A Wizard of Earthsea by Ursula K. Le Guin
My rating: 4 of 5 stars
#2010-58#
Siapakah nama sejati-mu?
Keangkuhan, seperti kita ketahui, bisa menjatuhkan seseorang, dan membuka sisi tergelapnya. Demikian juga Ged, karena terpedaya oleh emosi dan keinginan tak terkalahkan, berusaha membuka satu sisi tergelap yang seharusnya tetap tertutup. Keahlian sihir yang diperoleh dengan cepat karena bakat yang luar biasa, menjadi terpenjara oleh ketakutan dikejar-kejar oleh sisi gelap yang berhasil dibukanya. Sosok bayangan yang sulit ia ketahui nama sejatinya.
Nama sejati, yang pada jaman sihir masih berkuasa di bumi ini, tidak dibagi pada siapapun juga. Orang hanya membagikan nama sejatinya pada orang-orang yang benar-benar ia percaya. Begitu juga dengan kehidupan Ged. Segera sesudah bakat sihirnya diketahui, ia mendapatkan cara untuk mengetahui nama sejati beberapa binatang, yang membuatnya dapat memanggil binatang-binatang tersebut dengan mudah. Perjalanan hidupnya pun berubah, dan harus mengambil keputusan-keputusan dengan cepat.
Mulailah ia dengan perjalanannya. Melintasi laut, mengenal orang-orang baru, belajar untuk berjuang sendiri, mencari apa yang bisa membebaskannya dari bayangan gelap yang mengikutinya. Bahkan hingga ke tepi dunia. Itulah harga yang harus dibayar untuk keangkuhan ini.
***
Saya tidak terpengaruh oleh kata-kata ‘buku yang mengilhami Harry Potter’. Dari awal dibuat threat diskusi covernya di GR, saya sudah tertarik membacanya. Entah karena tersihir oleh covernya yang cantik (walaupun sebenarnya saya pilih yang lebih dark) tapi hasil cover jadinya yang terang, seolah melepas dogma bahwa buku tentang penyihir harus bernuansa gelap. Penggambaran tokoh penyihir di sini pun tidak melenceng dari stereotipe tentang penyihir. Penyihir tua (Archmage) digambarkan berjanggut panjang, bertopi runcing, semua rambutnya sudah memutih, seperti yang digambarkan di LOTR, dan diikuti juga oleh Harry Potter. Penyihir muda dengan jubah panjang, dengan wajah yang cukup tampan (bila diamati covernya dengan baik) dengan tongkat yang dapat dijadikan senjatanya.
Keistimewaannya justru pada alur ceritanya yang tenang, tidak terburu-buru dalam satu pertempuran atau percakapan-percakapan yang banyak. Seringnya Ged dalam kondisi sendiri membuat ceritanya sangat berpusat pada Ged dan pemikiran-pemikiran dan pertentangan dalam hatinya. Perjalanan yang dilakukan sendiri, perenungannya selama masa pelarian, membuat kita merasakan apa yang dialami Ged. Bahkan terkadang saya merasa berada di lautan bersamanya, menjadi bayang-bayang yang membantunya mendirikan layar melawan badai, membaui udara laut yang segar, merasakan hembusan angin, seperti menemaninya di kala sendiri.
Walau cerita sudah berakhir, tak sabar menantikan jilid kedua dan ketiganya. Inilah asyiknya membaca novel berseri, karena jadi ada yang ditunggu. Semoga penerjemahannya tak berhenti sampai buku pertama saja.
View all my reviews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar