Supernova: Partikel by Dee
My rating: 5 of 5 stars
Ada momen tatkala kita perlu menunjukkan dominasi. Ada momen tatkala kita harus diam membatu. Ada pula momen tatkala yang terbijak adalah lari. Dan dibutuhkan insting jitu untuk menentukan momen manakah yang tengah kita hadapi. (h.246)
Hidup itu pilihan, katanya. Dan memang ada satu titik di mana kita harus menentukan langkah apa yang harus diambil. Seperti ketika membaca buku ini. Setelah sekian lama kunanti, ketika akhirnya datang juga aku tidak buru-buru membacanya. Karena aku ingin mendapat saat yang tepat untuk meraih buku ini. Menunggu momen yang tepat. Tidak dalam antusias berlebihan, tidak sedang gembira, tidak sedang sedih, supaya membaca buku ini bisa mengembalikan emosi sempat hilang kemana. Kemudian tiba saat buku ini memanggil-manggil untuk dibaca.
“Hai, ada Zarah di sini.”
Aku jatuh cinta pada cewek unik ini. Ia tipe soliter kelas satu yang sanggup memutuskan segalanya sendiri, berani menjalani hidup yang ia pilih sendiri. Berani, itu kuncinya. Dan komitmen atas apa yang diyakininya benar. Dan intuisi yang bagus untuk bertahan hidup. Dan membuatku bertanya lagi, pergi itu untuk mencari atau berlari?
Akhirnya kumengerti betapa rumitnya konstruksi batin manusia. Betapa sukarnya manusia meninggalkan bias, menarik batas antara masa lalu dan sekarang. Aku kini percaya, manusia dirancang untuk terluka. (h.264)
Melihat kehidupan Zarah tepat di awal masa aku memutuskan untuk kembali ke alam untuk mengembalikan hidupku. Melongok kenekadannya ke alam terbuka, kegigihannya sebagai fotografer, memandang diriku sendiri yang di umur segini masih penakut. Kalimantan, London, Afrika, menjelajah, menunggu, menangkap momen-momen kehidupan makhluk-makhluk yang terjajah manusia. Menunggu dalam diam untuk pergerakan panjang. Ia pergi atas kebetulan-kebetulan yang terjadi, sesuatu yang memungkinkan perjalanannya. Yang ia pun tak tahu penyebabnya. Ketika orang melihat bahwa ia berlari, mungkin sebenarnya ia sedang mencari. Tapi, benarkah kebetulan itu ada? Atau ia cuma sesuatu yang diatur semesta?
Pengkhianatan ada dalam batin setiap manusia, hanya menunggu momen tepat untuk menyeruak, dirayakan, dan diamini sebagai titik lemah dari kemanusiaan. (h.370)
Kenapa cinta perlu ada? Untuk berhenti. Jeda. Merasa lengkap dan sempurna. Tetapi mencintai menjadi alasan untuk dikhianati. Selalu butuh alasan untuk kembali berlari. Tidak semua teman selalu setia menjadi teman. Tidak semua teman bersedia menjadi teman. Maka ketika ia tidak mendapat yang dicari, ia akan kembali berlari. Melakukan perjalanan lagi. Lalu apa sebenarnya arti perjalanan itu sendiri?
Menjadi kuat bukan berarti kamu tahu segalanya. Bukan berarti kamu tidak bisa hancur. Kekuatanmu ada pada kemampuanmu bangkit lagi setelah berkali-kali jatuh. Jangan pikirkan kamu akan sampai di mana dan kapan. Tidak ada yang tahu. Your strength is simply your will go on. (h.462)
Jangan pernah berhenti Zarah. Energi yang diberikan kepadamu sangat besar. Kekuatan pencarianmu itu yang membuat semesta membukakan jalannya. Selalu ada orang-orang yang menyayangi dan rela melakukan apa pun untukmu. Rasanya aku ingin memelukmu, sebesar aku ingin memeluk diriku sendiri. Meyakinkan kalau kamu istimewa. Kamu lebih dari orang-orang biasa dengan peristiwa biasa. You deserve better, though. Kamu harus tahu untuk apa kamu ada di semesta ini.
“Saya tidak lagi berlari. Cuma mencari.”(h.473)
Tahukah kamu, untuk apa kamu ada di dunia?
on my way to bandung | 21.07.12| 17:12
View all my reviews
cerita tentang buku. buku. dan buku. separuh hidupku adalah perjalanan. separuhnya lagi adalah buku.
ulasan. resensi. kesan.
ulasan. resensi. kesan. ini bukuku, apa bukumu?
Minggu, 29 Juli 2012
Antologi Rasa
Antologi Rasa by Ika Natassa
My rating: 4 of 5 stars
"Kalau ada apa-apa, ngomong ke gue ya, Key," kata gue malam itu. "Kalau lo pusing karena ada nasabah lo yang ngemplang dan perlu gue datangin untuk gue gebukin supaya bayar tunggakannya ke lo, gue juga mau." (h.328)
Menurut kamu bagaimana kalau ada seorang sahabat laki-laki mengatakan demikian? Apakah kamu merasa tersanjung dan berbunga-bunga? *oh, so sweet....* Atau merasa kata-kata itu gombal saja dan hanya salah satu upaya rayuan pria? *lebay deh lo....*
Sah-sah aja sih mengatakan demikian. Memang harus hati-hati menghadapi laki-laki macam Harris Risjad. Lelaki sejuta pesona ganteng keren yang (seharusnya) sanggup menundukkan hatimu. Bikin melongo sekaligus misuh-misuh tanpa ampun. Jatuh cinta setengah mati sama Keara, yang jelas-jelas menendangnya jauh-jauh.
Keara yang agak muna' karena ia nggak mau mengakui kalau ia naksir berat sama Ruly. Loh, memangnya kalau cinta harus bilang? Kalau enggak gimana? Ada sih yang bilang walaupun cewek, berani bilang aja kalau cinta, ngapain gengsi, muna' banget, sih. Weeww.. Asal tahu aja kalau minta duit ke ortu itu seribu kali lebih mudah daripada bilang cinta ke gebetan yang dikenal baik. Dipikir gampang apa menumbuhkan keberanian gitu? Kalau mengungkapkan itu semudah jatuh cintanya, pasti nggak bakal banyak film atau novel bertemakan cinta dan segala liku-likunya. Untuk itulah Tuhan menciptakan kesulitan dalam cinta. Haha!
Dan Ruly, protagonis yang digambarkan hampir mirip dengan Fahri AAC (pas miripnya karena sama-sama pengen gue lempar) baik hati, santun, taat, dan bodohnya nggak lihat kalau di depan matanya ada sahabat perempuan yang jatuh cinta sama dia. Noraknya karena suka sama ST 12 (apaaa coba maksudnya si cowok 'idaman' ini mesti suka ST 12? kenapa? kenapaa? HAH!!!)
Dan aku suka sekali buku ini. Kata-katanya lugas, lucu, tas tes, jleb, menohok, bikin jungkir balik, jujur, dan bikin mengkampret-kampretkan cinta. Cocok banget dijuduli Antologi Rasa. Dari rasa indah terbang ke bulan sampai rasa bego pengen ditabrak truk juga ada.
Ada diantara lo yang sekeren gue dan sudah pernah naik Formula Rossa? Ini roller coaster tercepat di dunia, hanya ada di amusement park untuk pencinta balapan yang ada di Ferrarri World di Abu Dhabi, akselerasi 0-240 km/jam dalam hanya 4,9 detik! Belokan paling tajamnya sampai 70 derajat dan G-Force-nya – tekanan kecepatan- sampai 1,7 Gs.
Kecepatan roller coaster itu sukses mengacak-acak detak jantung gue ketika gue ke sana tahun lalu. Sinting. Tapi mendengar cerita dari mulut si Ruly ini tentang dia dan Keara tadi malam efeknya kira-kira begini : gue naik roller coaster tujuh kali berturut-turut, pas turun gue udah ketawa-ketawa gila saking pusingnya, sempoyongan mau nyebrang jalan terus ditabrak truk dan mati terkapar. (h.323)
Yeaahh, kutipan dari Harris lagi. Apa perlu jatuh cinta sama lelaki semacam dia? Atau lebih baik kita mendendangkan lagu John Mayer ini sama-sama??
Friends, lovers, or nothing...
There'll never be an in-between...
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
"Kalau ada apa-apa, ngomong ke gue ya, Key," kata gue malam itu. "Kalau lo pusing karena ada nasabah lo yang ngemplang dan perlu gue datangin untuk gue gebukin supaya bayar tunggakannya ke lo, gue juga mau." (h.328)
Menurut kamu bagaimana kalau ada seorang sahabat laki-laki mengatakan demikian? Apakah kamu merasa tersanjung dan berbunga-bunga? *oh, so sweet....* Atau merasa kata-kata itu gombal saja dan hanya salah satu upaya rayuan pria? *lebay deh lo....*
Sah-sah aja sih mengatakan demikian. Memang harus hati-hati menghadapi laki-laki macam Harris Risjad. Lelaki sejuta pesona ganteng keren yang (seharusnya) sanggup menundukkan hatimu. Bikin melongo sekaligus misuh-misuh tanpa ampun. Jatuh cinta setengah mati sama Keara, yang jelas-jelas menendangnya jauh-jauh.
Keara yang agak muna' karena ia nggak mau mengakui kalau ia naksir berat sama Ruly. Loh, memangnya kalau cinta harus bilang? Kalau enggak gimana? Ada sih yang bilang walaupun cewek, berani bilang aja kalau cinta, ngapain gengsi, muna' banget, sih. Weeww.. Asal tahu aja kalau minta duit ke ortu itu seribu kali lebih mudah daripada bilang cinta ke gebetan yang dikenal baik. Dipikir gampang apa menumbuhkan keberanian gitu? Kalau mengungkapkan itu semudah jatuh cintanya, pasti nggak bakal banyak film atau novel bertemakan cinta dan segala liku-likunya. Untuk itulah Tuhan menciptakan kesulitan dalam cinta. Haha!
Dan Ruly, protagonis yang digambarkan hampir mirip dengan Fahri AAC (pas miripnya karena sama-sama pengen gue lempar) baik hati, santun, taat, dan bodohnya nggak lihat kalau di depan matanya ada sahabat perempuan yang jatuh cinta sama dia. Noraknya karena suka sama ST 12 (apaaa coba maksudnya si cowok 'idaman' ini mesti suka ST 12? kenapa? kenapaa? HAH!!!)
Dan aku suka sekali buku ini. Kata-katanya lugas, lucu, tas tes, jleb, menohok, bikin jungkir balik, jujur, dan bikin mengkampret-kampretkan cinta. Cocok banget dijuduli Antologi Rasa. Dari rasa indah terbang ke bulan sampai rasa bego pengen ditabrak truk juga ada.
Ada diantara lo yang sekeren gue dan sudah pernah naik Formula Rossa? Ini roller coaster tercepat di dunia, hanya ada di amusement park untuk pencinta balapan yang ada di Ferrarri World di Abu Dhabi, akselerasi 0-240 km/jam dalam hanya 4,9 detik! Belokan paling tajamnya sampai 70 derajat dan G-Force-nya – tekanan kecepatan- sampai 1,7 Gs.
Kecepatan roller coaster itu sukses mengacak-acak detak jantung gue ketika gue ke sana tahun lalu. Sinting. Tapi mendengar cerita dari mulut si Ruly ini tentang dia dan Keara tadi malam efeknya kira-kira begini : gue naik roller coaster tujuh kali berturut-turut, pas turun gue udah ketawa-ketawa gila saking pusingnya, sempoyongan mau nyebrang jalan terus ditabrak truk dan mati terkapar. (h.323)
Yeaahh, kutipan dari Harris lagi. Apa perlu jatuh cinta sama lelaki semacam dia? Atau lebih baik kita mendendangkan lagu John Mayer ini sama-sama??
Friends, lovers, or nothing...
There'll never be an in-between...
View all my reviews
My Name is Red
Namaku Merah Kirmizi - My Name is Red by Orhan Pamuk
My rating: 5 of 5 stars
Ketika ditanya, kenapa sih baca Orhan Pamuk, aku hanya mengangkat bahu. Katanya bagus, sih. Dapat Nobel Sastra juga, wow! Pasti bagus, nih. (dan penulisnya ganteng ;))Jadi ketika menemukan beberapa buku Orhan Pamuk di Shopping Yogya, langsung kubeli saja. Benar saja, dari kalimat pertama sudah membiusku untuk tetap kekeuh membacanya.
Bahkan godaan dari Partikel-nya Dee yang sedang hip nggak membuatku berganti arah. Walau ada beberapa teman baca bareng seperti kak Leila S Chudori, juga Venkanteswari malah berhenti di tengah2 dan membaca Partikel (haha!). Sempat ngajak Lisa dan Desiree juga, namun sampai tamat dua bulan berikutnya, mereka belum juga dapat bukunya. Jadinya cuma Lita (yang ternyata baca dr tahun kemarin) yang tetap rajin membacanya.
Sebenarnya ini bisa saja menjadi sebuah cerita pembunuhan biasa jika dituangkan dalam bentuk novel seperti karya pop lainnya. Namun penceritaan dari berbagai sudut pandang pelakunya membebaskan kita untuk mengenali masing-masing karakternya lebih dalam, lebih detail, bahkan sampai titik kematiannya sekali pun. Kita bisa paham apa yang terjadi pada dirinya berdetik-detik sesudah satu hantaman terkena kepala sampai terpisah raga dari jasadnya. Pengkarakteran sendiri-sendiri ini membuat kita masuk seolah-olah ke dalam kepala masing-masing tokohnya, memaksa untuk memahami jiwa masing-masing. Seperti bermain drama dengan berbagai peran yang diciptakan oleh Pamuk.
Pamuk menyihir dengan lika liku tokohnya, membuat kita saling menebak saling menyalahkan siapa itu si pembunuh yang kerap bicara sendiri. Semua pikiran menjadi nyata yang menari-nari. Semua bisa memiliki alasan yang kuat untuk menghabisi. Semua dengan sejarah dunia ilustrasi yang melatari cerita menjadi kaya. Pertentangan antara cara pandang lukisan 'dari mata Tuhan' dan 'dari mata manusia'. Mengingatkanku kenapa Masjidil Haram selalu digambarkan dari 'atas'. Dibumbui dengan cinta terpendam 12 tahun yang masih mencari-cari. Tokoh perempuan plin-plan, dan tokoh perempuan banyak akal.
This is not a love story. This is no longer a history. This is about what happen in the place called world. The place that've been built by God, and people who discovered it.
: Sesungguhnya, nikmat Dia manakah yang kau dustakan?
View all my reviews
My rating: 5 of 5 stars
Ketika ditanya, kenapa sih baca Orhan Pamuk, aku hanya mengangkat bahu. Katanya bagus, sih. Dapat Nobel Sastra juga, wow! Pasti bagus, nih. (dan penulisnya ganteng ;))Jadi ketika menemukan beberapa buku Orhan Pamuk di Shopping Yogya, langsung kubeli saja. Benar saja, dari kalimat pertama sudah membiusku untuk tetap kekeuh membacanya.
Bahkan godaan dari Partikel-nya Dee yang sedang hip nggak membuatku berganti arah. Walau ada beberapa teman baca bareng seperti kak Leila S Chudori, juga Venkanteswari malah berhenti di tengah2 dan membaca Partikel (haha!). Sempat ngajak Lisa dan Desiree juga, namun sampai tamat dua bulan berikutnya, mereka belum juga dapat bukunya. Jadinya cuma Lita (yang ternyata baca dr tahun kemarin) yang tetap rajin membacanya.
Sebenarnya ini bisa saja menjadi sebuah cerita pembunuhan biasa jika dituangkan dalam bentuk novel seperti karya pop lainnya. Namun penceritaan dari berbagai sudut pandang pelakunya membebaskan kita untuk mengenali masing-masing karakternya lebih dalam, lebih detail, bahkan sampai titik kematiannya sekali pun. Kita bisa paham apa yang terjadi pada dirinya berdetik-detik sesudah satu hantaman terkena kepala sampai terpisah raga dari jasadnya. Pengkarakteran sendiri-sendiri ini membuat kita masuk seolah-olah ke dalam kepala masing-masing tokohnya, memaksa untuk memahami jiwa masing-masing. Seperti bermain drama dengan berbagai peran yang diciptakan oleh Pamuk.
Pamuk menyihir dengan lika liku tokohnya, membuat kita saling menebak saling menyalahkan siapa itu si pembunuh yang kerap bicara sendiri. Semua pikiran menjadi nyata yang menari-nari. Semua bisa memiliki alasan yang kuat untuk menghabisi. Semua dengan sejarah dunia ilustrasi yang melatari cerita menjadi kaya. Pertentangan antara cara pandang lukisan 'dari mata Tuhan' dan 'dari mata manusia'. Mengingatkanku kenapa Masjidil Haram selalu digambarkan dari 'atas'. Dibumbui dengan cinta terpendam 12 tahun yang masih mencari-cari. Tokoh perempuan plin-plan, dan tokoh perempuan banyak akal.
This is not a love story. This is no longer a history. This is about what happen in the place called world. The place that've been built by God, and people who discovered it.
: Sesungguhnya, nikmat Dia manakah yang kau dustakan?
View all my reviews
Memori
Memori by Windry Ramadhina
My rating: 4 of 5 stars
Harus kuakui, ekspektasiku cukup tinggi ketika tahu bahwa tokoh utamanya adalah seorang arsitek, profesi yang kugeluti selama 10 tahun ini. Dan pengen tahu aja, apakah Windry menggambarkan arsitek sebagai seseorang yang hidupnya menyenangkan, hanya menggambar-gambar, berkhayal, dapat duit, seperti yang sering dideskripsikan selintas lalu dalam novel-novel lain (atau sempat main piano sambil Arisan!), atau arsitek yang menderita bahagia sepertiku (haha.. pengakuan suffer in happiness) yang sering kepontang panting, sebel sama bos, kadang-kadang ditolak, kadang-kadang dibilang hebat, berkelung asa mewujudkan mimpi orang lain, tergila-gila pada Frank Gehry.. (kalau aku masih mimpi bekerja pada Ken Yeang di Malaysia).
Yeaa.. sebagai seorang arsitek betulan, Windry memilih yang kedua. Dikelotoknya bagaimana bekerja di sebuah biro arsitek itu, dari sejak mulai menarik garis, mengutak-atik AutoCAD (sekarang sih Sketch Up ya?) tertidur sambil menggambar, hidup antara kopi dan kebul semen, presentasi satu ke presentasi lainnya. Nggak ada tuh acara sering nongkrong-nongkrong di cafe (mana sempat??) apalagi nongkrong di club sambil gila-gilaan. Kalaupun ada sempat, tentu sambil ngobrol hal-hal menarik, bukan gosip mondar mandir kiri kanan selebriti haha hihi nggak jelas (sama ibu-ibu Arisan!).
Yang jelas jadi arsitek itu membahagiakan kok. Truly definitely. Namanya juga cita-cita. Dijalani dengan passion dan tanggung jawab.
(Hah? Siapa itu yang ngomong? Siapa itu yang suka galau sendiri kalau tengah malam masih di kantor berkutat dengan CADnya dan memaki-maki komputernya? Siapa itu yang teriak-teriak dengan jargon dewa 'Kerja adalah cinta yang mengejawantah'? Dan dijawabnya sendiri 'Makan itu cinta!!!')
:))))
Semangat, In!!
Di luar ke-arsitek-annya, konflik Mahoni dan keluarganya sangat menarik. Ia sangat tabah menghadapi apa yang menimpa dirinya. (ya, iyalaah.. kan arsitek! *plak* apa coba hubungannya?) Kehidupannya di Virginia yang mendadak harus ditukar dengan kehidupan di Indonesia dengan keluarga ayahnya yang nggak pernah dikenalnya. Dan menjalani hari-hari barunya di tengah kesibukannya sebagai arsitek. Wajar buat aku, karena aku pun pernah mengalami kerja gila-gilaan di tengah konflik luar biasa, dan terima kasih semesta, satu dengan yang lain ternyata saling mendistraksi dengan caranya sendiri. Dan sesudah itu lewat, cuma bisa bersyukur bahwa kita tidak menjadi gila karenanya. Setiap tempaan akan membuat kita lebih kuat. Life must go on..
Yang membuat aku tersenyum tertawa dalam buku ini adalah nama tokoh-tokohnya. Sebagai seseorang yang berguru pada padepokan gambar bangunan yang sama dengan Windry (gosh, apa kata pak GT kalau baca kalimatku di atas :)) Simon Marganda adalah teman satu studioku di tahun terakhir, dari survey site hingga nginep bareng, tentunya aku nggak akan lupa tawa dan candaan Simon yang baik hati in, hmm.. 10 tahun yang lalu?? Sudah lama juga ya. Masih inget tampang si Simon.
MOSS Studio, iya pernah dengar lah, isinya teman-teman sepadepokan yang kreatif berani bikin sendiri. Neri, is it the same girl i knew work in hadiprana, eh?
Ceritanya bisa ditandai sebagai penceritaan yang berhasil tentang profesi arsitek (Kelihatan menderita dan galaunya gitu, hahaa!!) Aku bahkan tak mengenal Windry di masa perkuliahan, cuma kebetulan kenal di goodreads, dan ternyata kami satu suhu. ;))
Dan kalau kata kak Ardianto Rusly : Menggambar adalah membangun dalam pikiran.. Pikirkan apa yang kamu gambar ini bisa dibangun. Selesaikan logisnya. (demi apa aku mengutip kata-kata beliau), maka cerita ini ibarat desain, Windry menyelesaikan buku ini dengan finishing yang rapi dan logis. Cinta pada yang dicinta, atau cinta pada mimpi-mimpinya? Hidup ini pilihan. Termasuk apakan kamu memutuskan untuk jadi arsitek atau tidak. Apapun yang kau lakukan, kerjakan dengan hati. Sehingga kamu bisa senantiasa bahagia.
\\(^_^)//
*back to my desktop and pray 'langit tak akan runtuh di atas kepala kita'*
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
Harus kuakui, ekspektasiku cukup tinggi ketika tahu bahwa tokoh utamanya adalah seorang arsitek, profesi yang kugeluti selama 10 tahun ini. Dan pengen tahu aja, apakah Windry menggambarkan arsitek sebagai seseorang yang hidupnya menyenangkan, hanya menggambar-gambar, berkhayal, dapat duit, seperti yang sering dideskripsikan selintas lalu dalam novel-novel lain (atau sempat main piano sambil Arisan!), atau arsitek yang menderita bahagia sepertiku (haha.. pengakuan suffer in happiness) yang sering kepontang panting, sebel sama bos, kadang-kadang ditolak, kadang-kadang dibilang hebat, berkelung asa mewujudkan mimpi orang lain, tergila-gila pada Frank Gehry.. (kalau aku masih mimpi bekerja pada Ken Yeang di Malaysia).
Yeaa.. sebagai seorang arsitek betulan, Windry memilih yang kedua. Dikelotoknya bagaimana bekerja di sebuah biro arsitek itu, dari sejak mulai menarik garis, mengutak-atik AutoCAD (sekarang sih Sketch Up ya?) tertidur sambil menggambar, hidup antara kopi dan kebul semen, presentasi satu ke presentasi lainnya. Nggak ada tuh acara sering nongkrong-nongkrong di cafe (mana sempat??) apalagi nongkrong di club sambil gila-gilaan. Kalaupun ada sempat, tentu sambil ngobrol hal-hal menarik, bukan gosip mondar mandir kiri kanan selebriti haha hihi nggak jelas (sama ibu-ibu Arisan!).
Yang jelas jadi arsitek itu membahagiakan kok. Truly definitely. Namanya juga cita-cita. Dijalani dengan passion dan tanggung jawab.
(Hah? Siapa itu yang ngomong? Siapa itu yang suka galau sendiri kalau tengah malam masih di kantor berkutat dengan CADnya dan memaki-maki komputernya? Siapa itu yang teriak-teriak dengan jargon dewa 'Kerja adalah cinta yang mengejawantah'? Dan dijawabnya sendiri 'Makan itu cinta!!!')
:))))
Semangat, In!!
Di luar ke-arsitek-annya, konflik Mahoni dan keluarganya sangat menarik. Ia sangat tabah menghadapi apa yang menimpa dirinya. (ya, iyalaah.. kan arsitek! *plak* apa coba hubungannya?) Kehidupannya di Virginia yang mendadak harus ditukar dengan kehidupan di Indonesia dengan keluarga ayahnya yang nggak pernah dikenalnya. Dan menjalani hari-hari barunya di tengah kesibukannya sebagai arsitek. Wajar buat aku, karena aku pun pernah mengalami kerja gila-gilaan di tengah konflik luar biasa, dan terima kasih semesta, satu dengan yang lain ternyata saling mendistraksi dengan caranya sendiri. Dan sesudah itu lewat, cuma bisa bersyukur bahwa kita tidak menjadi gila karenanya. Setiap tempaan akan membuat kita lebih kuat. Life must go on..
Yang membuat aku tersenyum tertawa dalam buku ini adalah nama tokoh-tokohnya. Sebagai seseorang yang berguru pada padepokan gambar bangunan yang sama dengan Windry (gosh, apa kata pak GT kalau baca kalimatku di atas :)) Simon Marganda adalah teman satu studioku di tahun terakhir, dari survey site hingga nginep bareng, tentunya aku nggak akan lupa tawa dan candaan Simon yang baik hati in, hmm.. 10 tahun yang lalu?? Sudah lama juga ya. Masih inget tampang si Simon.
MOSS Studio, iya pernah dengar lah, isinya teman-teman sepadepokan yang kreatif berani bikin sendiri. Neri, is it the same girl i knew work in hadiprana, eh?
Ceritanya bisa ditandai sebagai penceritaan yang berhasil tentang profesi arsitek (Kelihatan menderita dan galaunya gitu, hahaa!!) Aku bahkan tak mengenal Windry di masa perkuliahan, cuma kebetulan kenal di goodreads, dan ternyata kami satu suhu. ;))
Dan kalau kata kak Ardianto Rusly : Menggambar adalah membangun dalam pikiran.. Pikirkan apa yang kamu gambar ini bisa dibangun. Selesaikan logisnya. (demi apa aku mengutip kata-kata beliau), maka cerita ini ibarat desain, Windry menyelesaikan buku ini dengan finishing yang rapi dan logis. Cinta pada yang dicinta, atau cinta pada mimpi-mimpinya? Hidup ini pilihan. Termasuk apakan kamu memutuskan untuk jadi arsitek atau tidak. Apapun yang kau lakukan, kerjakan dengan hati. Sehingga kamu bisa senantiasa bahagia.
\\(^_^)//
*back to my desktop and pray 'langit tak akan runtuh di atas kepala kita'*
View all my reviews
Para Pemuja Matahari
Para Pemuja Matahari by Lutfi Retno Wahyudyanti
My rating: 4 of 5 stars
Naia mungkin refleksi mimpi-mimpi masa remajaku. Keberanian, kenekatan yang ia miliki, untuk menjelajahi alam ini dengan kedua kakinya, sendiri pula, membuatku teringat pada pahlawan petualangku masa itu, Roy Boy Harris, tokoh rekaan Gol A Gong dalam serial Balada Si Roy yang menemani masa remajaku. Beda Naia dengan Roy sangat jelas, Naia perempuan dan berasal dari keluarga berkecukupan, sehingga bisa liburan dengan uang saku yang cukup, sementara Roy seorang anak yatim di Banten, harus menulis untuk membiayai perjalanannya. Yang sama dari mereka adalah tekad untuk melihat dunia, melihat kehidupan tidak dari yang sehari-hari dijalani. Yang membuat bersyukur atas karunia yang diberikan di atas.
Menariknya mengikuti petualangan Naia karena ia berasal dari keluarga yang berkecukupan. Ingin tahu saja bagaimana sih anak yang seharusnya bisa manja ini survive di jalanan, di alam, di desa, di tempat-tempat yang tidak semua orang bisa menerima kebaikannya. Naia menjalaninya ketika berumur 19 tahun! Saat umurku segitu, aku juga sedang tergila-gila jalan-jalan dengan teman-temanku di pencinta alam. Namun, aku tidak punya keberanian sehebat Naia untuk pergi sendiri ke Kanekes, Baduy, salah satu tempat impianku saat itu, yang aku tahu tempat itu juga dari Balada Si Roy yang kubaca, juga karena disiplin ilmu yang kujalani membuat aku selalu tertarik pada permukiman tradisional, ruang hidup sederhana yang dibutuhkan oleh manusia.
Beberapa tempat yang dituju Naia memang merupakan tempat-tempat yang ingin kutuju sejak muda. Akhirnya tiga tahun lalu aku sampai juga ke Baduy (sudah bukan 19 tahun lagi, itu pun dengan tour, bukan backpacker ala Naia) aku sangat bersyukur karena selain permukiman tradisional memang peminatan khususku, kampung Baduy yang tenang, damai dan memberikan energi positif kembali ke kita. Rasanya kembali ke masa jalan kaki 5-6 jam di siang hari, dengan pemandangan indah, ngobrol dengan bapak-bapak Baduy yang membantu membawakan ransel, anak-anak gadis yang cantik-cantik berkulit kuning langsat. Aku cukup beruntung karena sewaktu aku ke sana ketika mereka sedang kerja bakti mengganti dinding rumah yang dari gedhek bambu, dan atap pelepah. Seandainya di Baduy dalam boleh memotret, pasti sudah kuabadikan proses kerja baktinya. Setiap rumah dikerjakan oleh 15-an lelaki, dengan rangka bambu, lantai juga dari papan dan bambu. Rumah-rumah ini pun tidak menggunakan paku, hanya berpegangan pada pasak dan ikat rami untuk penguat rangkanya. Teknologi tradisional yang mereka pahami turun temurun ini tentang mendirikan bangunan tidak pernah punah, senantiasa dilestarikan dengan transfer wawasan ketika kerja bakti ini. Ketika aku tiba di sana sekitar pukul 2 siang, ternyata hari itu mereka sudah mengganti dinding dan atap 15 rumah sejak pagi! Dan aku senang sekali karena Baduy itu cerita pertama Naia, karena ketika pergi ke Baduy 3 tahun yang lalu juga menjadi semacam come back ke dunia perjalanan setelah vakum beberapa tahun. Dan aku menjadi sangat bersyukur karena sampai sekarang masih punya energi untuk menikmati Indonesia yang indah ini.
Selain Baduy, tempat-tempat lain yang dikunjungi Naia juga bikin ngeces, membangkitkan jiwa jalan-jalanku ke mana pun (selain Gunung Salak, sih, karena gunung itu agak mistis juga). Segara Anakan, Karimun Jawa, Kawah Ijen, tempat-tempat yang bukan merupakan obyek wisata umum yang dikunjungi masyarakat. Tidak semua dijalani dengan mudah, beberapa kesulitan yang khas dan wajar terjadi di sini. Kehabisan bis, sakit, kehabisan uang, jauh dari ATM, dan lainnya. Nggak semua pendapatnya juga mudah diterima orang lain. Lihat Naia yang ditolak uang pemberiannya di Segara Anakan, ketemu Bowo yang sinis yang suka menyalahkan keadaannya sendiri.
“Kalau tiap hari cuma dapat sedikit, kenapa kau masih jadi nelayan? Kenapa enggak cari pekerjaan lain?” tanya Naia.
“Sejak kakek buyut, keluargaku nelayan. Selain itu, aku juga nggak punya keahlian lain. SMP aja aku nggak lulus.”
“Aku nggak ngelihat hubungan antara nggak punya keahlian dengan tidak lulus SMP. Kau kan bisa ambil les atau minta orang lain ngajarin keahlian yang pengen kamu punya. Pernah dengar nama Thomas Alva Edison nggak? Dia dulu SD aja nggak lulus. Tapi dia bisa nyiptain lampu yang sekarang dipakai di seluruh dunia. Kartini juga cuma lulusan SD. Tapi dia suka baca buku dan majalah.”
“Itu kan kata kamu yang orang kaya dan nggak tahu kerasnya hidup. Kau k alau pengen sesuatu tinggal minta ke orang tua. Beda dengan aku.”
Naia diam saja. Aku nggak ngerti. Kenapa orang selalu memakai make keadaan sebagai alasan kenapa dirinya nggak maju? Toh, banyak orang di dunia ini gagal sekolah tapi bisa jadi pengusaha sukses? Kenapa orang lebih memilih untuk menerima nasibnya begitu saja seagai hal yang tidak bisa diubah? Lalu menghabisi separuh hidupnya untuk menyesali hal-hal yang tidak bisa ia capai. Mulai dari nyalahin keluarganya lah, nyalahin pemerintah lah. Pokoknya nyalahin apa pun selain dirinya sendiri dan tetap nggak mau berubah! (h.134-135)
Begitu banyak hal yang ditemui dan berbeda dari sudut pandang kita memang bikin ngelus dada. Inilah perjalanan sesungguhnya, ketika kita melihat berbagai pandangan dari orang lain dengan latar yang berbeda-beda sehingga membentuk pendapat masing-masing atas sesuatu hal. Dan kita nggak bisa marah karenanya. Kalau kita nggak suka ya sudah, tetapi tetap saja kita berteman dengan yang berpendapat beda. Memaksakan pendapat nggak selalu lebih baik, namun bisa memberikan benih permusuhan. Ini baru dari pemuda desa. Bagaimana kalau ketemu aparat pemerintahan ya?
Aku mengenal Lutfi ketika berkunjung ke Jogja bersama teman-teman Goodreads. Ternyata, ia juga rajin berjalan-jalan mengelilingi Indonesia (ngintip blognya). Pantas kalau sebagian petualangannya diceritakan di sini. Setelah lama tidak membaca karya fiksi genre perjalanan karya penulis Indonesia, tulisan Lutfi ini memberikan semacam oase menarik. Seandainya banyak remaja yang membaca buku ini, pasti banyak juga anak-anak yang bernekat-nekat keliling Indonesia dan bersyukur bahwa dirinya beruntung. Memang sih, cara yang dipakai Naia ini agak salah (itu makanya dulu aku bilang nggak bisa senekat Naia), tapi rasanya masih ada cara yang lebih diijinkan orang tua.
Satu kata saja : Keren!
Karimun Jawa, Bromo, Kawah Ijen, Meru Betiri.. here I come...
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
Naia mungkin refleksi mimpi-mimpi masa remajaku. Keberanian, kenekatan yang ia miliki, untuk menjelajahi alam ini dengan kedua kakinya, sendiri pula, membuatku teringat pada pahlawan petualangku masa itu, Roy Boy Harris, tokoh rekaan Gol A Gong dalam serial Balada Si Roy yang menemani masa remajaku. Beda Naia dengan Roy sangat jelas, Naia perempuan dan berasal dari keluarga berkecukupan, sehingga bisa liburan dengan uang saku yang cukup, sementara Roy seorang anak yatim di Banten, harus menulis untuk membiayai perjalanannya. Yang sama dari mereka adalah tekad untuk melihat dunia, melihat kehidupan tidak dari yang sehari-hari dijalani. Yang membuat bersyukur atas karunia yang diberikan di atas.
Menariknya mengikuti petualangan Naia karena ia berasal dari keluarga yang berkecukupan. Ingin tahu saja bagaimana sih anak yang seharusnya bisa manja ini survive di jalanan, di alam, di desa, di tempat-tempat yang tidak semua orang bisa menerima kebaikannya. Naia menjalaninya ketika berumur 19 tahun! Saat umurku segitu, aku juga sedang tergila-gila jalan-jalan dengan teman-temanku di pencinta alam. Namun, aku tidak punya keberanian sehebat Naia untuk pergi sendiri ke Kanekes, Baduy, salah satu tempat impianku saat itu, yang aku tahu tempat itu juga dari Balada Si Roy yang kubaca, juga karena disiplin ilmu yang kujalani membuat aku selalu tertarik pada permukiman tradisional, ruang hidup sederhana yang dibutuhkan oleh manusia.
Beberapa tempat yang dituju Naia memang merupakan tempat-tempat yang ingin kutuju sejak muda. Akhirnya tiga tahun lalu aku sampai juga ke Baduy (sudah bukan 19 tahun lagi, itu pun dengan tour, bukan backpacker ala Naia) aku sangat bersyukur karena selain permukiman tradisional memang peminatan khususku, kampung Baduy yang tenang, damai dan memberikan energi positif kembali ke kita. Rasanya kembali ke masa jalan kaki 5-6 jam di siang hari, dengan pemandangan indah, ngobrol dengan bapak-bapak Baduy yang membantu membawakan ransel, anak-anak gadis yang cantik-cantik berkulit kuning langsat. Aku cukup beruntung karena sewaktu aku ke sana ketika mereka sedang kerja bakti mengganti dinding rumah yang dari gedhek bambu, dan atap pelepah. Seandainya di Baduy dalam boleh memotret, pasti sudah kuabadikan proses kerja baktinya. Setiap rumah dikerjakan oleh 15-an lelaki, dengan rangka bambu, lantai juga dari papan dan bambu. Rumah-rumah ini pun tidak menggunakan paku, hanya berpegangan pada pasak dan ikat rami untuk penguat rangkanya. Teknologi tradisional yang mereka pahami turun temurun ini tentang mendirikan bangunan tidak pernah punah, senantiasa dilestarikan dengan transfer wawasan ketika kerja bakti ini. Ketika aku tiba di sana sekitar pukul 2 siang, ternyata hari itu mereka sudah mengganti dinding dan atap 15 rumah sejak pagi! Dan aku senang sekali karena Baduy itu cerita pertama Naia, karena ketika pergi ke Baduy 3 tahun yang lalu juga menjadi semacam come back ke dunia perjalanan setelah vakum beberapa tahun. Dan aku menjadi sangat bersyukur karena sampai sekarang masih punya energi untuk menikmati Indonesia yang indah ini.
Selain Baduy, tempat-tempat lain yang dikunjungi Naia juga bikin ngeces, membangkitkan jiwa jalan-jalanku ke mana pun (selain Gunung Salak, sih, karena gunung itu agak mistis juga). Segara Anakan, Karimun Jawa, Kawah Ijen, tempat-tempat yang bukan merupakan obyek wisata umum yang dikunjungi masyarakat. Tidak semua dijalani dengan mudah, beberapa kesulitan yang khas dan wajar terjadi di sini. Kehabisan bis, sakit, kehabisan uang, jauh dari ATM, dan lainnya. Nggak semua pendapatnya juga mudah diterima orang lain. Lihat Naia yang ditolak uang pemberiannya di Segara Anakan, ketemu Bowo yang sinis yang suka menyalahkan keadaannya sendiri.
“Kalau tiap hari cuma dapat sedikit, kenapa kau masih jadi nelayan? Kenapa enggak cari pekerjaan lain?” tanya Naia.
“Sejak kakek buyut, keluargaku nelayan. Selain itu, aku juga nggak punya keahlian lain. SMP aja aku nggak lulus.”
“Aku nggak ngelihat hubungan antara nggak punya keahlian dengan tidak lulus SMP. Kau kan bisa ambil les atau minta orang lain ngajarin keahlian yang pengen kamu punya. Pernah dengar nama Thomas Alva Edison nggak? Dia dulu SD aja nggak lulus. Tapi dia bisa nyiptain lampu yang sekarang dipakai di seluruh dunia. Kartini juga cuma lulusan SD. Tapi dia suka baca buku dan majalah.”
“Itu kan kata kamu yang orang kaya dan nggak tahu kerasnya hidup. Kau k alau pengen sesuatu tinggal minta ke orang tua. Beda dengan aku.”
Naia diam saja. Aku nggak ngerti. Kenapa orang selalu memakai make keadaan sebagai alasan kenapa dirinya nggak maju? Toh, banyak orang di dunia ini gagal sekolah tapi bisa jadi pengusaha sukses? Kenapa orang lebih memilih untuk menerima nasibnya begitu saja seagai hal yang tidak bisa diubah? Lalu menghabisi separuh hidupnya untuk menyesali hal-hal yang tidak bisa ia capai. Mulai dari nyalahin keluarganya lah, nyalahin pemerintah lah. Pokoknya nyalahin apa pun selain dirinya sendiri dan tetap nggak mau berubah! (h.134-135)
Begitu banyak hal yang ditemui dan berbeda dari sudut pandang kita memang bikin ngelus dada. Inilah perjalanan sesungguhnya, ketika kita melihat berbagai pandangan dari orang lain dengan latar yang berbeda-beda sehingga membentuk pendapat masing-masing atas sesuatu hal. Dan kita nggak bisa marah karenanya. Kalau kita nggak suka ya sudah, tetapi tetap saja kita berteman dengan yang berpendapat beda. Memaksakan pendapat nggak selalu lebih baik, namun bisa memberikan benih permusuhan. Ini baru dari pemuda desa. Bagaimana kalau ketemu aparat pemerintahan ya?
Aku mengenal Lutfi ketika berkunjung ke Jogja bersama teman-teman Goodreads. Ternyata, ia juga rajin berjalan-jalan mengelilingi Indonesia (ngintip blognya). Pantas kalau sebagian petualangannya diceritakan di sini. Setelah lama tidak membaca karya fiksi genre perjalanan karya penulis Indonesia, tulisan Lutfi ini memberikan semacam oase menarik. Seandainya banyak remaja yang membaca buku ini, pasti banyak juga anak-anak yang bernekat-nekat keliling Indonesia dan bersyukur bahwa dirinya beruntung. Memang sih, cara yang dipakai Naia ini agak salah (itu makanya dulu aku bilang nggak bisa senekat Naia), tapi rasanya masih ada cara yang lebih diijinkan orang tua.
Satu kata saja : Keren!
Karimun Jawa, Bromo, Kawah Ijen, Meru Betiri.. here I come...
View all my reviews
Langganan:
Postingan (Atom)