ulasan. resensi. kesan.

ulasan. resensi. kesan. ini bukuku, apa bukumu?

Minggu, 25 September 2011

Warna Tanah

Warna TanahWarna Tanah by Kim Dong Hwa

My rating: 5 of 5 stars


#2010-81#



“Jadi bukan karena kita cacat, melainkan karena kita perempuan? Lalu kenapa Dongchul dan Moonsho punya burung sementara anak-anak perempuan tidak punya?”(h.35)

Orangtua, sesulit apa pun, harus bisa menjelaskan tentang seksualitas pada anaknya. Pertanyaan-pertanyaan Ehwa di buku ini cukup menggelitik, membayangkan beberapa tahun lagi mungkin anak perempuanku akan bertanya hal-hal serupa. Kalau sekarang hanya bisa menjelaskan pertanyaan tentang bedanya laki-laki dan perempuan, hanya sebatas pengetahuan tak berdasar yang mudah di cerna oleh seorang anak balita.

(Bin) Kenapa aku pakai anting?
(Bun) Karena kamu kan peremuan, sayang..
(Bin) Bunda koq nggak pakai anting?
(Bun) Anting bunda di lemari, kan dipakainya nanti habis mandi..


Perubahan tubuh perempuan, dari masa kanak-kanak hingga masa akil balik, juga perubahan rasa hati, hingga mengenal jatuh cinta. Perubahan yang tak disadari, namun terjadi juga. Hubungan yang erat antara ibu dan anak perempuannya sehingga semua bisa diceritakan dengan jujur tanpa harus tertutup-tutupi oleh tabu.

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam buku ini pasti muncul dalam kehidupan sehari-hari kita. Atau mungkin kita pernah menanyakannya sewaktu kecil? Kalau terlalu ditutup-tutupi, dianggap saru, malah bisa-bisa anak tidak berani tanya, dan mengetahuinya dari sumber yang salah. Apalagi masalah jatuh cinta. Hal yang tak tahu kapan terjadi dan bisa membuat dada berdebar dan pipi bersemu merah.

“Tapi apa yang mungkin disembunyikan seorang gadis selain hal itu? Kau mungkin tak tahu apa yang harus kau lakukan karena khawatir seseorang akan memperhatikan bunga harum yang merekah di dalam hidupmu.”(h.131)

Beruntunglah ibu Ehwa yang janda ini anaknya perempuan. Sehingga ia bisa membagi semua pengalamannya sebagai perempuan kepada anaknya. Sulitnya menjadi orang tua seorang diri, yang harus rela dihina lewat kata-kata oleh lelaki, yang menganggap itu sebagai lelucon belaka. Sehingga ketika Ehwa mengalami hal yang sama, ia bisa mengajarkan bagaimana menghadapinya. Sebagai ibu, ia amat sayang dan menjadikan anaknya sebagai tempat mencurahkan segala perasaannya.

“Meskipun seorang putra akan tinggal bersamaku sampai aku meninggal dunia, aku takkan pernah dapat mengatakan padanya segala sesuatu yang kukatakan padamu. Aku takkan pernah bisa mengungkapkan kerapuhanku pada seorang putra.” (h.228)

Tak semua laki-laki menyebalkan seperti tetangga-tetangga Ehwa. Digambarkan si pengembara yang sopan, juga biksu cilik yang juga mengalami akil balik, sehingga menjelaskan juga perbedaan akil balik pada laki-laki dan perempuan. Biksu cilik yang mempertentangkan jatuh cintanya pada Ehwa atau pengabdiannya pada kuil.

Jadi, ada apa dengan hujan dan bunga?

“Tunggu dan lihat saja. Baik dalam hujan maupun salju, aku akan menjadi bunga yang indah dan wangi.” Ehwa. (h.184)

Goresan gambar pena yang indah..
Karena itu di belakangnya ada tulisan novel grafis dewasa. yah, kalau anak-anak membaca, butuh pendampingan orang dewasa, karena memang ada beberapa adegan dewasa. Melalui gambar, sosok Ehwa dan ibunya, yang dilukiskan dengan indah menjadi hidup. Detail-detail pohon, maupun berbagai tanaman yang menjadi latar cerita ini digambar dengan rapi dan teliti. Membuat jatuh cinta dan ingin membaca lanjutannya...

View all my reviews

Tidak ada komentar: