ulasan. resensi. kesan.

ulasan. resensi. kesan. ini bukuku, apa bukumu?

Sabtu, 18 September 2010

Catatan Harian Seorang Dokter

Catatan Harian Seorang DokterCatatan Harian Seorang Dokter by Faisal Baraas

My rating: 4 of 5 stars


#2010-30#



Waktu kecil, saya pernah bercita-cita jadi dokter…



Tanpa motivasi apapun, selain bahwa itu adalah profesi yang sering muncul dalam kolom cita-cita, selain guru dan insinyur. Kalau akhirnya saya memantapkan diri untuk bercita-cita jadi insinyur sejak kelas tiga SD, dan lebih khususnya jadi arsitek ketika kelas 5 SD, tentunya bukan saya tidak menganggap profesi dokter tidak prospektif, tapi lebih karena ketakutan akan cerita hantu-hantuan di rumah sakit, dan belum lagi cerita bahwa kalau kuliah kedokteran harus membedah mayat sendirian, pas OSPEKnya musti masuk-masuk kamar mayat. Dan ditambah cerita serem lainnya yang membuat seorang anak keriting 8 tahun ketakutan (apalagi eranya film Indonesia waktu itu Warkop DKI yang terjebak di kamar mayat dan sejenisnya), pupuslah cita-cita saya menjadi dokter, berganti dengan insinyur, apalagi dengan ketertarikan luar biasa terhadap pekerjaan-pekerjaan engineering.



Meskipun demikian, saya tidak memupuskan harapan di bidang kesehatan, karena pas SMP saya masuk PMR, yang banyak belajar tentang cara-cara menolong orang dalam kecelakaan, segala tipe P3K, balut membalut luka, mengenali fraktur, dan belajar teknik pernapasan buatan (secara teori tentunya), sebenarnya saya masih ingin jadi dokter, tapi ternyata ketertarikan pada gambar lebih besar, ditambah lagi saya sangat payah dalam hafalan, nilai biologi yang gak pernah lebih dari 7 dikalahkan gemilang oleh fisika, dan matematika. Saya berpikir, takdir orang lainlah untuk jadi dokter, mungkin bukan saya.



Sewaktu kuliah, saya pernah mendapatkan pendidikan cinta alam, latihan SAR, yang mentornya adalah TBM-UI (Tim Bantuan Medis UI), dari fakultas kedokteran, yang siap untuk terjun lapangan setiap kali ada kondisi SAR, menambah pengetahuan dan membuat saya bisa membedakan fungsi CTM dan Parasetamol. Dan membuat saya tidak menelan Amoxicillin sembarangan. Mentor ini terampil membuat tandu, melakukan teknik membalut untuk menekan pendarahan, menguasai tali-temali dan pengetahuan obat-obatan dan tanaman2 yang mengandung obat.

Saya pikir, walaupun tidak menjadi dokter, dalam kondisi darurat saya harus dapat menyelamatkan diri saya sendiri. Karena itu kalau bepergian ke luar kota (jauh dari kota), tak lupa satu set peralatan P3K pasti saya bawa, demi untuk jaga-jaga kalau ada apa-apa.



Buku ini, menceritakan tentang keseharian seorang dokter, yang ditempatkan di sebuah kampung Melaya di Bali, dimana dia dibantu oleh seorang mantri kesehatan. Dokter ini merasa mendalami kondisi sosial masyarakat desa tersebut, yang dicurahkan lewat catatan-catatan hariannya, tentang penyakit-penyakit yang umum diderita masyarakatnya, tentang curahan hati pasiennya, tentang pembangunan yang tidak merata, renungan-renungannya tentang tokoh-tokoh kesehatan, pro kontra kontrasepsi.



Maka ia merasa kehilangan desa ini ketika ia dipanggil lagi ke ibukota, dan bertugas di salah satu poliklinik rumah sakit terkenal. Ia pun tetap berusaha untuk lebih menyelami perasaan pasiennya, yang lebih sering berkeluh dengan banyak masalah hingga merasa berdebar jantungnya. Pentingnya untuk menyadari untuk mengurangi stres.



Terus terang, saya lebih suka pada bagian ia berada di desa tersebut. Di sini dokter menjadi seseorang yang dipercaya untuk mengambil tindakan yang hanya ia yang bisa. Semangat gotong royong dan musyawarah akan selalu membantu mereka untuk memecahkan masalah. Tapi mereka selalu butuh dokter yang selalu siap membantu ketika ada masalah kesehatan. Upaya untuk tawar menawar dengan maut pun dengan bantuan dokter. Dan kehidupan adalah harga yang sangat mahal.



Saya sangat salut pada dokter yang rela untuk hidup di pedalaman untuk membantu sesamanya. Perjuangannya yang berat untuk mengentaskan masalah-masalah kesehatan, untuk memberikan harapan hidup yang lebih baik pada kawasan tersebut. Karena saya pikir, menjadi dokter adalah tugas mulia. Saya iri. Bukan hanya karena menjadi dokter karena anda akan mendapatkan penghasilan besar, tapi karena anda diberi kesempatan untuk berbuat baik lebih pada sesama, lebih dari sekedar hanya mengobati luka fisik, namun juga luka hati. Jadi ingat salah satu film favorit saya, Patch Adams, yang bercerita tentang dokter yang mati-matian mempertahankan kliniknya yang disalahkan padahal ia membantu masyarakat sekitarnya. Apakah menolong harus diperlambat dengan birokrasi?



Dan sekarang, saya agak sedikit ingin Bintang untuk jadi dokter. Tentunya saya tidak bisa memaksakan keinginan saya pada anak tiga setengah tahun yang pandai menyanyi ini untuk menjadi dokter, tapi saya mencoba untuk menanamkan sikap menolong dan welas asih bisa menjadi motivasi untuk menjadi dokter kelak di kemudian hari. Dan tidak dengan menakuti tentang kamar mayat dan OSPEK yang mengerikan (yang tidak saya alami itu). Saya siap kalau harus berpisah karena dia harus menolong banyak orang yang lebih membutuhkannya. Apalagi dokternya dia sekarang sangat baik hati dan kebetulan dokter Angkatan Darat pula yang sudah terjun ke pedalaman-pedalaman Indonesia. Mudah-mudahan dia sayang sama dokternya, dan jadi ingin menjadi dokter juga.





View all my reviews

Tidak ada komentar: