The Phaidon Atlas of Contemporary World Architecture by Phaidon Press
My rating: 5 of 5 stars
Apakah harapan saya terlalu berlebihan apabila saya ingin ada satu karya dari Indonesia yang masuk dalam buku ini? Ternyata, buku yang memuat amat banyak karya arsitektur dari mancanegara ini tidak memuat satu pun bangunan dari Indonesia.
Menandai beberapa karya-karya yang berfungsi sebagai wadah budaya, di buku ini banyak dimuat bangunan dengan fungsi sekolah, perpustakaan, museum, kantor pemerintahan, dengan desain yang indah. Memang tidak bisa dipungkiri, perkembangan eksplorasi arsitektur di Indonesia hanya berkutat pada Mal alias Plaza alias Square, dan apartemen berlantai banyak dengan mengadaptasi gaya romawi atau mediteran. Dan arsitektur lokal yang mendominasi bentuk-bentuk kantor pemerintahan daerah di Indonesia. Bukankah kalau bisa lebih dieksplorasi lokal bisa mengglobal?
Sebagai contoh lihatlah Gedung Dharmala Land di Sudirman karya Paul Rudolph yang mengadaptasi atap miring di Indonesia menjadi gedung bertingkat tinggi. Bukan hanya semena-mena mengambil bentuk joglo hanya sebagai tempelan di kantor-kantor pemerintah. Coba kita bahas beberapa fungsi bangunan yang agak terlupakan dalam prioritas pemerintah.
Wisma Dharmala, Sudirman
Pertama, museum. Berapa banyak sih museum yang didirikan dalam 10 tahun terakhir ini? Banyak orang menilai museum hanya untuk peninggalan jaman dahulu, tidak dianggap hip atau trendy. Sehingga gedung-gedung yang diperuntukkan untuk museum ini hanyalah gedung-gedung tua peninggalan Belanda yang direhabilitasi sehingga menjadi museum. Menimbulkan kesan horror. Hanya beberapa museum baru yang dibangun berkumpul di Taman Mini Indonesia Indah.
Museum Wayang, Taman Fatahillah, Jakarta
Kedua, perpustakaan. Sebagai gudang ilmu, sepertinya tidak menjadi prioritas pemerintah untuk membangunnya. Kondisi Perpusnas yang begitu-begitu saja, membuat orang segan untuk memasukinya, dan lebih memilih ke bangunan baru yang lebih segar. Jika dilihat di luar negeri perpustakaan begitu menarik minat dan didesain dengan nyaman, semoga kelak perpustakaan baru di Universitas Indonesia ini dapat menarik minat pengunjungnya. Tidak hanya desainnya yang keluar dari pakem genteng merah UI, semoga koleksinya pun mencukupi kebutuhan belajar di sana.
Perpustakaan Pusat UI-dalam masa konstruksi
Ketiga, gedung pertunjukan. Eksplorasi besar bisa dilakukan arsitek dalam mendesain gedung pertunjukan, dilihat dari beberapa karya di beberapa negara di buku ini. Beberapa gedung pertunjukan baru di Jakarta juga tak kalah sebenarnya, hanya saja ukurannya yang terbilang kecil. Gedung Salihara di daerah Pasar Minggu dan Teater Jakarta di TIM, memang bukan apa-apa ukurannya dibanding Esplanade Singapura. Tapi dengan makin tingginya minat masyarakat terhadap seni pertunjukan, mudah-mudahan makin banyak investor di bidang ini, yang tidak melulu hanya membuat mal dan apartemen.
Teater Jakarta TIM, dibuka total November 2010
Keempat, gedung pemerintah. Sudah lihat karya kompleks MPR/DPR dari Budi A Sukada? Weird. Jujur saya mengatakan, desain ini jelek. Tidak ada irama, komposisi yang dibangun di sini. Hanya tumpukan balok-balok yang ditata dalam satu garis. Rugi saya kalau bayar pajak untuk membangun gedung itu. Memangnya kalau gedung pemerintah harus kaku seperti itu?
Rencana komplek MPR-DPR Indonesia
Lihat desain gedung kementerian di Llubjana, Slovenia. Ada komposisi yang bermain di situ. Ada bentuk dan warna yang harmoni. Membuat pemerintahan bukan sesuatu yang dibuat agung dan berkuasa, namun dekat dan mengayomi.
Chamber of Ministry - Llubjana, Slovenia
Saya yakin banyak potensi besar dalam arsitektur Indonesia. Namun apabila pembangunan hanya diutamakan pada ekonomi saja yang notabene adalah pusat perbelanjaan yang diperbanyak (bahkan ada wacana Jakarta 200 mall), maka mendesain suatu area budaya yang memerlukan eksplorasi tema yang utopis, hanya akan menjadi kerinduan semata.
Rindu pada mata kuliah yang bernama PA-5..
View all my reviews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar