Ciuman Hujan: Seratus Soneta Cinta by Pablo Neruda
My rating: 3 of 5 stars
#2010-16#
Sepotong hari di bukit ilalang
Pagi,...
Rintik gerimis udara dingin, inginkan satu pelukan hangat kekasih. Terbangun dengan satu ciuman di kening, sementara di luar hujan. Kuambil gaun musim panasku dan berjalan ke pintu, memandang hujan rintik halus yang indah, dan berkata kepadanya,
Aku mencintaimu tanpa tahu bagaimana, atau kapan, atau dari mana.
Aku mencintaimu dengan lugas, tanpa banyak soal atau rasa bangga;
begitulah aku mencintaimu sebab aku tak tahu jalan lain. (XVII)
Kulangkahkan kaki ke tepi beranda rumah putih, tempat ayunan tergantung menanti bergoyang. Kutahu akan tertidur di sini dengan desau angin yang melintas ketika hujan reda nanti.
Senja,...
Kemerahan, datanglah hampir tenggelam. Berlari kecil ke dermaga danau, hujan reda menyisakan wangi rumput basah yang diinjak tapak kaki.
Aku duduk bersandar pada satu tiang dermaga, pelepah daun kelapa mengambang di danau. Damai. Hanya beberapa burung melintas dengan bayangan yang terpantul di air. Hembusan angin memberi suara pada kemerisik tanaman tropis di ujung danau.
Ya: siang hari meretih seperti api, atau laksana kawanan lebah
melaju dengan karyanya yang hijau, mengubur dirinya di dedaunan:
sampai di pucuk daun merengkuh
buana gemilang yang berkedipan dan berbisikan.(XLII)
Lalu kulihat sepasang merpati yang sedang bercanda, seolah bersapa minta pengertian sebelum mereka terbang dipeluk angkasa,
Cintaku mempunyai dua kehidupan, untuk mencintaimu;
sebab itulah aku mencintaimu ketika aku tak mencintaimu
dan pula mengapa aku mencintaimu ketika aku mencintaimu.(XLIV)
Kulempar batu ke danau yang memantulkan cahaya langit. Biru di langit, biru di danau. Kelam di langit, kelam juga di danau.
Langit melipatkan sesayapmu ke atasmu,
mengangkatmu, membantunmu ke pelukanku
dengan rasa hormat yang misterius dan tepat waktu.(XLIX)
Petang,...
Kuberlari menuju hutan. Mengejar pelangi yang jatuh di ujungnya. Tak kuhiraukan luka di kaki yang melambatkan lajuku. Gaun yang tadi halus kini sedikit koyak. Hujan turun dengan deras, diiringi petir dan guntur bertalu-talu. Dimana ia? Aku kehilangan pelangi yang tidak muncul lagi. Apakah ini ilusi? Aku terduduk di batang tua, sambil mengusap hujan yang menetesi muka.
Mereka yang ingin melukaiku telah melukaimu,
dan setangkup racun rahasia untukku
bagaikan jaring yang berlalu lewat kerjaku - tapi meninggalkan
noda berkarat dan resah padamu.(LX)
Kemana dia? Apa dia pergi dengan yang lain? Kenapa tak kutemukan di sini di dalam hutan ini? Aku berlari memanggil namanya. Luka kakiku tak kuhiraukan. Badanku basah, aku kedinginan.
api. Aku mencintaimu hanya karena engkaulah
yang kucintai; aku membencimu tanpa akhir, dan membencimu
menikung ke arahmu, dan ukuran dari cintaku yang berubah-ubah untukmu
adalah bahwa aku tak bisa memandangmu namun mencintaimu.(LXV)
Lalu aku melihat bayangannya. Bukan pelangi, namun cahaya yang lebih terang. Aku berlari ke arahnya dan jatuh dalam pelukannya. Aku rindu sekali padanya. Mudah-mudahan ini nyata, bukan hanya bayangan semu yang kukejar.
sejak itu aku adalah aku karena engkau adalah engkau,
sejak itu engkau adalah engkau, aku adalah aku, kita adalah kita
dan melalui cinta aku jadi aku, engkau jadi engkau, kita jadi kita. (LXIX)
Lalu kita saling bertatap dan menuntun jalan menuju pulang. Kita bergandengan dalam sosok tubuh manja, merapatkan dan saling melindungi.
Kemudian cinta tahu mesti dipanggil cinta
Dan ketika aku mengalihkan mataku ke namamu,
tiba-tiba hatimu menunjukkan jalanku. (LXXIII)
Malam,...
Desir angin melambaikan tirai. Waktu serasa berhenti ketika kau memelukku. Hujan sudah mulai reda, dan perapian masih hangat. Gelegar petir terkadang memecah suasana. Namun kau tetap dalam diammu, di belakangku dan berbisik,
Aku ingin engkau hidup selagi aku menunggumu, mengantuk.
Aku ingin telingamu masih mendengar angin, aku ingin kau
menghirup aroma laut yang kita cintai bersama,
terus berjalan di pasir bak sediakala saat kita berjalan berdua.(LXXXIX)
Aku berjingkat, berbalik dan memandangnya. Kuletakkan telunjuk di bibirnya, untuk tidak berkata apa-apa lagi. Kusibakkan rambutnya, menatap kedalaman matanya, lekat-lekat,
Biarlah kita mencintai dengan cinta yang melahap buahnya dan
rontok, bayangnya dan kuasanya, ke ribaan bumi:
kau dan aku adalah cahaya yang bertahan,
dengan duri menyenangkan yang tak bisa ditarik lagi. (XCV)
Kami berdua memandang langit. Hujan baru saja reda. Tinggal bintang-bintang...
***
Tiga setengah bintang karena terjemahan. Ada angin apa ya nulis kayak di atas? fui.. siul-siul dulu aah..
View all my reviews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar