sendiri. Tentang hal-hal yang mesti ditanggungkan. Tentang jatuh cinta yang salah, tentang hati yang berbalik arah, tentang raga yang meninggalkan jiwa, tentang mabuk, ketidakbahagiaan, dan kegagalan dalam tangisan. Karena hal-hal itu ada, namun tidak pernah mampir di kehidupan orang normal, yang kehidupan cintanya semulus cerpen masa SMA. Dan ini yang banyak tidak dimengerti orang. Akibatnya orang sibuk men-judge, asik menasehati, tanpa tahu bagaimana rasanya kalah. Orang enak saja bilang, 'sudahlah' ketika sesak di dada ingin teriak, bukannya memberikan belanga untuk menangis.
Haters always everywhere. Ketika banyak orang mengatakan lebay, berlebihan, karena sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa soal kehilangan. Atau mereka terlalu sombong ketika berhasil mengatasinya.
Apakah saya berhenti menangis gara-gara sudah menulis ini? Tidak. Saya masih menangis setiap hari, bangun tidur, sebelum tidur, bahkan ketika saya berjalan sendirian di mal. Pasrah, ikhlas, bukan berarti saya tidak menangis. Ijinkan saya menangis. Bahkan setiap air adalah cerminan hati saya. Bukan karena sedih, tapi karena saya manusia dan saya mencintai Hafez. (h.110)
I feel you, mbak Fira. Ketika gamang dan rapuh memang seseorang rentan menangis. Aku pun masih seperti itu. Terkadang mentertawakan kehidupan, terkadang mengingat sambil menangis. Setelah tiga tahun yang lalu, terlalu banyak perubahan dalam diriku. Karena aku sadar yang berdiri adalah sesuatu yang rapuh, bisa hancur dalam sekali sentuh. Seperti tanah liat yang berdiri karena air, dan lebur ketika airnya menguap. Atau tanah yang berdiri tegak, namun hancur hanyut dibawa arus air..
Ketika Fira bercerita tentang Syaza Galang, anak dari pernikahan pertamanya, pastinya aku juga teringat Bintang. Gadis luar biasa sabar yang setiap hari menantiku pulang, yang seperti Syaza, aku juga tak tahu ketika ia tahu-tahu bisa naik sepeda roda duanya. Yang amat pandai dan tak lupa mengatakan I Love You sebelum tidur. Yang kukecup pipinya setiap pagi. Bintanglah guruku, tempat belajar sabar, yang membuatku lupa akan nada-nada tinggi, mencoba bagaimana memahami orang lain. Mungkin juga saking sabarnya kami sampai selalu 'ya, sudahlah' ketika ada yang jahat dan menyakiti. Bintang sering diganggu teman2nya di sekolah. Tapi ia tidak pernah membalas. Ia menjauhi dan main dengan teman2 yang baik dengannya. Ia sabar kalau meminta sesuatu dan kubilang tunda dulu. Yang jelas apa pun yang kujanjikan padanya akan kutepati. Yang tidak mampu kukatakan tidak. Karena demikianlah aku mengajarkan janji.
Hujan. Air mataku ditarik awan. Dilipatgandakan. Lalu dijatuhkan. Agar kau tahu sedih tak terperikan.
Mereka menyebut aku perempuan hujan. Karena aku perempuan.
Dan aku berteman hujan. Simpel, tapi kamu tak mengerti juga, kan?
Tangan aku kecil. Hati aku besar. Apalagi ruang memaafkan. Semua kutumpahkan. Pada hujan. (h.119)
Terima kasih kak Lisa Febrianti untuk pembicaraan kita dua tahun silam, yang mengajarkan bagaimana menghadapi kehilangan. Semoga kehidupanmu sekarang membahagiakan, dan bayi dalam kandunganmu kini lahir dengan selamat.
Terima kasih untuk seorang ibu dari dua anaknya yang sudah dewasa, yang memberikanku kesempatan berkata jujur tentang hidup, mengajari menghargai kesendirian, dan berpesan,”Nggak ada jodoh yang sempurna, mbak In.”
Seperti banyak orang yang tetap sayang Fira, semoga aku pun punya kesempatan yang sama.
View all my reviews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar