Potongan Cerita di Kartu Pos by Agus Noor
My rating: 4 of 5 stars
#2011-20#
Dear Agus Noor,
Membaca kumpulan cerpen ini di bulan Mei 2011, mengingatkan pada 13 tahun yang lalu, salah satu masa kelam satu bangsa, di mana terjadi perang saudara di kota yang katanya adalah Metropolitan. Di suatu bangsa yang digerogoti oleh korupsi, oleh pemimpin yang tidak mau mendengar, tersembunyi di balik senyum yang berbau kematian.
Ada cerita tentang trauma perempuan oleh tindak pemerkosaan yang tidak pernah terungkap, ada cerita tentang sniper yang malu akan profesinya, mahasiswa yang tertembak, bapak yang memukuli anaknya, pembunuhan yang tidak terungkap, sampai rakyat yang busung lapar karena hanya makan angin. Semua di bangsa ini, bangsa yang dijadikan bahan taruhan oleh petinggi-petingginya. Bangsa yang terlena oleh kekayaannya, oleh wajah cantik dan keramahan penduduknya. Senyuman tulus di rakyat untuk menutupi senyum licik pengelola bangsa.
Dan setelah 13 tahun, apa yang berubah? Petinggi-petinggi yang menjadi boneka tetap saja berulah yang sama. Kaum intelektual yang berteriak-teriak 13 tahun yang lalu sudah nyaman dan ikut-ikutan cari untung. Demo dibisniskan, mengumpulkan orang, asal sanggup membayar. Mahasiswa pintar yang dibungkam mulutnya oleh perusahaan minyak asing untuk menyedot kekayaan buminya sendiri. Perusakan lingkungan di mana-mana yang ditutupi oleh imbal balik ke masyarakat yang bernilai kecil. Impor barang murah yang merajalela dan mematikan industri dalam negeri. Juru bicara hanya menguntungkan golongan. Studi banding ke luar negeri yang menghabiskan dana setara dengan perbaikan 10 sekolah dasar. Koruptor, suap, makelar proyek yang makin lihai. APBD untuk anggaran yang mengada-ada. Proyek dengan suap 30% nilainya ke pegawai departemennya. Perguruan tinggi yang tidak lagi disubsidi. Pembangunan gedung mewah untuk wakil rakyat yang tidak mewakili rakyatnya.
Dan saya, yang 13 tahun lalu ikut berpanas-panas dan berteriak-teriak di gedung hijau MPR, sama sekali tidak berminat jadi PNS, tidak bisa membantu dalam hal besar, hanya mencaci maki petinggi dalam jejaring sosial, kadang-kadang ikut acara amal, masih menggunakan transportasi umum, yang ongkosnya saya bayar dan pajaknya saya bayar juga, mencoba memelihara fasilitas umum, tetap berjuang untuk kebutuhan hidup. Menjadi rakyat kecil tidak didengar suaranya, hanya dibutuhkan 'suara'nya sebagai kuantitas dalam Pemilu untuk menyokong partai-partai yang tidak berorientasi kembali pada rakyat.
Wajar jika bertanya, mau dibawa kemana negeri ini?
Selamat pagi koruptor, tukang suap, makelar proyek, orang dekat menteri, semua tukang mark up, semoga kalian sial hari ini.
Selamat pagi tukang roti, supir taksi, pedagang warung, ojek, kuli angkut, tukang parkir, walaupun hasilnya sedikit, semoga tenaga yang kalian keluarkan hari ini menjadi berkah.
Pesimis tidak, optimis pun sulit dipercaya. Maafkan jika review ini berubah menjadi curhat. Demokrasi yang menjadi demo-crazy.
Salam,
Indri
View all my reviews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar