ulasan. resensi. kesan.

ulasan. resensi. kesan. ini bukuku, apa bukumu?

Rabu, 31 Oktober 2012

Lalita

LalitaLalita by Ayu Utami
My rating: 3 of 5 stars

Sejujurnya, buku Lalita ini adalah buku Ayu Utami yang paling ruwet buat aku. Sepertinya aku harus baca ulang kalau punya waktu. Sejak pertama baca Ayu Utami aku sudah suka dengan cara menulisnya. Walau banyak yang bilang tulisannya agak vulgar, yah. Tapi menurutku sih biasa-biasa saja. Nggak sampai menimbulkan getar-getar yang gimana gitu. Ada sih, penulis perempuan yang juga menulis lebih vulgar dari Ayu Utami.

Yang aku suka dari seri Bilangan Fu ini adalah bahasan heritagenya. Sejak aku baca Bilangan Fu dan jatuh cinta dengan Parang Jati, aku senang karena Ayu selalu memasukkan sejarah, sedikit ilmu kejawaan, yang aku sendiri sebagai orang Jawa belum pernah tahu. Walaupun bukan untuk diamalkan, tapi simbol-simbol dan analisisnya menarik untuk diikuti. Mengingatkan bahwa bangsa ini punya sejarah yang demikian kaya untuk dieksplorasi dan ditelaah sebenarnya bukan hanya di tangan seorang penulis sastra. Di buku kedua seri ini, Manjali Cakrabirawa, juga menceritakan tentang kisah Ratna Manjali anak Calon Arang dan lambang Bhairawa Cakra, juga tentang candi-candi di kawasan Jawa.

Kisah Lalita ini membungkus kisah lainnya yang membungkus kisah intinya juga. Cara penceritaan ini menarik. Dari luar ke dalam. Dari Arupadhatu, Rupadhatu, sampai Kamadhatu. Ini memang kisah tentang Borobudur, di negeri pada masa penduduknya tidak terlalu menghargai kebudayaan. Tentang bagan mandala yang menjadi pusat dunia. Tentang Buddha Gautama.

Bagian yang membuat aku ruwet adalah bahasan Drakula, Sigmund Freud, Ansel, dan Carl Gustav Jung. Entah bagaimana, aku yang memang nggak ngerti filsafat ini (selain dijelaskan oleh Jostein Gaarder), nggak kunjung mengerti mengenai bahasan psikoanalisa ini. Apabila ada banyak yang memuji buku ini karena bahasan Freudnya, nah, itu hak mereka. Kecakapan dan ilmu yang dipelajari tentang ini memang mempengaruhi penilaian seseorang. Baru bisa paham lagi ketika kakek Ansel tiba di Borobudur dan membahas lagi tentang mandala.

Pada bagian-bagian akhir ketika ada bahasan tentang culture dan heritagenya lagi tentang Borobudur yang bisa membuatku melanjut oleh Marja Manjali dan kecerdasannya untuk menganalisis. Perempuan yang belajar interior ini menjelaskan budaya dengan bahasa sederhana dan mudah dimengerti. Ah, iya Marja. Di dalam desain selalu diajarkan sejarah.sebelum melangkah selanjutnya. Kalau cuma minimalis saja atau gaya sekarang saja, desainnya tidak akan kaya, cuma kosong korban ikut-ikutan. Baru juga aku mengerti bahwa ceritanya memang sengaja dituliskan seperti buah bawang, berlapis-lapis dari luar ke dalam.

Yang paling aku suka, sampulnya yang dilukis sendiri oleh Ayu Utami. Di Cerita Cinta Enrico aku baru tahu bahwa selain menulis, Ayu juga suka melukis. Suka juga karena aku mendapat mouse pad cantik sebagai hadiah pre order.

View all my reviews

Tidak ada komentar: