ulasan. resensi. kesan.

ulasan. resensi. kesan. ini bukuku, apa bukumu?

Selasa, 04 Oktober 2011

The Heike Story

The Heike Story: Kisah Epik Jepang Abad ke-12The Heike Story: Kisah Epik Jepang Abad ke-12 by Eiji Yoshikawa
My rating: 3 of 5 stars

Membaca buku ini, berharap akan menemukan kisah semenakjubkan Taiko, dengan perjuangan dan keputusan-keputusan bijak yang diambil.

Mungkin moral ceritanya yang saya tangkaplah yang membuat saya hanya mendapat kesan begini datar. Saya nggak tahu apa yang salah dengan buku ini, apa penerjemahannya atau teknik penceritaannya yang membuat saya tidak bisa terpaku, dan membuat jeda yang amat panjang di antara masa2 membacanya.
Campur aduk antara cerita yang berbunga-bunga, kadang deskripsi yang berlebihan terhadap suatu tokoh, yang membuat saya berpikir siapa dia, perlukah ditampilkan sekilas pintas. Malah penggambaran si tokoh utama, Heike Kiyomori, cukup banyak ditenggelamkan oleh banyaknya tokoh2 lain di sekitarnya, juga oleh bunga-bunga bahasa yang betebaran di sana sini.
Banyaknya tokoh membuat beberapa pertempuran menjadi tidak detail, kadang terlalu cepat selesai. Tidak ada klimaks, tidak ada antiklimaks, semuanya aliran deskriptif yang dituturkan lewat tokoh2nya.

***
Heike Kiyomori yang meniti karirnya sebagai samurai, dan berani menantang kaum agama (yang digambarkan sebagai pendeta Budha dari gunung Hiei), hingga berhasil memasuki istana, menjadi orang kepercayaan, bahkan menjadi klan yang sangat kuat setelah menggulingkan lawannya dari klan Genji.

Bisa kita lihat bahwa di belahan dunia mana pun kekuasaan mempunyai efek yang sama. Kekuasaan membuat kita ingin memperluas kekuasaan, menancapkan pengaruh di sudut-sudut negeri. Kekuasaan membuat kehilangan welas asih, tega menyakiti orang terdekat yang tidak sependapat. Kekuasaan memberikan kesempatan untuk menumpuk kekayaan, membangun kemewahan, membentengi diri, dan tidak peka pada sekeliling. Kekuasaan membuat ketakutan akan dihantui oleh lawan-lawan politiknya, sehingga hal yang dipikirkan adalah menyingkirkannya, tidak mendengar pendapat yang berseberangan, tidak menjadikan sekutu. Kekuasaan menjadikan sombong, dan gegabah dalam pengambilan keputusan.

Di negeri Jepang jaman dulu, di Eropa, di Amerika, dan di tanah air kita, selalu ada orang-orang yang merasa berkuasa, menimbun kekayaan, menebar pengaruh dan ketakutan, menggunakan sebesar-besarnya untuk kepentingannya sendiri, tuli terhadap rakyat.

***
review ditulis dengan suasana hati yang kesal terhadap ketua DPR yang sombong atas pernyataannya terhadap Mentawai, dan ngotot atas pembangunan gedung baru MPR DPR, anggota DPR yang nggak 'mampu' membantu rakyatnya di Dubai, menteri2 yang sok suci, anggota DPR yang hobi 'studi banding', partai-partai yang membantu bencana hanya untuk cari nama, kasus korupsi yang merajalela di antara pejabat, presiden yang kehabisan masa jabatannya sehingga malas berbuat apa-apa.
Miskin hati, dan miskin jiwa..


Mungkin tidak nyambung, tapi lihatlah, bahwa segala bidang ilmu, baik hukum, psikologi, sastra, ekonomi, teknik, sains, kesehatan, bisa runtuh tak berguna karena politik.

Tokoh yang saya ingat hanyalah Kiyomori sang samurai yang menjadi pemimpin militer, Mongaku sang biksu yang selalu mengingatkan namun dianggap gila, Asatori si peniup seruling dan tabib yang ingin selalu membantu orang tak peduli siapa penguasanya, dan Bamboku si penjilat tapi dipercaya Kiyomori.

Gambaran pada kisah Heike, masih jadi gambaran kekuasaan sekarang ini.

View all my reviews

1 komentar:

Unknown mengatakan...

thanks resenssinya
Ebooknya bisa sobat dapatkan di blog saya
http://hana-oki.blogspot.com/2013/05/the-heike-story.html